Sedikit tentang Sabrina

2566 Kata
-Bukan tentang berhasil atau tidaknya, namun memulai yang baik itu tidak ada salahnya-             Menikah di usia dua puluh dua tahun memang sudah ada dalam listnya. Oleh karena itu, sebelum akhirnya dia benar-benar yakin dengan perempuan itu, pemilik nama lengkap Arsakha Wisnu itu sudah menyiapkan dirinya dengan sebaik mungkin. Namun Sakha lupa, teori memang mudah, namun praktiknya ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Menikah di usia yang terbilang muda memang menguji diri. Kata orang, salah satu tanda kamu siap menikah adalah ketika kamu sudah bisa menyelesaikan segala permasalahan dirimu sendiri. Ya itu benar. Karena ketika masih sendiri saja kamu tidak bisa mengendalikan dirimu, memperbaiki dirimu dan mencari solusi atas masalah pribadimu, bagaimana bisa kamu berani mengambil tanggung jawab besar itu?                 Menjadi imam keluarga, panutan keluarga dan penentu keputusan dalam kehidupan rumah tangga bukanlah hal yang kecil. Sakha pun paham itu. Dua bulan sudah dia menjalin pernikahan dengan perempuan yang Allah pilihkan untuknya, namun tetap saja hubungan keduanya masih datar. Bahkan ketika di rumah, keduanya tidur secara terpisah. Sungguh, bukan pernikahan seperti ini yang Sakha pikirkan. Realita rumah tangga yang dijalaninya saat ini sama sekali bukan rumah tangan impiannya.                 Perbedaan dengan dirinya sebelum dan sesudah menikah hanyalah kini dia tinggal berdua dengan seorang perempuan yang sebelumnya hanyalah orang asing. Hanya itu. Selebihnya sama. Dirinya tetaplah Sakha yang pendiam dan kaku. Sulit membuka pembicaraan sekalipun dengan Sabrina, istrinya sendiri. Tidak ada momen sarapan berdua atau pun makan malam berdua apalagi diskusi seputar kehidupan rumah tangga sebelum tidur. Apalagi sampai saling mengirimkan pesan singkat untuk memberi perhatian.                 Rumah tangganya terlalu jauh dari hal itu. Perbincangan mereka hanyalah sebatas pamitan singkat atau pun pemberitahuan kepulangan.                 “Sa! Aku pergi ya. Assalamu’alaykum.”                 “Sa! Aku pulang.”                 “Sa, aku keluar sebentar ya.”                 Begitulah kata-kata Sabrina setiap hari ketika mereka di rumah. Dirinya? Jika Sabrina berkata seperti itu, maka dengan pasrah Sakha hanya menjawab singkat.                 “Iya, Wa’alaykumussalam.”                 “Hmmh..”                 Terlalu datar bukan? Oh ada satu lagi yang berubah. Panggilan mereka masing-masing. Bukanlah panggilan sayang seperti pada umumnya. Itu hanyalah panggilan mereka ketika di keluarga. Jadi sebenarnya tidak ada yang spesial.                 Sabrina Farayumna, begitulah nama perempuan yang dia sebutkan ketika akad dan nama yang tersanding di undangan pernikahannya. Dia tahu, Sabrina mungkin akan sangat terkejut melihat dirinya malam itu memberanikan diri menemui ayah Sabrina untuk meminta Sabrina menjadi istrinya. Jangankan Sabrina, dirinya sampai sekarang masih tidak percaya kalau dirinya seberani itu ketika itu. Sakha masih ingat bagaimana cueknya perempuan itu ketika melihat dirinya berbicara dengan keluarga Sabrina. Bahkan Sakha sendiri tidak mengira bahwa proses yang memakan waktu beberapa bulan itu berakhir dengan bersamanya mereka di pelaminan.                 “Iya, saya bersedia.” Begitulah jawaban Sabrina ketika dirinya datang bersama dengan keluarganya kala itu ke rumah perempuan itu.                 Sakha memang tidak banyak berharap banyak dengan pernikahan mereka. Baginya selama Sabrina tidak melakukan hal-hal aneh apalagi yang melanggar syari’at, maka itu tidak akan menjadi masalah.                 Sakha juga tidak menyimpan perasaan apapun pada Sabrina. Datangnya Sakha ke rumah Sabrina pada malam itu pun atas kesepakatan dia dan mendiang papanya. Sakha mengenal baik keluarga Sabrina, tentunya tanpa sepengetahuan perempuan itu. Sabrina sama sekali tidak mengetahui bahwa Sakha sudah mengenal baik keluarganya, bahkan jauh mereka saling mengenal di awal-awal kuliah. Perempuan yang berstatus istrinya itu hanya tahu bahwa Sakha mengenal keluarganya karena beberapa kali mereka ada kepentingan di rumah Sabrina yang berkaitan dengan organisasi.                 Sabrina itu cuek tapi cerewet. Itulah yang Sakha tangkap dari beberapa interaksi Sabrina dengan orang-orang sekitarnya. Dia akan cuek dengan orang yang tidak dia kenal dan sangat cerewet dengan orang-orang terdekatnya. Bahkan perempuan itu begitu menjaga jarak dengan dirinya.                 "Arsa kamu jalannya pelan-pelan. Capek tahu lari terus!" Suara teriakan Sabrina begitu terdengar jelas di telinga Sakha.                 Sakha pernah bilang bukan bahwa Sabrina itu cerewet? Dia tidak sungkan-sungkan protes jikalau ada sesuatu yang membuatnya kesal. Namun percayalah, protes yang keluar dari mulut Sabrina seringkali membuat Sakha gemas. Padahal Sakha adalah tipikal orang yang tidak suka orang yang berisik.                 Dia yakin kalau sekarang Sabrina akan menggerutu di belakangnya. Langkahnya tertinggal jauh dengan Sakha. Tinggi Sabrina hanya sebatas bahunya. Jelas Sakha yakin kalau langkah perempuan itu tidak sepanjang dirinya. Sakha hanya berjalan cepat namun Sabrina berusaha mengimbanginya dengan berlari. Walaupun begitu, tetap saja Sabrina tidak bisa menyamai langkahnya.                 "Arsa! Tunggu a-aduuh!" Kali ini teriakan Sabrina membuat Sakha menoleh ke belakang.                 Sabrina terduduk di aspal sambil memegang kakinya.                 "Bi!" Sakha langsung berlari menghampiri Sabrina. "Kamu kenapa?" Tanya Sakha panik. Tapi jujur, pertanyaan dari Sakha adalah pertanyaan yang salah. Dirinya jelas tahu kalau Sabrina terjatuh. Lihat saja, tatapan kesal khas Sabrina itu jelas membuat Sakha semakin merasa bersalah.                 "Sakit?"                 "Nggak!" Kata Sabrina ketus.                 "Kalau sakit bilang aja sakit, Bi." Ucap Sakha pelan sambil memegang pergelangan kaki perempuan itu. Sabrina menatap Sakha dengan kesal.                 "Iyalah sakit. Kamu juga ngapain nanya sih kalau udah tahu jawabannya." Gerutu Sabrina. "Iih jangan ditekan, Sa. Sakit." Kata Sabrina meringgis pelan lalu menepuk pelan tangan Sakha. Sakha menghela napasnya. Sabrina itu selain cerewet juga sedikit galak. "Oke, maaf. Sekarang ayo aku bantu berdiri.” “Nggak bisa. Sakit.” Keluhnya. “Aku gendong aja ya.” Sakha sebenarnya juga kaget dengan apa yang diucapkannya. Namun dia juga tidak bisa membiarkan Sabrina berjalan dengan kaki yang sakit seperti itu. “Nggak perlu!” Jawab Sabrina galak.                 "Kalau butuh bantuan kamu bisa bilang." Kata Sakha menatap Sabrina. Lelaki itu lalu duduk di depan Sabrina. “Ayo naik. Kalau sakit, nangis aja. Nggak usah malu. Kan dulu aku pernah liat juga."                 Tatapan Sabrina berubah horor. Mengapa semakin kesini Sakha semakin berubah menyebalkan seperti ini? Sungguh, sungguh Sakha teramat menyebalkan. Lihat saja dengan senyum terkulum, dia berusaha menahan tawa. Sabrina yakin lelaki itu pasti mengingat-ingat kejadian memalukan itu.                 "Iiih kok kamu jadi rese gini sih. Nggak usah ungkit itu lagi. Malu."                 Sakah terkekeh sembari berkata "Iya-iya. Marah-marah terus. Nggak capek?"                 "Capek. Apalagi kalau sama kamu." Kata Sabrina galak.                 “Udah ayo naik.”                 “Kenapa harus parkirnya jauh banget sih? Aku nggak mau kamu gendong.”                 Sakha lalu berdiri. “Tunggu disini.” Tanpa menunggu Sabrina bilang iya, Sakha lalu berlari menuju motornya.                 Dia baru tahu kalau Sabrina ternyata gengsian seperti itu. Perempuan itu tetap saja keukeuh tidak mau dia gendong. Tidak ada pilihan lain, Sakha harus mengambil motornya dulu baru menghampiri Sabrina.                 “Ayo!”                 Tanpa menjawab Sabrina berusaha berdiri. Namun gagal, sehingga Sakha tanpa meminta izin langsung membantunya berdiri.  Tubuh Sabrina bereaksi lagi.  "Aku suami kamu. Nggak usah kaget." Kata Sakha. Padahal Sakha hanya membantunya berdiri.                 "Kamu mau ngapain?"                 "Bantu kamu." Jawab Sakha.                 "Ng-"                 "Kita nggak usah debat dulu ya."                 Sabrina mengerucutkan mulutnya karena kesal. Dia lalu diam dan berjalan pelan dibantu Sakha.                 "Ngambeknya nanti aja. Nggak capek dari tadi ngambek terus."                 "Biarin, nggak ada urusannya sama kamu." Kata Sabrina. Lelaki itu terkekeh. Dia memang baru mengetahui kalau suasana hati Sabrina itu seringkali berubah-ubah.                 "Ya udah, naiknya pelan-pelan.” Perempuan itu enggan menjawab. Tangannya tetap berpegangan pada pergelangan tangan Sakha. Dia lalu naik ke motor pelan-pelan. Sedangkan Sakha yang kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit telapak tangan Sabrina merasakan ada hal yang aneh. Antara gugup dan senang. Perempuan cantik itu memang hanya akan menyentuh kulitnya ketika salaman. Itupun dia sering lupa. Kendati demikian, Sakha tidak pernah kesal dengan sikapnya yang suka asal. Sabrina selalu terlihat menggemaskan di matanya.                 Ternyata Sabrina bisa semenggemaskan ini.                 Namun tiba-tiba dia kembali memikirkan obrolan Sabrina dengan dua sahabatnya tadi. Tiba-tiba hatinya menjadi tidak rela dengan alasan yang tidak diketahui Sakha apa itu. "Jadi kamu mau ngomong apa?"                 Mereka baru saja sampai di rumah. Sabrina kembali bersuara padahal tadi dia begitu diam di perjalanan.                 Sakha mengangkat wajahnya. Mengalihkan fokusnya ke sang istri. Menyebutkan Sabrina sebagai istrinya membuat kesan tersendiri bagi Sakha. Bagaimana tidak, yang disebutnya sebagai istri itu lebih terasa sebagai rekan organisasi dibandingkan istri. Sabrina jarang bicara padanya terkait hal-hal yang bersifat pribadi, namun Sabrina akan mengajaknya bicara jika mengenai organsasi. Sakha sebenarnya ingin protes, namun daripada Sabrina semakin menjaga jarak darinya maka Sakha akan memilih mengikuti alur Sabrina.                 Bahkan tadi ketika dia ingin mengantar Sabrina ke tempat halaqahnya, Sabrina justru terlihat begitu kaku bersamanya. Istrinya itu bahkan seakan enggan diantar olehnya. Ah, dia tahu Sabrina masih mencintai Dafa. Bisa jadi ini karena Dafa, sehingga Sabrina begitu menjaga jarak darinya.                 Jika benar Sabrina masih menyimpan perasaan pada Dafa, mengapa dia harus menerima lamaran Sakha saat itu?                 Dafa adalah sahabatnya. Rekannya yang sangat dia kagumi. Namun anehnya sekarang Sakha justru begitu malas hanya sekedar mendengar namanya. Tidak, dia tidak cemburu. Hanya saja perasaan tidak rela itu muncuk tiba-tiba ketika mengetahui hal itu. Tidakkah selama ini Sabrina terlalu pintar dalam menyimpan perasaannya itu pada Dafa? Selama mereka berinteraksi di organisasi, Sabrina sangat jarang berinteraksi atau menunjukkan bahwa gadis itu menyukai Dafa. Semuanya tampak biasa-biasa saja. Hingga fakta yang didengarnya itu begitu membuatnya kaget.                 Gadis itu cerewet. Namun terkesan pasif jika bersama Sakha. Namun Sakha akan menghargai itu. Dia paham, selama ini hubungan keduanya hanya sebagai rekan organisasi. Tapi itu dulu, sekarang mereka adalah sepasang suami istri.                 “Sa, kenapa?” Sakha menoleh. Dia lalu pergi membuat Sabrina menatapnya heran.                 "Kakimu masih sakit?" Tanya Sakha muncul tiba-tiba menghampiri Sabrina yang sekarang duduk dengan kaki yang selonjoran di sofa. Lelaki itu baru saja selesai membuatkan segelas teh hangat untuk Sabrina.                 Lelaki itu kini duduk di bawah. Setelah meletakkan teh itu di meja, Sakha baru saja ingin memijit pergelangan kaki istrinya itu. Namun dengan cepat Sabrina menepis tangan itu.                 "Kenapa?" Tanya Sakha kaget.                 "Kamu mau ngapain?" Sabrina berseru galak. Sakha terkekeh. Dia baru sadar kalau Sabrina bisa saja kaget karena tidak terbiasa dipegang oleh yang bukan mahromnya.                 "Mijitin kaki kamu. Nanti keburu membengkak." Jawab Sakha. "Emangnya kamu mikir apa? Mikir aneh-aneh lagi?"                 Wajah Sabrina justru memerah. "Aku itu malu kalau kamu liatin kaki aku." Cicit Sabrina.                 Sakha tertawa pelan mendengar penuturan Sabrina yang begitu polos. Dia sungguh tidak menyangka kalau isrinya yang ketus itu bisa jinak juga. Malunya Sabrina karena kakinya yang sekarang masih terbungkus kaos kaki itu membuat Sakha bahagia. Jangankan bagian tubuhnya yang lain, kakinya pun terbungkus rapi dari pandangan lelaki.                  Bahkan sampai sekarang Sabrina belum pernah menanggalkan khimarnya di hadapan Sakha. Bukankah Sakha pernah bilang kalau mereka tidur terpisah kamar? Jangankan berada dalam satu ruangan privasi berdua, berada di ruang tamu berdua seperti ini saja Sabrina terlihat begitu malu.                 "Kamukan istriku. Halal dong." Canda Sakha.                 Sabrina kaget melihat lelaki itu bercanda sesantai itu padanya. Ini seperti bukan Sakha, lelaki dingin dan kaku yang memiliki kepekaan minim. Sakha bisa melihat jelas ekspresi terkejut itu. Tampaknya dia harubah sedikit sifatnya yang pendiam.                 "Emangnya aku makanan ada halal haramnya." Kata Sabrina kesal, namun justru menyisakan senyum di wajah putihnya itu. Matanya menyipit karena tersenyum.                 Ternyata benar, Sabrina yang cerewet itu sangat suka bercanda.                 "Aku pijitin aja ya. Nanti tambah bengkak."                 Sabrina akhirnya mengangguk. Dibantu Sakha, perempuan itu  membuka kaos kaki krem bermotif bunga itu. Setidaknya untuk saat ini, mereka bisa bersikap akur.                 "Aku sentuh boleh?" Tanya Sakha pelan. Melihat bagaimana terkejutnya Sabrina ketika Sakha ingin memegang kakinya yang masih dengan kaos kaki tadi membuat Sakha berinisiatif untuk meminta izin Sabrina menyentuh kakinya langsung. Dia harus menghormati prinsip istrinya itu.                 "Iya boleh. Kaosnya udah dibuka juga. Masa iya dibiarin gitu aja. Lagian makin berdenyut itu." Ujar perempuan itu.                 Sakha kemudian tersenyum. Pelan-pelan dia menyentuh kaki istrinya itu. Tegang. Dia tahu Sabrina akan setegang ini. Reaksi perempuan itu sama dengan ketika dirinya diminta untuk menyambut tangan Sakha sewaktu ingin bersalaman selepas akad. Mereka bahkan ditertawakan karena sikap mereka yang masih malu-malu.                 "Iih sakit banget. Iih Arsa.. Pelan-pelaaan.." Sakha tahu ini akan terasa sakit. Padahal lelaki itu sudah mengoleskan pergelangan kaki itu dengan minyak.                 Reflek kemudian Sabrina mengenggam erat baju Sakha. Perempuan itu memejamkan matanya karena menahan rasa sakit.                 "Arsaaa, cepetan. Sakit tau."                 Sakha hanya geleng-geleng kepala. Sabrina semakin galak. "Bentar lagi." Ucap Sakha. Sabrina mengangguk namun sesekali mengeluarkan suara ringgisan kecil menahan sakit.                 "Nah selesai. Coba gerakin kakimu pelan-pelan." Ucap Sakha.  Sabrina mengangguk. Antara takut dan penasaran, dia mencoba untuk menggerakkan kakinya. Pelan-pelan hingga dia mencoba untuk meloncat kecil.                 "Sa udah nggak sakit lagi." Seru perempuan itu senang. Sakha mengangguk lalu berniat pergi. Namun suara panggilan Sabrina membuatnya menoleh. Seolah mengerti dari tatapannya yang seolah meminta penjelasan, Sabrina lalu duduk dan menepuk bagian di sampingnya.                 Sakha lalu duduk dan menatap Sabrina. "Kenapa?"                 "Kamu bilang mau bicara. Ayo, kamu mau ngomongin apa?"                 Tubuh lelaki itu menegang. Dia saja sudah lupa. Namun dengan wajah sumringah, perempuan di dekatnya itu mengingatkannya kembali. Sebenarnya Sakha ingin mengurungkan niatnya untuk bicara namun melihat wajah Sabrina yang begitu ingin tahu tampaknya dia memang harus membicarakan ini. Lagi pula ini penting. Demi jalan pernikahannya.                 "Bi," Sakha sudah terbiasa memanggil Sabrina dengan nama kecilnya. Hanya Bi. Awalnya Sabrina protes, namun karena Sakha yang tetap bersikeras menggunakan itu sebagai panggilannya dia pun akhirnya menerima. Begitu pula dengan Sabrina, dikarenakan Sakha yang dipanggil Arsa oleh mamanya, akhirnya dia pun ikut membiasakan panggilan itu.                 "Hmmh, kenapa?" Mata perempuan itu menatap Sakha dengan seksama.                 "Aku mau kamu jadi istriku." Ujar Sakha dengan wajah serius. Sedangkan Sabrina menatap Sakha dengan heran. Jadi istri? Apa maksudnya? Bukankah sekarang Sabrina adalah istri Sakha?                 "Kan sekarang udah." Jawab Sabrina polos. “Kamu aneh-aneh aja.”                 Sakha mengusap wajahnya. Lelaki itu menghela napasnya. Matanya kini menatap Sabrina dengan seksama. Dia juga memberanikan dirinya untuk menggenggam tangan Sabrina yang tadi berada di atas lutut gadis itu. Tentu saja, wajahnya yang tadi santai kini berubah tegang.  Bahkan dia sempat ingin melepaskan tangannya, namun anehnya justru Sakha tahan.                 "Bi, biarin gini sebentar ya." Jikalau bisa, Sabrina rasanya ingin tertawa melihat wajah Sakha yang serius namun terlihat menggemaskan untuknya apalagi panggilan lembut Sakha padanya tadi. Itu adalah kejadian langka. Namun Sabrina memilih diam. "Aku mau kamu jadi istriku yang sebenar-benarnya. Dan aku jadi suami kamu yang sebenar-benarnya. Aku-"                 "Aku udah jadi istri kamu beneran loh ini!" Seru Sabrina memotong perkataan Sakha..                 "Dengerin aku dulu ya, nanti akan aku kasih kamu kesempatan untuk menyampaikan semua unek-unek kamu."                 Sabrina mengangguk lagi. Dia sungguh penasaran apa yang akan dilakukan Sakha. Dua bulan menikah, Sakha bahkan tidak pernah menatapnya seintens ini walaupun itu hanya lima detik apalagi harus menggenggam erat tangannya seperti ini. Bisa dikatakan Sabrina salting dan gugup. Apalagi perkataan lembut dari mulut lelaki itu. Kalau saja hubungan mereka berdua sama saja dengan hubungan pasangan suami-istri pada umumnya, Sabrina akan tidak segan mencubit pipi lelaki itu karena gemas dan wajahnya akan memerah.                 “Aku mau kita jalani kehidupan sebagai suami-istri pada umumnya. Saling peduli, saling melengkapi, saling perhatian dan saling-“                 “Saling mencintai juga?!” Sabrina berseru antusias. Padahal dia masih belum Sakha berikan kesempatan untuk bicara.                 Sakha menatap Sabrina tajam. Perempuan itu jadi menciut.. Dia melanggar keesepakatan yang barusan dia setujui. Namun bukannya marah atau pun kembali menegur sikapnya, raut wajah Sakha jadi sumringah. Lelaki itu tersenyum. Senyuman tanpa sungkan yang ditunjukkan langsung padanya bahkan lebih dari lima detik.                 “Kurang lebih gitu.” Jawab Sakha.                 “Emangnya kamu bisa mencintai aku?”                 Sakha mengernyit heran. Pertanyaan Sabrina membuatnya bingung sendiri. Apa susahnya mencintai perempuan ini?                 “Kok diam?”                 “Memangnya kamu bisa mencintai aku?”                 Sabrina mengangguk cepat. Yakin dan penuh semangat.                 “Daffa gimana?”                 Pertanyaan itu membuat Sabrina bingung. Sakha menarik napasnya. Hingga pertanyaan itu kembali dia tanyakan.                 “Apa kamu bisa  menggantikan posisi Daffa di hatimu dengan aku?”                 Sebuah pertanyaan yang membuat tubuh Sabrina menegang. Sakha tersenyum tipis kemudian melepaskan tangan Sabrina. “Santai aja, kita bisa jalani ini pelan-pelan.” Ucap Sakha.                 Sedangkan Sabrina masih diam. Lagi-lagi Sakha merasakan bahwa dia memang harus berjuang keras untuk memenangkan hati istrinya itu.  

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN