Part 8--Menghindar

2254 Kata
"Hadi kamu pernah melihat anak ini sebelumnya?" tanya Pak Indrayana dengan nada dingin dan tegas. Terpancar dari raut wajahnya penuh kecurigaan pada sang putra. Ayah mana yang tidak curiga ketika melihat sebuah foto seorang anak kecil yang sangat mirip dengan putranya saat masih kecil dulu. Foto itu bukan diambil saat Hadi masih kecil, tetapi foto terbaru. Ada yang salah? Atau memang Hadi menyembunyikan sesuatu selama ini? Pak Indrayana sangat geram dibuatnya. Memang benar, banyak orang akan mirip, tetapi wajar jika curiga karena foto itu sangatlah mirip dengan Hadi. Hadi menunduk dan tidak tahu harus mengatakan apa. Ia pun sangat tekejut. Kedatangan Arini saja hingga saat ini masih menjadi kejutan yang luar biasa, ditambah ada selembar foto anak kecil yang sangat mirip dengannya. Hadi gugup dan mengeluarkan keringat dingin. Suami dari Maya itu memang belum dan tidak tahu perihal anak dalam foto itu. Baru hari ini melihatnya dari selembar kertas. Dadanya merasakan gemuruh yang luar biasa. Sorot mata anak itu, sama persis dengannya. "Baru hari ini aku melihatnya." Hadi menjawabnya sambil terus mengamati foto itu. Hadi terus menatap foto itu dengan seksama. Tidak ada bedanya dengan dirinya saat berusia kurang lebih delapam tahun. Mungkinkah, ini anak Arini? Apakah wanita itu juga yang memberikannya pada ayahnya? Semua tanya ada dalam benak Hadi tanpa tahu siapa yang akan menjawabnya. Pak Indrayana merebut foto itu dari tangan Hadi. Sang anak sangat terkejut. Pikirannya melayang pada sosok Arini yang baru saja mendatanginya kemarin. Ia curiga wanita itu yang memberikan foto anak itu pada sang ayah. "Ayah ... apa Arini menemuimu?" tanya Hadi dengan hati-hati karena tak ingin sang ayah curiga. Terpaksa Hadi bertanya seperti itu. Hanya untuk memastikan saja jika Arini yang melakukannya. Jika benar seperti itu, artinya Arini tidak main-main. Dia akan melakukan apa yang diucapkannya. Pak Indrayana mengernyitkan dahi. Heran dengan pertanyaan sang anak. Nama Arini mendadak muncul dari mulut Hadi. Sudah lama sekali nama itu tidak lagi muncul dan Pak Indrayana sudah melupakannya. "Apa urusannya dengan Arini?" tanya Pak Indrayana dengan nada dingin menanggapi pertanyaan sang anak. Pertanyaan dari Hadi justru mengundang rasa penasaran yang luar biasa. Nama yang telah lama dilupakan karena ulah sang putra yang seenaknya membatalkan pertunangan dengan anak sahabatnya itu. Terpaksa Pak Indrayana pergi dan berpindah rumah. Sebab, tidak bisa menjelaskan perihal keputusan sang putra. Malu lebih tepatnya. "Em ... tidak ada." Hadi tidak berani memberikan alasan yang lebih banyak terlebih menyangkut Arini. Dadanya pun masih bergemuruh. Ia terkejut saat Pak Indrayana keluar dari ruangannya tanpa pamit. Debuman suara pintu kembali membuatnya terkejut. Ayahnya bahkan lupa, setelah ini hendak menjenguk Maya. Sementara itu, Arini sudah selesai mengajar di salah satu universitas swasta. Tepat saat jam di tangannya menunjukkan angka sepuluh. Ia bergegas mencari taksi untuk mengantarkannya ke UNY. Tidak sempat mengambil mobilnya di bandara. Biarlah, nanti sepulang mengajar barulah akan diambilnya. Saat berangkat tadi, ia tidak sempat pamit pada Indira yang masih terlelap. Tidak enak membangunkan sahabatnya. Beban pikirannya membuat rasa kantuknya berlipat ganda. Terpenting, sebelum berangkat tadi, Arini menyempatkan menyiapkan makanan juga menuliskan pesan di atas sebuah kulkas. Ada beberapa yang harus dikerjakan Arini hari Senin ini. Mendadak ia teringat dengan ponsel milik mahasiswa jurusan Matematika --Reza. Wanita cantik itu bahkan belum sempat menyiapkan segudang alasan yang akan disampaikannya nanti. Arini sadar, Reza adalah sosok yang cerdas dan tidak mudah percaya begitu saja dengan ucapannya. [Rin, ada mahasiswa yang mencarimu di rumah.] Sebuah pesan masuk dari Indira. Pesan tersebut dikirimkan sejak pagi tadi sekitar pukul 08.00 WIB. Arini menghela napas panjang. Sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Ia tidak membalas pesan dari Indira karena berpikiran, Reza sudah pergi dari rumahnya. Arini lama mendapatkan taksi. Dengan terpaksa, berjalan menuju ke pertigaan jalan untuk mencari ojek. Semoga saja masih ada tukang ojek yang masih mangkal di jam seperti ini. Tidak mungkin ia naik becak. Jaraknya terlalu jauh. Pun dengan tukang ojek yang sama sepinya. Tak ada satu pun yang tampak di pertigaan jalan ini. Terpaksa, Arini menunggu Bus Damri. Setidaknya bis menolongnya sampai di dekat jalan menuju UNY. Hari ini wanita cantik itu seperti mendapatkan kesialan yang bertubi. Bus Damri pun sepertinya penuh sesak semua. Arini mendesah pelan. Beruntung, ia mendapatkan sebuah taksi yang kebetulan lewat. "Pak, ke bandara." Arini mengatakannya pada sopir taksi itu. "Baik, Bu." Sopir taksi menjawab kemudian melajukan mobilnya menuj ke bandara. Tidak butuh waktu yang lama, hanya kurang lebih empat puluh lima menit untuk sampai ke Bandara Adisucipto. Arini segera membayar tagihan yang tertera pada argo. Setelahnya keluar dari taksi yang telah mengantarnya. Wanita cantik itu berlari-lari kecil menuju ke arah parkiran. Ia menemukan mobilnya. Arini segera mengambil kunci mobil dan keluar dari parkiran mobil itu. Sesampainya di pos pemeriksaan, ia lupa tidak membawa nomor parkir. Petugas tidak bisa membiarkan begitu saja Arini keluar dari area parkir bandara. Arini hampir putus asa. "Pak, tolonglah. Saya terburu-buru hingga nomor parkir mobil ini hilang." Arini memohon kepada salah satu petugas parkir di bandara." Ini kelengkapan surat-surat mobil milik saya," lanjut Arini sambil membuka dompet khusus berisi surat-surat kelengkapan mobil miliknya. "Baiklah, Bu. Mohon lain kali jangan ceroboh. Nomor parkir sangat penting!" Petugas itu sedikit membentak Arini. Arini merasa lega. Sebab, bisa segera menuju ke UNY. Pukul 13.00 WIB ia harus mengajar. Hanya tinggal sati jam saja waktunya dari sekarang. Semoga saja tidak terlambat sampai di tujuan. Nanti, ia harus mengadakan Quis. Beruntung semalam ia menyiapkannya semua serta sudah mencetak soal tersebut sesuai dengan jumlah siswa yang ada. [Rin, mahasiswa kamu masih menunggu. Kamu di mana?] Satu pesan kembali masuk ke ponsel milik Arini. Saat ini Arini masih berada di perempatan dan lampu masih menyala merah. Masih ada waktu untuk membalas pesan dari Indira. Ia, segera meraih ponselnya dan mengetik pesan balasan dengan cepat. [Suruh saja pulang.] Hanya tiga kata yang ia ketikkan sebagai balasan untuk Indira. Arini tidak tahu jika sahabatnya sangat pusing menghadapi tamunya pagi ini. Reza terlalu keras dan tidak mudah percaya pada sosok yang ada di depannya itu. "Plis, Mbak. Di mana Arini?" tanya Reza penuh selidik yang membuat Indira sangat kesal. Bagaimana tidak kesal, sudah puluhan kali laki-laki muda di hadapannya bertanya dengan kalimat yang sama. Memilih diam pun bukan solusi, karena sosok di depannya sepertinya sangat kesal dengan Arini. Indira tidak tahu duduk permasalahannya apa di antara mereka berdua. "Lho? Tadi saya bilangkan, ga tahu kemana perginya Arini. Saya masih tidur saat dia pergi kerja!" Nada tinggi naik satu oktaf keluar dari mulut Indira menghadapi Reza. "Bisa saja Mbak bohong!" Reza tidak mau kalah. Ia tidak percaya pada siapa pun saat ini. Terlebih pada sosok wanita. Indira menghela napas panjang. Ia belum tahu jika sosok Reza adalah laki-laki yang mengejar sahabatnya. Arini tidak pernah menceritakan perihal ini sebelumnya. Indira hanya berpikir jika Reza adalah mahasiswa yang ingin bimbingan skripsi. "Terserah, kamu saja. Saya lelah dan ingin kembali tidur. Jika kamu bosan, silakan pergi dari rumah ini dan tolong tutup pintu juga pagar di depan." Indira masuk ke dalam. Malas menghadapi sosok laki-laki yang ada di depannya. Merepotkan dan pemaksa, dua kata yang menggambarkan sosok Reza hari ini. Indira tidak habis pikir dengan kelakuan mahasiswa sahabatnya itu. Tidak punya rasa malu dan sikap sopan santun. Hilang sudah penilaian wajah tampan buat Reza. Indira membaringkan tubuhnya di kasur milik sahabatnya. Badannya pegal-pegal karena semalam tidur di kursi. Tidurnya yang terlalu pulas membuatnya seperti orang mati. Ia pun sulit bangun dan dibangunkan. Di dalam kamar milik Arini, ia kembali teringat dengan beban masalahnya. Tidak akan mudah untuk memutuskan pertunangan dengan Rio. Reza mulai bosan menunggu kedatangan wanita yang dicintainya. Tanpa pikir panjang, ia segera keluar dari rumah Arini. Sesuai pesan wanita yang menyambutnya dengan galak, ia menutup pintu rumah dan pagar. Laki-laki tampan itu harus ke kampus dan menemui wali studinya guna membahas mata kuliah yang akan di ambilnya semester depan. Tidak ada mata kuliah yang harus diulang. Justru hanya tinggal PPL di sekolah dan skripsi. Dua mata kuliah itu bisa diambil secara bersamaan. Bu Ira--wali studi Reza adalah sosok dosen senior yang sangat tegas. Tidak tepat waktu berarti harus menunggu dibuatkan jadwal ulang oleh beliau. Kesibukan beliau di kantor utama universitas sebagai pembantu rektor yang membuat waktunya terbatas. Reza menghela napas panjang setelah sampai di kantor wali studinya. Beliau baru saja meninggalkan ruangannya. Ada rasa kesal, sesal, dan ingin marah. Arini--wanita itu selalu saja bisa mengalihkan pikirannya. Ia harus mencari sosok itu dan mengambil ponselnya. Setelahnya, mencari cara agar bisa dekat dengannya. "Reza?" Sandi keheranan mendapati kakak tingkatnya dengan penampilan yang tidak biasanya. Reza sangat kacau sejak hari Jumat yang lalu. Pertengkarannya dengan Arini membuatnya sakit kepala. Sandi memang dekat dengan Reza. Ia tahu, jika temannya itu menaruh hati pada sosok dosen jurusan PKn. Helaan napas terdengar nyaring di telingga Sandi. Reza benar-benar frustrasi saat ini. "Za, lebih baik mundur. Bu Arini mungkin sudah punya calon suami. Aku dengar beliau sedang dekat dengan salah satu rekan dosennya." Sandi mengatakannya dengan sangat hati-hati. Ia takut Reza akan mengamuk setelahnya. "Siapa?" tanya Reza dengan nada lemah. "Pak Wibowo," jawab Sandi takut-takut. Reza tidak menlanjutkan pertanyaannya. Ia memang sudah mendengar kabar burung ini. Jika Sandi sudah ikut mengatakannya pasti semua itu benar adanya. Memang kedekatan mereka sangat menjadi perhatian. Pak Wibowo seorang duda beranak dua. Istrinya meninggal karena sakit, jadi memutuskan untuk mendekati Arini. Hal yang tidak diketahui oleh Reza, jika kedekatan Pak Wibowo dan Arini adalah salah satu usaha wanita itu untuk menghindarinya. Arini risih jika harus menghadapi sosok yang masih dianggapnya anak kecil. Reza dengan semua sikapnya yang sangat menyebalkan dan pemaksa sangat mengganggu Arini. Ia adalah wanita dewasa yang mandiri. Reza bangkit dari duduknya dan meninggalkan Sandi. Mereka tidak satu tempat indekos. Sandi memilih indekos di tempat yang lebih murah karena keadaan ekonominya yang sangat berbeda dengan Reza. Akan tetapi, Reza tidak pernah membeda-bedakan dalam berteman. Ia bukan sosok pemilih dalam berteman. Banyak bantuan dari Reza untuk Sandi. Sementara itu, Arini telah selesai melakukan tugasnya memberikan kuis pada mahasiswanya sesuai dengan agenda yang telah dirancang. Seluruh mahasiswa yang berada di ruangan ini keluar dengan suka cita. Soal yang Arini berikan tidak terlalu sulit. Akan tetapi, mereka masih harus berjuang untuk tes akhir semester ganjil. Biasanya soal tesnya akan dibuat sesulit mungkin oleh wanita tinggi semampai itu. Arini ingin kembali ke ruangan miliknya. Meletakkan ponsel milik Reza, membuat seolah memang tertinggal di ruangan itu beberapa hari yang lalu. Sebuah ide briliant yang mendadak datang. Tidak salah bukan? Arini mencoba membenarkan isi kepalanya. Berjalan melewati beberapa ruang kelas dan menuju ke ruangannya, membuat sepasang kaki jenjang Arini pegal bukan main. Penyebabnya bukan hanya berjalan kaki kali ini saja. Tadi, sebelum datang ke UNY, ia telah lebih dahulu berjalan kaki. Hari ini Arini menggunakan kemeja putih pendek dan dipadu padankan menggunakan blazer hitam. Sangat pas dengan celana bahan hitam yang ia pakai. Salahnya, wanita tinggi semampai itu menggunakan sepatu dengan hak lebih dari lima centimeter. Sepatu itu yang membuat betisnya pegal luar biasa. Sesampainya di ruangannya, ternyata sudah banyak mahasiswa tingkat akhir yang menunggunya. Jadwal bimbingan skripsi. Lelah dan kantuk menjadi musuh terbesar Arini saat ini. Akan tetapi, demi profesionalitas, ia tetap menjalankan kewajibannya. "Bu, saya mau bimbingan bab tiga," kata Toni salah satu mahasiswa yang dibimbingnya. Arini hanya mengangguk ramah. Ia tahu bagaimana perjuangan menunggu dosen ketika hendak bimbingan skripsi. Oleh karena itu, wanita tinggi semampai itu memberikan izin kepada mahasiswa yang hendak bimbingan pada hari Sabtu dan Minggu di rumahnya. Tentu saja, jadwalnya setelah jam makan siang hingga pukul 19.00 WIB. "Sebentar, ya, saya masuk dahulu." Arini memasuki ruangannya dan meletakkan beberapa barangnya. Arini tidak lupa mengeluarkan ponsel milik Reza dan meletakkannya di tempat semula. Di depan sebuah vas bunga yang sengaja dibawa Arini dari rumahnya. Wanita cantik itu mengambil gelas air minumnya. Mengambil air minum yang ada di dispenser. Ia sengaja menyediakan itu, takut jika harus lembur dan membuat kopi. "Silakan,Toni!" Arini memanggil Toni agar masuk ke dalam ruangannya. Mahasiswa itu pun segera memasuki ruangan milik sang dosen yang telah ditunggunya sejak pukul sebelas siang. Arini sosok dosen yang sulit dicari. Sebab, banyak sekali jadwal mengajarnya. Baik di UNY maupun di luar kampus ini. Tak heran jika banyak mahasiswa dan mahasiswinya yang memutuskan untuk bimbingan saat akhir pekan saja. Arini membaca satu per satu deretan huruf yang dirangkai oleh Toni. Ia takjub dengan sosok mahasiswa di depannya. Hanya ada sedikit yang perlu direvisi. Toni memang sosok yang pantang menyerah. Arini memerhatikan anak ini sejak semester satu awal masuk kuliah dulu. "Semua sudah bagus. Hanya mungkin masalah undang-umdang yang perlu kamu perbaiki. Bisa cari referensi terbaru." Arini memberikan tanda dengan spidol berwarna merah pada bagian yang harus direvisi oleh mahasiswanya. Toni segera keluar dari ruangannya bergantian dengan temannya yang lain. Ternyata hari ini ada enam mahasiswa yang hendak bimbingan. Sebisa dan secepat mungkin Arini membimbing mereka. Ada beberapa yang memang harus melakukan banyak revisi. Wanita tinggi semampai itu hanya mengizinkan mahasiswanya bimbingan satu minggu dua kali saja. Alasannya agar mereka fokus mengerjakan revisi dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Tepat pukul 15.30 WIB, semua mahasiswa dan mahasiswinya selesai bimbingan. Perut Arini meronta meminta diisi. Beruntung ada beberapa mie instan yang dikemas dalam gelas. Wanita tinggi semampai itu memang menyediakannya di ruangannya sebagai pengganjal perut hingga jam mengajarnya selesai. Arini menyeduh satu mie instan itu dengan air panas yang ada di dispenser sebelah kiri tempat duduknya. Sesekali ia meniupnya agar tidak terlalu panas. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Sebuah nomor asing yang tidak ia kenal menghubunginya. Arini mengabaikannya karena merasa tidak mengenali nomor itu. Sayangnya, ia justru terganggu dengan dering nada panggil ponsel miliknya. Nomor yang tidak dikenal dan sangat asing baginya terus menghubunginya. Arini merasa risih dan terpaksa mengangkatnya. "Hallo," sapa Arini sambil meminum kuah mie instan yang baru saya dia buka penutupnya setelah lima menit diseduh. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN