Part 9 --Kecewa

2232 Kata
Pintu ruangan Arini terbuka lebar. Sosok laki-laki dengan kemaja hitam digulung hingga siku. Seharusnya sosok di depannya itu akan tampak tampan bagi pemujanya. Sayangnya, Arini sama sekali tidak tertarik untuk menatapnya lebih lama lagi. Wanita tinggi semampai itu, menghela napas panjang melihat kedatangan laki-laki itu. Reza langsung masuk ke ruangan Arini. Belum dipersilakan, tetapi laki-laki idola di kampus itu tidak akan peduli dengan semua itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk masuk ruangan ini dengan atau tanpa izin dari Arini. Baginya, tempat ini candu, membuat selalu ingin mengunjunginya. "Jadi?" tanya Reza tanpa basa-basi dan langsung duduk di kursi yang memang disediakan oleh Arini untuk mahasiswa dan mahasiswinya yang hendak bimbingan skripsi. Reza masih menatap Arini yang memilih diam. Wajah wanita tinggi semampai sore ini sangat menggemaskan di matanya. Reza rindu sosok yang membuatnya gundah gulana beberapa hari. Pergi kemana wanita yang ada di hadapannya kemarin? Arini menaikkan satu alisnya. Tidak paham dengan maksud laki-laki muda yang ada di depannya. Manatap Reza dengan tajam. Ia enggan meladeni sosok mahasiswa yang sangat gigih mengejarnya ini. Reza justru tersenyum mendapati wanita pujaan hatinya menatapnya, walaupun dengan tatapan yang bisa dibilang tatapan horor. "Itu ponsel milik kamu." Tangan Arini menunjuk ponsel yang sengaja ia letakkan di meja dekat vas bunga."Setelahnya silakan keluar," lanjut Arini dengan nada dingin seperti biasanya. Arini tidak peduli jika ucapannya akan membuat Reza marah. Setelah beberapa hari membawa ponselnya pergi, tetapi sambutannya sangat dingin seperti biasanya. Reza tidak terima mendapatkan perlakuan seperti ini. Rasanya ingin memaki, tetapi ditahannya dalam hatinya. Reza dengan cepat mengambil ponselnya. Ia menatap Arini yang sedang makan mie instan di meja. Wanita tinggi semampai itu tidak peduli dengan apa pun, termasuk Reza. Pikirannya hanya terfokus pada makanan dan setelahnya harus kembali mengajar hingga pukul tujuh malam nanti. "Arini!" bentak Reza membuat wanita berusia tiga puluh dua tahun itu terjengit karena terkejut. Arini langsung meletakkan mie instan miliknya di meja. Hampir saja ia tersedak karena terkejut dengan bentakan dari Reza. Reza menatap tidak suka ke arah wanita tinggi semampai itu. Tak hanya itu, seolah di hadapan Reza, wanita tinggi semampai itu tidak peduli. "Apa?" tanya Arini datar setelah menetralkan keterkejutannya. Napas Reza kembang kempis menahan segala rasa yang ada di d**a. Usahanya mendekati Arini sia-sia. Tidak ada hasil sama sekali. Alasan apa pun yang dikeluarkan wanita yang menjadi pujaan hatinya itu tidak bisa diterima oleh akal sehatnya. Laki-laki dewasa yang pantas mendampinginya. Seperti apa? "Reza, jangan buang waktumu untuk mengejarku. Aku tidak tertarik sama sekali. Carilah gadis yang seumuran denganmu. Saya mohon, jangan ganggu dan jangan usik kehidupanku. Aku sungguh tidak nyaman. Seberapa keras pun kamu mengejarku, hati ini sudah mati rasa. Saya harap kamu paham dan ini terakhir kalinya kamu datang ke ruanganku!" Arini memberikan peringatan dengan nada yang sangat tegas. Arini berharap ucapannya kali ini akan didengar oleh Reza. Lelah, ketika harus menghadapi sosok mahasiswa jurusan Matematika itu. Sepertinya Reza memang sudah menebalkan muka dan tidak peduli pada siapa pun. Itu yang membuat Arini sangat lelah. "Lalu? Aku harus percaya dengan ucapanmu?!" Reza membentak sosok yang telah mencuri hatinya sejak lama. Penolakam itu sudah biasa Reza dengar. Biasanya ia akan biasa saja, tetapi hatinya kali ini sangat sensitif. Mahasiswa berusia dua puluh empat tahun itu tidak terima. Ucapan Arini menggores hatinya. Reza sempat berpikir jika kepergian Arini beberapa hari yang lalu hanya untuk menenangkan diri setelah melihat foto yang diperlihatkannya. Setelahnya, sosok wanita dewasa itu akan menerima cinta Reza dan melupakan sosok Hadi. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Jawaban Arini sama seperti sebelumnya. Wanita satu ini benar-benar langka. Sikapnya yang dingin terhadap lawan jenis membuat banyak laki-laki penasaran. Mereka yang mundur hanya karena satu atau ribuan kali penolakan rasanya aneh. Selalu ada jalan untuk menaklukan perempuan. Sayangnya, prinsip yang dipakainya tidak berpengaruh sedikit pun pada Arini. "Reza, saya mencintai orang lain. Kami akan menikah. Tolong jangan mengusik saya dan pahamilah." Arini memang tidak sepenuhnya berbohong. Darah di tubuh Reza mendadak mendidih mendengar ucapan wanita yang sangat dicintainya itu. Siapa yang dicintai Arini selama ini? Jawabannya selalu saja berbeda dengan gosip yang beredar. Itu fakta, karena memang wanita tinggi semampai itu tidak terlihat sedang dekat dengan siapa pun saat ini. Hati Arini memang masih tertambat pada sosok Hadi. Meskipun di bibir berkata benci, tetapi tidak dengan hatinya. Cinta buta--kata yang tepat untuk menggambarkannya. Arini tidak memungkiri hal ini. Siapa yang menyangka, jika Hadi membuat Arini benar-benar jatuh cinta. Semua tampak baik di mata Arini, meskipun Hadi melukai hatinya dengan begitu dalam. Bagi Arini, semua bisa diperbaiki asalkan Hadi mau menikahinya. Tak apa walaupun hanya menjadi istri kedua. Arini sempat berpikir seperti itu. Akan tetapi, banyak pertimbangan dari hasil pemikirannya itu. Kedua orang tuanya pasti tidak akan setuju. Ayahnya akan menentang keras. Sebab, hak istri kedua itu sangat terbatas. "Siapa? Mantan tunangan kamu yang telah menikah dengan wanita pilihannya?!" Reza sangat emosi saat bertanya pada Arini. "Bukan. Dia sudah menjadi masa lalu." Arini menjawab dengan tegas bertolak belakang dengan isi hatinya. Arini langsung menampaik ucapan Reza. Ia. Mengingkari apa yang ada di hati dan pikirannya. Reza sakit hati mendengar apa yang diucapkan sosok wanita yang masih terlihat cantik di kepala tiga itu. Reza menjadi sosok yang sangat sensitif dan mudah marah saat ini. Reza meninggalkan ruangan Arini dengan perasaan yang tidak menentu. Tiga setengah tahun membuang waktu percuma dengan mengejar sosok wanita yang sangat dikaguminya. Sosok tinggi semampai, cantik, dan cerdas menjadi prioritasnya mencari pasangan. Lebih tua tidak masalah, yang penting kriteria tersebut ada. Ada banyak kekurangan pada Arini, tetapi Reza menutup mata. Bagi mahasiswa jurusan Matematika itu, Arini sosok yang sempurna. Tidak ada kekurangannya, cinta telah membutakan mata hatinya. Sejujurnya, Reza pun tidak tahu bagaimana bisa sangat tergila-gila seperti ini pada sosok Arini. Rumor tentang Reza mendekati sosok Arini sudah tersebar ke seluruh kampus. Salah satu yang membuat Arini malas untuk menanggapi Reza. Berita itu sangat tidak enak untuk didengarkan olehnya. Sangat mengganggu segala aktivitas yang dilakukan Arini di kampus. Arini bisa bernapas lega saat laki-laki itu pergi dari ruangannya. Semoga setelahnya hidupnya bisa lebih tenang tanpa gangguan dari sosok Reza. Biarlah, waktu bisa menyembuhkan luka hati. Reza pun pasti demikian. ♡♡♡♡ Maya sudah sampai di rumah bersama dengan kedua orang tuanya. Setelah menjemput Keenan terlebih dahulu. Ayah Maya memang curiga jika sang putri sedang ada masalah dalam rumah tangganya. Akan tetapi, beliau tidak ingin ikut campur lebih jauh. Mereka telah dewasa dan dapat memikirkan solusi dari setiap masalah. Kecurigaan Pak Hasan sangat beralasan. Tidak seperti biasanya Maya meminta untuk dijemput pulang dari rumah sakit. Terlebih semua administrasi diselesaikannya sendiri. Biasanya, sesibuk apa pun menantunya pasti akan membantu dan menjemput Maya dari rumah sakit. "Suami kamu kapan pulangnya?" tanya ayah Maya sambil meminum kopi yang dibuatkan oleh sang istri. Maya menghela napas sejenak. Memikirkan jawaban yang tepat agar sang ayah tidak curiga. Rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak ingin ayahnya tahu tentang masalah yang sedang menimpanya saat ini. "Malam, Yah, biasanya kalo hari Senin suka lembur. Lagi banyak proyek." Maya berusaha menutupi apa yang sedang dialaminya. Berharap sang ayah tidak mencurigainya. "Ya, sudah. Kamu lebih baik istirahat. Biar ayah dan ibu yang jaga Keenan." Beliau meletakkan gelas kopinya di atas meja. Pak Hasan sedikit lega dengan jawaban sang putri. Beliau tidak bisa memaksakan kehendak pada menantunya karena memang sedang sibuk bekerja. "Keenan mau sama Mama. Kakek istilahat saja." Keenan menggandeng tangan Maya dan mengajak ke kamar utama. Pak Hasan hanya tersenyum menanggapi sang cucu. Wajar jika Keenan sangat merindukan Maya. Mereka terbiasa bersama-sama. Baru kali ini harus berpisah dalam waktu beberapa hari. Bu Wati saat ini sedang sibuk di dapur, menyiapkan makanan untuk makan malam. Hanya menghangatkan saja. Sebelum datang ke rumah sang menantu, terlebih dahulu memasak di rumahnya. "Bu, apa aku telepon Hadi, ya?" tanya Pak Hasan pada sang istri yang sedang menyiapkan beberapa masakan untuk makan malam. "Janganlah, Pak. Takutnya menantu kita sedang sibuk." Bu Wati berusaha mencegah suaminya. Bu Wati tahu jika suaminya sangat penasaran dengan keberadaan sang menantu sore ini. Hingga jam di dinding menunjuk pukul 17.30 WIB, Hadi masih belum tampak tanda-tanda pulang ke rumah. Sementara itu, Hadi sedang berada di sebuah toko bunga. Ia ingin memberikan kejutan pada wanita yang sangat dicintainya itu. Maya sangat menyukai bunga mawar putih. Hadi berencana membelikan buket bunga mawar putih. Berharap, hati Maya terbuka dan mau memaafkan kesalahannya. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Hadi gegas menuju ke rumah sakit. Betapa terkejutnya setelah sampai di ruangan sang istri dan mendapati kamar itu kosong. Panik. Ia segera mendatangi petugas dan bertanya kemana sang istri dipindahkan. Jawaban petugas membuatnya terhenyak. Maya sudah pulang ke rumah. Maya bahkan tidak memberitahukan padanya. Hatinya sangat tercubit dengan apa yang dilakukan sang istri. Maya benar-benar marah. Entah harus bagaimana lagi menghadapi kemarahan sang istri. Belum lagi, sang ayah mencurigainya. Hadi terduduk lemas di lantai rumah sakit. Otaknya tidak mampu berpikir jernih saat ini. Masalah demi masalah seolah enggan pergi. Selalu saja datang tanpa diundang. Bukan tidak ingin menyelesaikan, hanya saja Hadi belum memiliki keberaniaan untuk menghadapinya. Dering ponsel mengagetkannya. "Hallo ...." "Ayah ... saya sedang perjalanan pulang." Hadi memutuskan sepihak panggilan telepon dari sang mertua. Gegas, Hadi berlari menuju tempat parkir rumah sakit. Bunga mawar untuk sang istri diletakkan di kursi samping kemudi. Wajahnya sangat kusut. Pasti akan ada drama sore ini mengingat ayah mertuanya ada di rumahnya. Akan banyak pertanyaan dari ayah mertuanya nanti. Butuh persiapan energi untuk menjawabnya. Jalanan Kota Kembang sore ini sangat macet. Kemacetan menambah stres bagi Hadi. Pikirannya bertambah kusut ketika harus mengingat satu per satu masalah yang menimpanya. Tidak mudah untuk menyelesaikannya. Terutama masalah dengan sang istri. Ia sangat takut kehilangan sosok Maya dalam hidupnya. Penat dan lelah menjadi satu, pikiran Hadi terbagi pada beberapa hal. Ia berulangkali memukul stir mobilnya karena emosi dengan kemacetan. Biasanya ayah Keenan tidak mempermasalahkan semua itu. Kali ini rasanya ingin mengumpat dan berkata kasar. Sementara itu, Maya sedang bercanda tawa dengan Keenan. Beban pikirannya sedikit ringan ketika bersama sang putra. Celoteh anak laki-lakinya membuatnya sedikit terhibur. Melupakan sejenak tentang rasa sakit hati yang ditorehkan oleh Hadi. Ayah Maya--Pak Hasan mengamati anak dan cucunya. Maya tidak tampak seperti sedang ada masalah. Beliau merasa bersalah telah menuduh sang menantu membuat sang putri menangis. Jadi sakitnya Maya bukan seperti apa yang dilihatnya, melainkan drop karena awal kehamilan. Jam di dinding menunjukkan angka 18.30 WIB. Pintu rumah mereka diketuk dari luar. Ada sedikit rasa was-was di hati Maya. Wanita sederhana itu, masih takut dengan kejutan beberapa hari yang lalu. Ia takut wanita masa lalu suaminya kembali datang terlebih saat ada kedua orang tuanya. Pak Hasan segera membukakan pintu rumah Maya. Ternyata Hadi yang berada di luar rumah. Sebagai anak menantu yang baik, Hadi segera mengulurkan tangan ke arah ayah mertuanya. Mencium punggung tangan ayah Maya dengan takzim. "Baru pulang, Di? Kata Maya biasanya kalau Senin lembur sampai malam." Pak Hasan sedikit heran dengan kedatangan sang menantu. Sebab, Maya mengatakan jika suaminya akan lembur. "Hari ini saya tinggal dahulu pekerjaan hingga Maya sembuh," jawab Hadi sambil tersenyum. Hadi beruntung bisa memberikan jawaban yang tidak mencurigakan pada ayah mertuanya. Wajahnya dibuat sebiasa mungkin saat menatap wajah beliau. Hadi tidak ingin keluarga tahu tentang masalah dalam rumah tangganya. Maya pun sama, menampilkan wajah biasa saja agar tidak dicurigai oleh kedua orang tuanya. Pak Hasan merasa lega mendengar jawaban dari sosok laki-laki muda yang telah menikahi putrinya. Ayah Maya tersenyum simpul melihat Hadi membawa sebuket bunga mawar putih. Beliau tahu jika Maya menyukai mawar putih. Pasti, menantunya akan memberikan kejutan pada sang putri. Berbeda dengan Hadi, ia justru ketakutan jika akan banyak pertanyaan dari ayah mertuanya. Tidak akan mudah untuk menjelaskan duduk permasalahannya. Terlebih, kisah masa lalunya sebagai laki-laki b***t dan tidak bertanggung jawab. Maya pun akan sulit mendengar penjelasan itu, tidak akan mudah menerima semuanya. "Maya di mana, Pak?" tanya Hadi tak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. "Ada di kamar lagi main sama Keenan. Anak itu kangen dengan mamanya," jawab Pak Hasan dengan senyuman lebar. "Saya ke kamar dulu, Pak," pamit Hadi dengan sopan. Pak Hasan mengangguk sebagai jawaban. Hadi segera menuju ke kamar tempat sang istri berada. Benar, di depan sana kedua orang yang sangat dicintainya sedang bercanda ria. Tampak jelas kebahagiaan keduanya. Hadi ikut tersenyum ketika melihat Maya bisa tertawa lepas. "Papa ...." Keenan menyadari kehadiran sosok laki-laki yang sangat dirindukannya. Hadi segera mendekat ke arah sang putra dan istrinya. Ia menatap wajah sang putra bergantian dengan wajah istrinya. Wajah Maya sudah tidak sepucat awal masuk klinik kemarin. Sudah lebih baik dan tampak lebih sehat. Hati Hadi tercubit, Maya tidak mencium tangannya seperti biasanya. Hanya sesaat Maya memandang ke arahnya. "Bagaimana kabarmu hari ini, Ma?" tanya Hadi sambil menyerahkan sebuket bunga mawar putih pada Maya. Ia berharap jika sang istri akan menerima bunga itu. "Baik," jawab Maya singkat tanpa menatap ke arah sang suami. Hadi menghela napas. Ia tahu kehadirannya saat ini tidak diharapkan oleh Maya. Wanita itu bahkan menatap ke arah lain. Hati Hadi sangat tercubit saat ini. "Eh, Papa bawa bunga buat Mama." Keenan berceloteh sambil menunjuk bunga yang ada di tangan papanya. Hadi tersenyum lebar. Ia bisa menggunakan sang putra untuk mendekati sang istri. Sayangnya Maya hanya tersenyum menanggapi Keenan. Jika biasanya Maya akan sangat antusias ketika mendapatkan kejutan dari sang suami, kali ini tidak. Seolah hatinya telah mati rasa. Ia hanya menjaga sikap di depan ayah dan ibunya yang kebetulan ada di sini. Maya hanya ingin memberikan ruang pada hati dan pikirannya. Tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Semua serba tiba-tiba dan dipaksa untuk tahu masa lalu sang suami. Pasti akan banyak kebohongan yang menyakiti hatinya di kemudian hari. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN