Berbeda bukan Tak Bisa Bersama

2542 Kata
-Memahami perbedaan itu butuh proses dan waktu. Lapangkan hatimu, maka kamu akan tenang-             "Jadi gimana rasanya diantar Pak Suami?"                 "Ngeliatin kalian berdua tuh bikin aku nonton drama secara live tahu."                 "Ngalah-ngalahin drakor kesukaan Dinda bahkan. Sama yang halal mah bebas, semuanya bisa membuahkan pahala."                 “Makanya nikah Zah. Masa iya baperan lihat Sabrina sama Sakha terus.”                 “Tapi kalau dibuat cerita lucu kali ya. Judulnya jodohku ternyata teman sekelasku.”                 Sabrina mendengus kesal mendengar candaan dua sahabatnya ini. Lihat saja, mereka bahkan tetap saja tertawa tanpa memperdulikan wajah Sabrina yang sudah kesal.                 “Dramanya keren lagian, Sab.” Perempuan yang dipanggil Zah tadi kembali menggoda Sabrina.                 "Apaan sih, lebih dramanya aku yang nyasar karena nggak dapat info." Kata Sabrina jengkel bercampur malu. Wajah putihnya memerah.                  Seperti yang dia duga, apa yang terjadi pagi tadi akan membuatnya menjadi objek candaan sahabat-sahabat lingkarannya ini. Menurut Sabrina, kalau saja tadi Sakha mendengar perkataannya maka ini tidak akan terjadi. Awalnya Sabrina sudah mengatakan kalau dirinya cukup diantar sampai toko yang berada tidak jauh dari taman, namun entah memang tidak dengar atau tidak mau mengindahkan permintaannya, Sakha justru menurunkan Sabrina tepat di parkiran taman dan tepat di depan area kelompok halaqahnya itu berada. Otomatis tatapan kaget bercampur geli itu terarah pada dirinya dan Sakha. Apalagi dengan santainya Sakha mengulurkan tangan kanannya pada Sabrina. Lama, dirinya hanya menatap tangan itu tidak mengerti hingga akhirnya suara pelan Sakha menginterupsinya.                 Sakha protes karena Sabrina tidak kunjung menyambut tangan itu sebagai tanda izin seorang istri. Mencium tangan suaminya. Sesederhana itu dan Sabrina ternyata memang seringkali melupakan itu. Sebenarnya itu hanyalah hal biasa bagi banyak orang. Sudah seharusnya seorang istri mencium tangan suaminya dan sang suami mencium kening istrinya ketika salah satu dari keduanya bepergian atau baru pulang ke rumah. Namun hal itu menjadi tidak biasa bagi Sabrina dan Sakha. Sabrina seringkali hanya berteriak dari pintu jika ingin pergi dan Sakha juga biasanya hanya berucap pelan kalau memang mau pergi.                 "Nyasarnya lebih terkesan. Toh ujung-ujungnya diantar Pak Suami." Goda Adinda.                 Zahra ikut mengangguk sembari tersenyum. "Pantesan telatnya hampir satu jam. Sengaja lama-lama di jalan deh tuh."                 “Suudzon deh.” Kata Sabrina.                 “Ini muka biasa aja kali. Lagian jarang-jarang loh kamu bisa diantar sama Sakha. Ini kali pertama kita lihat Sakha segitu manisnya sama perempuan.” Sabrina mendengus sebal. Adinda tidak tahu saja bagaimana rasanya menjadi dia yang kini berstatus sebagai istri Sakha. Semuanya tidak semanis yang mereka lihat.                 “Kamu lihat gak wajah Sabrina pas dia kagok pamitan sama Sakha tadi. Lucu banget.” Ujar Zahra lalu tertawa lagi bersama Adinda.                 Sabrina menatap kedua sahabatnya itu dengan jengkel. Tampaknya hari ini dia memang dijadikan bahan ejekan para sahabatnya. Sejak dia datang tadi Ummi Hana dan para sahabatnya itu begitu kompak menggoda dirinya, apalagi Adinda dan Zahra. Sahabatnya sejak awal semester itu memang paling semangat menggodanya.                 Saat ini mereka sedang duduk di warung kecil yang berada tidak jauh dari taman. Halaqah mereka sudah selesai sejak tiga puluh menit yang lalu. Empat sahabat mereka yang lainnya sudah pulang begitu pula dengan Ummi Hana. Adinda dan Zahra pun berinisiatif untuk mengajak Sabrina sarapan dulu, sembari menunggu jemputan dari Sakha. Padahal Sabrina tahu, kedua sahabatnya itu pasti mau membicarakan hubungannya dengan Sakha.                 Lebih tepatnya akan menanyakan bagaimana rasanya menikah? Pertanyaan umum yang sering ditanyakan oleh para jomblo-jomblo.                 “Jadi bagaimana rasanya dua bulan ini jadi istri Sakha? Dia gak sependiam itu kalau di rumahkan?” Tanya Zahra penasaran. Adinda mengangguk-angguk ingin tahu juga.                 Tuhkan, Sabrina sudah menduganya. Semenjak dia menikah mereka jarang bertemu karena kesibukan mereka masing-masing. Biasanya mereka hanya saling berkomunikasi melalui ponsel dan itu pun jarang membicarakan hal pribadi seperti ini.                 “Kalau kamu ngobrol bareng dia, nggak berasa kayak lagi rapatkan? Yaa kan selama ini kamu ngomong sama dia cuma pas rapat doang.”                 “Nggaklah. Tapi Sakha tetap pendiam kayak dulu sih. Kayaknya gak ada yang berubah.” Jawab Sabrina.                 “Di rumah gitu juga? Berarti kamu juga bakalan diam dong?” Sabrina mengangguk polos. Tawa Zahra pecah. “Ya ampun kalian udah nikah tapi masih saling diam juga? Kirain aku nggak loh.” Lanjutnya.                 “Mati kutu deh kamu dapat suami yang kalemnya modelan Sakha.” Kata Adinda.                 "Jodoh itu rahasia ya, Bi. Aku bahkan nggak pernah mengira kalau Sakha yang jadi jodoh kamu. Secara kaliankan karakternya bertolak belakang gitu." Kata Zahra.                 "Tapi keren sih, biar saling melengkapi." Adinda ikut menimpali.                 Sedangkan Sabrina hanya bergumam tidak jelas. Apa yang dikatakan oleh kedua sahabatnya itu adalah pernyataan yang paling sering dia dengar sejak menikah dengan Sakha. Ah ralat, bahkan sejak Sakha dengan santainya mengirimkan undangan digital di grup-grup. Malam itu dimulai dari story w******p bahkan pesan pribadi yang masuk ke w******p dirinya sebagian besar mendoakan keberkahan pernikahannya dan ditambah dengan pernyataan 'kok bisa?', 'aku nggak nyangka loh', 'ya ampun saling melengkapi banget'. Kira-kira seperti itulah.                 "Jangankan kalian, aku aja mikirnya gitu." Kata Sabrina.                 "Tapi gimana? Sekarang masih kagok? Secara Pak Suamimu itu terkenal banget pendiam dan kakunya." Tuhkan, introgasi pertama dimulai.                 "Dinda benar. Aku aja kayaknya terhitung jari loh pernah ngomong sama Pak Suamimu itu. Padahal dari jaman SD sampai SMA aku sekelas mulu sama Pak Suamimu itu.”                 "Iya aku juga. Padahal pernah satu KKN sama dia loh. Sungkan banget mau ajak dia ngomong." Kata Adinda heboh.                 Sabrina pun mengiyakan perkataan Adinda dan Zahra. Dirinya juga begitu. Padahal mereka sekelas dari awal kuliah hingga lulus. Selain itu satu departemen dalam organisasi yang sama membuat dirinya juga jarang berinteraksi dengan Sakha. Tapi dirinya pun tidak pernah peduli dengan hal itu, selain karena memang adanya batas interaksi di antara mereka kala itu, Sabrina juga memang bukanlah orang yang suka membuka pembicaraan basa-basi dengan lelaki. Apalagi dengan lelaki yang berpotensi bakalan tidak membalas pembicaraannya.                 "Awalnya kagok sih. Ya tiba-tiba aja hidupku jadi berubah, gimana nggak kagok." Jawab Sabrina kemudian.                 Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Ketiganya menikmati sarapan mereka masing-masing. Kalau sudah dihadapkan dengan makanan, ketiga orang itu memang tiba-tiba jadi pendiam. Hingga akhirnya ponsel milik Sabrina bergetar. Nama Arsakha muncul. Namun bukannya menjawab, Sabrina lebih memilih untuk menolak panggilan itu. Zahra dan Adinda mengernyit tidak mengerti.                 "Din, bagi wifi hotspotmu ya." Belum Adinda mengiyakan, ponsel Adinda yang memang berada di dekat Sabrina segera gadis itu ambil.                 "Bukannya jalan pembuka rejeki itu salah satunya menikah ya?" Tanya Adinda. Matanya masih heran menatap Sabrina yang kini sedang mengotak-atik ponselnya. Memang tukang bajak hostpot.                 "Ya aku lupa beli. Mau balas pesannya Arsa dulu. Aku nggak ngabarin dia kalau kita mau makan dulu." Sabrina bersuara, sedangkan tangan dan matanya kini fokus dengan ponsel Adinda dan dirinya.                 “Arsa? Siapa?” Tanya Adinda heran. “Sakha.” Jawab Sabrina singkat dengan mata masih fokus dengan ponselnya. “Ehemm...Itu panggilan khusus buat Sakha ya?” Sabrina terdiam. Dia melihat dua sahabatnya yang kini menatapnya jahil. Dia tahu setelah ini dia akan semakin digoda oleh dua sahabatnya ini.                 “Itu kan panggilan dari dulu. Udah kebiasaan manggilnya gitu.” Ujar Sabrina tersenyum kikuk. Iya kebiasaan dari dia menikah dengan Sakha.                 “Kok aku nggak percaya ya. Aku sih yakinnya itu memang khusus.” Ujar Zahra jahil.                 “Nggak usah gitu deh, Zah. Serius aku itu.” Kata Sabrina jengkel.                 “Iya-iya kita percaya. Nggak usah ngegas.” Kata Zahra. Sabrina menghela napasnya pelan. Dia tahu sekarang adalah masa-masa dirinya akan sering digoda oleh dua sahabatnya yang masih single itu.                 Zahra dan Adinda saling pandang. Sambil terkekeh keduanya lalu melanjutkan menikmati makanan mereka masing-masing. Sedangkan Sabrina tampak mengetikkan sesuatu di ponsel dirinya. Aku masih makan sama Dinda dan Zahra. Terkirim dan langsung berwarna biru dua conteng pada pesan yang baru dikirimkan Sabrina tersebut. Tandanya Sakha sudah membaca pesan itu. Oke.                 Dugaan Sabrina benar. Balasan pesan Sakha tetap saja seperti itu. Singkat. Perempuan itu kemudian memasukkan ponselnya ke tas. Wajahnya begitu menampakkan bahwa dirinya sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Terkadang Sabrina berpikir mengapa dulu dirinya bisa yakin menerima pinangan lelaki itu, padahal dirinya tahu kalau lelaki itu memang sifatnya seperti itu.                 "Kenapa?"                 Sabrina mendongak. Adinda dan Zahra menatapnya cemas. "Nggak. Aku nggak kenapa-napa." Jawab Sabrina memaksakan senyum.                 "Ada masalah sama Sakha?" Tanya Adinda pelan.                 "Kamu butuh proses adaptasi sama dia, Bi. Jangan terlalu dipikirkan." Zahra ikut menimpali.                 "Aku baik-baik aja. Kayaknya emang akunya yang terlalu sensitif deh."                 "Makan gih, biar hatimu tenang." Canda Zahra. Tawa Adinda pun ikut membuat suasana hati Sabrina kembali membaik.                 Setelah sibuk memikirkan Sakha, Sabrina pun kini sibuk bercanda dengan kedua sahabatnya itu. Apa saja mereka bicarakan. Pembicaraan dari awal mengenang masa-masa kuliah hingga ke masa sekarang menjadi topik utama mereka. Sejak mereka lulus kuliah empat bulan yang lalu, intensitas pertemuan mereka memang tidak sesering ketika mereka kuliah dulu. Adinda sekarang sibuk dengan usaha kulinernya, Zahra yang sibuk dengan aktivitasnya sebagai guru di SDIT dan Sabrina yang memang masih menggeluti dunia kepenulisan alias setengah menganggur membuat ketiganya jarang bertemu. Hanya di moment-moment tertentu mereka bisa bertemu.                 "Eh berarti sekarang udah nggak mikirin Dafa lagi ya?" Tanya Adinda iseng. Pertanyaan yang membuat Zahra tertawa karena Sabrina mendelik kesal. Pertanyaan menjurus pada godaan itu terlalu tiba-tiba.                 "Malah bahas itu. Cinta dalam diam itu mah." Jawab Sabrina sekenanya.                 “Masih cinta?” Kali ini Zahra bertanya heboh membuat Sabrina melotot kesal.                 “Masih tersimpan rapi di dalam hati kayaknya. Iya nggak?” Goda Adinda. "Terus Sakha gimana?" Sungguh pertanyaan Adinda hanyalah candaan. Namun tetap saja membuat Sabrina bingung. Dia sendiri tidak tahu kini hatinya untuk siapa. Bukan karena Sakha kini telah berhasil menempati posisi spesial di hatinya, melainkan karena nama Dafa pun sekarang tidak terlalu sering dia pikirkan.                 "Bingung amat sih Bu.." Cibir Zahra. "Dafa itu sudah waktunya kamu lupakan, sekarang fokus sama Sakha."                 “Iya bener banget. Sakha itu halal untuk kamu pikirkan tapi Dafa nggak.” Adinda ikut menambahkan.                 "Iya-iya. Lupa kok udah." Jawab Sabrina sekenanya. “Arsa juga nggak peduli deh kayaknya.” Ujarnya. Gimana mau peduli, Sakha saja tidak mencintainya.                 “Yee sok tahu.” Kata Zahra. Sabrina dan Adinda tertawa pelan.                 "Aku itu suka ketawa kalau ingat gimana saltingnya kamu pas dipanggil Dafa pas di masjid dulu. Wajah merah dan mendadak gagap."                 Zahra mengangguk. Beberapa kali dia memainkan matanya ke arah Sabrina. Mengooda Sabrina ternyata semenyenangkan ini. "Iya-iya aku ingat juga. Dia bahkan batal ngajar karena tiba-tiba mengiyakan ajakan Dafa untuk mampir ke kedainya."                 "Nggak usah diungkit deh. Malu tahu."                 Tawa Adinda dan Zahra masih terdengar. Sabrina memandang keduanya dengan kesal. Beginilah jadinya kalau mempunyai sahabat yang selalu ada di saat suka dan duka. Mengetahui semua kartu AS mu. Kejadian beberapa bulan pun masih saja diungkit-ungkit.                 "Bi..!," Deg! Suara berat itu sangat Sabrina kenali. Panggilan itu pun juga sangat dia kenali. Hanya satu orang yang sejak dua bulan lalu memanggilnya dengan nama itu.                 Sabrina yang posisinya membelakangi pemilik suara menoleh. Arsakha berdiri menatapnya dengan tatapan yang lain dari biasanya. Kalau Sabrina boleh menebak, lelaki itu seperti sedang menahan marah. Sakha berjalan menghampiri meja mereka.                 Tidak hanya Sabrina yang cemas, Zahra dan Adinda pun demikian. Bagaimana pun juga mereka tadi membawa nama lelaki lain yang mereka goda dengan Sabrina. Kalau setelah ini Sakha memarahi Sabrina bisa besar masalahnya.                 "Halo, Kha. Apa kabar?" Pertanyaan basa-basi yang menurut Sabrina sangat tidak penting. Matanya menatap Zahra yang dengan santainya menyapa Sakha.                 "Hai Zah. Baik, Alhamduliilah." Jawab Sakha dengan senyum tipis. Lelaki itu tanpa sungkan duduk di bangku panjang yang sama dengan Sabrina. Perempuan berkhimar hitam itu diam tidak bersuara. Sungguh dia cemas kalau Sakha mendengar pembicaraan mereka yang mengungkit masalah Dafa tadi. Apalagi dia juga tahu Sakha dan Dafa itu berteman baik. Selain itu dia juga malu kalau sampai Sakha mengetahui bahwa dulu dirinya pernah menyukai Dafa.                 "Udah makan Kha?" Kali ini Adinda yang bertanya.                 Belum sempat Sakha menjawab, ibu warung tersebut datang dengan sepiring batagor dan segelas teh hangat di atas wadah. Makanan itu kemudian diletakkan di depan Sakha dan itu membuat ketiganya bingung. Kapan lelaki ini memesan makanan? Tiba-tiba lutut ketiganya menjadi lemas. Ini artinya Sakha kemungkinan besar mendengar candaan mereka tadi.                 "Sakha kan baru makan, Bi. Kita berdua pulang dulu ya." Kata Adinda kemudian. Matanya menatap Zahra kemudian.                 "Kok buru-buru?" Tanya Sabrina seperti keberatan. Jelas. Setelah menyebutkan nama Dafa tadi, dua orang ini dengan santainya akan segera pergi meninggalkannya berdua dengan Sakha. Sungguh ini momen yang sangat tidak tepat.                 "Ya nggak juga sih. Kan tadinya kita makan sekalian buat nungguin Sakha jemput kamu, berhubung dia udah datang, kita pulang dulu. Lagian makanannya juga habis.”                 Adinda mengangguk setuju dengan jawaban Zahra. Lagipula kedua orang ini pun tahu, pasangan baru di hadapan mereka ini perlu momen berdua seperti ini. Masa iya mau saling perang dingin terus.                 "Hmmh, ya udah deh. Hati-hati ya." Jawab Sabrina akhirnya.                 Kedua perempuan itu mengangguk. Kemudian segera beranjak dari kursi dan berjalan ke penjaga warung bermaksud untuk membayar makanan mereka. Tak lama kemudian mereka berdua kembali lagi.                 "Kok masih disini?" Tanya Sabrina menatap kedua sahabatnya itu dengan bingung.                 Mata kedua orang itu menatap Sakha yang sekarang sedang menikmati makanannya. "Sakha, kamu yang bayarin makanan kita berdua ya?" Tanya Zahra.                 "Iya." Jawab Sakha singkat. "Makasih karena udah temenin Bina. Aku nggak tahu deh gimana wajahnya kalau dia nunggu aku selama itu." Wajah Sakha tetap datar seperti biasa, namun tetap saja kalimat panjang yang dia katakan membuat ketiga perempuan itu kaget.                 “Iya. Santai aja kok. Kita udah lama gak ketemu juga.” Kata Zahra tersenyum tipis.                 Sabrina? Perempuan itu menatap Sakha dengan tidak percaya. Awalnya dia merasa senang karena ternyata Sakha terdengar khawatir karena harus menunggunya datang sendirian, tapi mendengar pernyataan  terakhir lelaki itu membuat Sabrina malu.                 "Katanya buru-buru. Masih disini?" Suara Sakha menginterupsi Adinda dan Zahra yang masih diam di tempat.                 Sabrina mendengus sebal. Sakha terdengar seperti mengusir Adinda dan Zahra.                 Zahra tersadar. "Iya, ini kita mau pulang. Makasih ya."                   "Selamat menikmati waktu berdua. Daah, Bi. Assalamu'alaykum."  Setelah mengucapkan itu, Adinda mengajak Zahra untuk segera pergi.                 Kedua gadis itu pergi meninggalkan Sabrina dan Sakha. Seperti biasa keduanya akan diam. Sabrina memang duduk di samping Sakha, namun keberadaan gadis itu bukanlah untuk menghangatkan suasana dengan mengajak Sakha bicara melainkan fokus dengan ponselnya. Sedangkan Sakha yang sudah menghabiskan makanannya kini menatap Sabrina dalam diam.                 Hingga beberapa menit kemudian, Sabrina masih asyik dengan game yang ada di ponselnya. Sama sekali tidak menyadari kalau suaminya kini menatapnya.                 "Bi," Panggil Sakha.                 "Hmmh.." Perempuan itu masih fokus dengan game di ponselnya.                 "Sabrina." Panggil Sakha.                 "Hmmh," Perempuan itu masih fokus dengan ponselnya. Bukan bermaksud untuk tidak memperhatikan Sakha, hanya saja game di ponselnya sudah berada di tahap ending.                 Sakha menggeleng lalu mengambil ponsel itu tiba-tiba. "Arsa!" Seru Sabrina.                 "Aku itu mau bicara sama kamu."                 Sabrina memutar matanya malas. Namun wajahnya begitu menampakkan kalau dirinya sedang kesal. "Ya ngomong aja aku juga denger." Jawab Sabrina ketus. Padahal dalam hati dia sangat cemas takut Sakha mengungkit masalah Dafa.                 “Aku nggak yakin kamu bisa fokus kalau masih main game.”                 “Aku dengerin kok.” Kata Sabrina keukeuh. Mata Sakha menatapnya tajam dan itu membuat Sabrina mendadak ciut. Ini kali pertama dia ditatap dengan penuh intimidasi seperti itu. "Aku mau bicara, tapi nggak disini." Kata Sakha dengan nada datarnya yang terkesan dingin. Sakha kemudian beranjak berdiri dan segera mengambil jaketnya. Lelaki itu segera menuju penjaga warung untuk membayar dan setelah itu pergi. Sabrina dengan kesal akhirnya ikut kemana kaki lelaki itu melangkah.                 Sabrina melangkah dengan lemas. “Ya Allah, semoga Sakha nggak marah ya Allah. Aku belum siap jadi janda. Ibu, maafin Bina.” Keluhnya dalam hati.                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN