Part 7--Selembar Foto

2133 Kata
Arini mematung, tidak bisa bergerak sama sekali. Kedua kakinya seperti menginjak lem. Tubuhnya sepertinya sangat sulit bergerak. Ia terkejut dengan kedatangan tamunya. Seorang sahabat yang hanya akan datang jika anaknya ada dalam masalah. "Ck ... suruh aku masuk, gitu lho," kata Indira dengan ketus sambil melenggang masuk ke dalam rumah Arini. Tidak ada kabar dan lama sekali tidak bertemu, mendadak Indira datang. Entahlah, kabar apa yang dibawanya. Sejauh ini Ganesha, putranya dalam keadaan baik-baik saja. Jika ada masalah, biasanya hanya cukup mengirimkan pesan. Tidak perlu datang dan bersikap terlalu formal. Arini hanya menghela napas panjang. Terkejut dengan kedatangan Indira yang sangat mendadak dan tidak mengabarinya terlebih dahulu. Mereka hanya berkomunikasi melalui pesan saja. Telepon pun jarang dilakukan. Kesibukan keduanya yang membuatnya jauh. "Habisnya dadakan gini datangnya. Ga kasih kabar dulu," kata Arini sambil mencebikan bibirnya. Bukan tidak suka dengan kedatangan Indira, hanya saja ada rasa takut. Takut jika anaknya sakit atau membuat ulah. Bukan hanya itu, Ganesha sering sekali jatuh saat bermain. Hingga menyebabkan banyak luka di kaki dan tangannya. "Ganesha tidak apa-apa?" Arini menanyakan langsung perihal putranya. Perasaannya mendadak tidak enak. Bagi Arini, Ganesha adalah semangat hidupnya. Anak semata wayangnya itu sungguh luar biasa. Wanita tinggi semampai itu, selalu memantau perkembangan sang putra. Baik melalui Indira ataupun ibu pemilik panti asuhan. "Dia baik-baik saja. Justru aku yang lagi ga baik-baik saja." Indira meluruskan kakinya di sofa ruang tamu milik Arini. Arini tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya. Indira sosok yang periang, mudah melupakan kesedihan, dan selalu mempunyai solusi jika terjadi masalah. Rasanya aneh jika mendadak ia mengatakan sedang tidak baik-baik saja. "Sebentar, aku buatkan minum dulu." Gegas Arini menuju ke dapur dan membuatkan secangkir kopi kesukaan sahabatnya. Kopi hitam tanpa gula. Arini menuju ke ruang tamu. Indira sedang sibuk dengan ponselnya. Jemarinya mengetikkan sesuatu. Sedang membalas pesan. Mungkin urusan pekerjaan. Sahabat Arini adalah seorang supervisor di salah satu perusahaan garment di Kota Semarang. "Diminum dulu kopinya, Dir. Lalu ceritakanlah tentang masalahmu," kata Arini sambil duduk di depan Indira. Arini tidak habis pikir dengan kehadiran Indira yang katanya membawa masalah. Sangat jarang, sosok wanita manis itu memiliki masalah hingga membuatnya pergi meninggalkan Kota Semarang. Biasanya, semua masalah akan diselesaikannya dengan baik. Indira dengan cepat meraih cangkir kopi. Meneguknya sedikit demi sedikit untuk merasakan sensasi pahit dalam kopi. Indira tampak menghela napas sebelum bercerita. Kebiasaannya sejak dulu. Salah satu cara menenangkan hati meskipun sesaat. "Aku mau batalin pernikahanku sama Rio." Singkat padat jelas ucapan Indira. Arini masih mencerna perkataan sahabatnya ini. Indira dan Rio sudah bertunangan sejak lama. Kurang lebih tiga tahun. Rio adalah putra pemilik dari salah satu pengusaha roti di Kota Semarang. Tidak mudah mendapatkan cinta sosok Rio. Arini bahkan masih ingat, bagaimana Indira mengejar Rio hingga laki-laki itu bertekuk lutut pada sahabatnya itu. Butuh perjuangan yang tidak sedikit. Tak jarang air mata harus menetes ketika laki-laki itu menolaknya dengan kasar. "Ta-tapi ... kenapa? Kalian sudah satu langkah lagi menuju ke jenjang pernikahan." Arini memang sangat penasaran dengan keputusan Indira. Indira bukanlah gadis yang akan memutuskan segala sesuatunya dengan mudah. Selalu berpikir dahulu sebelum membuat keputusan. Mulai dari hal yang paling sederhana hingga hal paling rumit. Semuanya dipikirkan secara matang. "Aku ...." Indira tidak melanjutkan kalimatnya. Justru air matanya menetes dan mengalir di pipinya. Arini pun mendekati sahabat yang sangat berjasa dalam hidupnya. Sedikit memberikan kekuatan dan semangat agar Indira tidak terlalu terpuruk. Arini paham, kali ini masalah yang dihadapi oleh sahabatnya tidak main-main. Masalah serius. "Jangan cerita jika belum siap. Tenangkan hati dan pikiran dahulu," kata Arini sambil mengelus pundak Indira. Indira menutup wajahnya dengan kedua tanggannya. Ia menangis sesenggukan. Tidak mudah menjelaskan masalahnya. Pun dengan keluarganya nanti. Masalah pertunangannya dengan Rio sangatlah berat. "Aku ... yang udah ga kuat sama Rio. Bukan karena pihak ketiga, tapi emang Rio itu sakit." Indira mengatakannya sambil terisak. Tidak kuat menanggung semua masalahnya seorang diri. Arini tidak langsung menanggapi. Ia paham, sahabatnya butuh ketenangan saat menjelaskan masalahnya. Bukan mudah menjelaskan masalah pribadi pada orang lain. Butuh mental baja, terlebih masalah yang sangat rahasia. "Rio ... dia seorang penyuka sesama jenis." Indira memberanikan diri mengatakannya pada Arini. Arini membekap mulutnya. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja. Ia pernah bertemu dengan Rio, tidak ada yang aneh dengan sosok yang sangat dicintai sahabatnya itu. Biasa saja, justru sangat romantis ketika bersama dengan Indira. "Kamu sabar, jangan sampai itu hanya gosip tak sedap. Dia anak pengusaha sukses, kapan saja gosip bisa menghampirinya." Arini mencoba memberikan pendapat dengan sudut pandang lain. "Bukan gosip. Aku melihatnya sendiri dia sedang bermesraan dengan sesama jenis. Sebelumnya, aku pernah mengikutinya diam-diam. Dia menuju ke sebuah rumah. Saat itu yang membukakan pintu rumah adalah sosok laki-laki. Itu yang membuat aku tidak curiga jika dia selingkuh." Indira menjelaskan apa yang sedang dialaminya saat ini." Lama-lama dia sering abai dan parahnya menjadi sosok yang kasar dan tempramental. Puncaknya, saat aku datang ke apartement miliknya, untuk membicarakan masalah. Dan ... aku melihat semuanya," lanjut Indira. Arini sangat mual mendengar cerita dari sahabatnya. Ia membayangkan hubungan sesama jenis yang terjadi. Tadinya, wanita tinggi semampai itu hanya berpikir jika hubungan sesama jenis itu hanya ada di film. Ternyata justru sahabatnya mengalami sendiri. "Aku tidak bisa memaafkan dia. Rio bilang, jika aku hanya untuk menutupi kelainan seksualnya itu. Sebab, keluarganya sudah menaruh curiga padanya. Ia diancam akan dicoret dari daftar warisan jika terbukti menyukai sesama jenis." Indira mengatakannya dengan menatap lurus dinding ruang tamu milik Arini. Indira butuh ketenangan. Jika masalahnya berlarut-larut bukan tidak mungkin akan menjadi depresi. Baru kali ini, Indira berkeluh kesah pada Arini. Sebelumnya, Arini-lah yang sering berkeluh kesah. Sosok yang dipandang Arini sangat kuat, kini menjadi sangat rapuh dan tidak lagi punya gairah hidup. "Ra, kamu tidak salah jika ingin pisah dan membatalkan pertunangan dari Rio. Hanya saja, ada baiknya dibicarakan pada kedua keluarga. Biar bagaimanapun, kalian pernah dekat dan bertunangan." Arini membetikan solusi yang mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk Indira. Selama ini, yang Arini tahu hubungan Rio dengan sahabatnya baik-baik saja. Rio bahkan sering memberikan kejutan untuk Indira. Tas mahal dan bermerk keluaran terbaru, jam tangan mahal, dan berbagai perhiasan yang nilainya juga tidak murah. Ternyata, semua itu hanya untuk menutupi kelainan yang menimpa Rio. Indira yang tampak kelelahan akhirnya tertidur dengan posisi duduk menyamping. Arini segera mengangkat kaki sahabatnya itu agar nyaman. Indira tertidur dengan pulas. Arini pun segera mengambilkan selimut. Masalahnya dengan Hadi belum beres. Baru saja hendak meminta saran dari sahabatnya. Akan tetapi, Indira justru sedang mengalami masalah yang berat dan tidak mudah. Di satu sisi ia mencintai Rio, di sisi lain, Rio adalah penyuka sesama jenis. Arini tidak bisa menyalahkan Indira. Ia berjanji akan mendukung sahabatnya. Apa pun keputusan Indira, ia adalah orang yang akan mendukungnya. Arini mengecek ponselnya yang sedang diisi daya. Sudah penuh ternyata. Ponsel Reza masih dibiarkan dalam keadaan mati. Biarlah, agar mahasiswa yang sangat nekat itu tidak curiga. Wanita tinggi semampai ini malas jika dicurigai dan harus berurusan dengan Reza. Malam kian larut. Indira tidak ada tanda-tanda terbangun dari tidurnya. Arini tidak ingin mengganggu tidur sahabatnya itu. Biarlah, beristirahat sesaat karena masalah yang sedang menimpanya. Untuk masalahnya dengan Hadi, Arini akan berusaha untuk tenang dan mencari solusi. Tidak harus saat ini masalahnya dengan Hadi selesai. Perlahan saja, agar laki-laki licik itu pun merasakan akibatnya. Tidak hanya itu, wanita tinggi semampai ini pun berniat mencari Pak Indrayana beserta istrinya. Ia akan menjelaskan perihal masalahnya dengan Hadi yang membuatnya mengandung Ganesha. Arini yakin sosok Pak Indrayana adalah sosok yang bijaksana. Bisa melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Arini hanya menginginkan keadilan bagi dirinya dan sang putra. Hadi mau mengakui jika Ganesha adalah anaknya. Arini memutuskan untuk tidur. Besok pagi ada jadwal mengajar di Universitas lain. Ia tidak ingin terlambat, karena belum sempat mengambil mobil miliknya di Bandara. Arini merutuki kebodohannya bisa melupakan mobil miliknya dan memilih naik taksi. ♡♡♡♡♡ Pagi ini Maya sudah diizinkan pulang oleh pihak klinik. Ibu Keenan itu sengaja tidak memberitahu hal ini pada Hadi. Hatinya belum siap untuk berbicara pada sang suami. Rasa sakit di hatinya masih mendominasi. Hanya akan ada emosi jika memaksakan berbicara dengan laki-laki itu. Maya memasukkan semua baju miliknya. Kebetulan, Hadi hari ini sedikit sibuk. Senin, hari tersibuk bagi suaminya. Bisa lembur hingga beberapa jam lamanya. Paling cepat sampai di rumah pukul sembilan malam. Maya memang tidak membawa ponsel. Beruntung, ayah dan ibunya datang. Mereka membantu sang puti membereskan semua barang-barangnya. Kondisi Maya sudah lebih baik dari dua hari yang lalu. Dokter berpesan tidak boleh terlalu capai dan banyak pikiran. Janin yang ada di dalam kandungannya agar terganggu. "May ... suamimu itu apa tidak tahu kalo kamu pulang hari ini?" tanya ibu Maya yang curiga jika anaknya sedang bertengkar dengan suaminya. "Bu ... 'kan kalo Senin gini, Mas Hadi pulangnya malam. Banyak pekerjaan. Kalo besok pulangnya barulah sempat izin dari kantor. Lagi banyak pekerjaan." Maya berdusta agar kedua orang tuanya tidak curiga. Keenan sementara dititipkan pada sepupu Maya. Nanti dijemput setelah Maya keluar dari rumah sakit. Terlalu beresiko jika ikut ke rumah sakit menjemput mamanya. Sementara itu, di kantor, Hadi sangat gusar memikirkan istrinya. Ia tidak tahu, kapan Maya diizinkan untuk pulang. Rumah sangat sepi tanpa istri dan anaknya. Hadi tidak konsentrasi saat mengerjakan pekerjaannya. Beberapa berkas yang harus dipelajari terasa sangat sulit. Pelik masalah keluarganya membuatnya harus membagi pikiran. Hal yang tidak mudah. Suami Maya bahkan tidak menyadari jika sang ayah masuk ke ruangannya. "Kamu ada masalah?" tanya beliau dengan tegas. Hadi sangat terkejut mendapati ayahnya berada di dalam ruangannya. Suami Maya asyik dengan pikirannya yang kalut. Entah ia memiliki keberanian atau tidak mengutarakan pada sang ayah. Kemarin saat Maya masuk klinik, ia mengirimkan pesan pada ibunya. Sayang tidak dibalas sama sekali. "Maya sakit, Yah." Hadi tidak sepenuhnya berbohong pada ayahnya. Hadi tak ingin menambah beban kedua orang tuanya. Ketidak cocokan hubungan kedua orang tuanya dengan sang mertua sudah menjadi beban. Tak ingin lagi menambah beban dalam hidup kedua orang tuanya. Mereka sudah sangat berjasa dalam hidup Hadi. "O ... kenapa tidak mengabari?" tanya Pak Indrayana pada sang putra dengan kedua alis bertaut. Hadi hanya menghela napas panjang. Dugaannya benar, ibunya tidak menyampaikan pesan itu. Entah dibaca atau tidak. Ibunya Hadi memang dari awal tidak pernah menyukai Maya--sang istri. Mengingat istrinya, tiba-tiba Hadi merindukan sosok wanita lemah lembut itu. "Sudah kirim pesan di nomor ponsel Ibu. Mungkin beliau lupa mengatakan pada ayah," kata Hadi berusaha tidak memancing emosi sang ayah. "Oh ... mungkin saja. Kemarin kita semua ada acara di Jakarta." Pak Indrayana memberikan informasi kepada sang putra."Harusnya jangan kirim pesan, telepon 'kan bisa," lanjut beliau. Hadi melihat ada rasa tidak suka dari wajah sang ayah. Mungkin tersinggung ketika dirinya hanya mengirimkan pesan. Hadi sangat jarang menghubungi ibunya. Terlebih sejak ia menikah dengan Maya. Istrinya dianggap penyebab terbentangnya jarak di antara ibu dan anak. "Sudah terlalu larut malam. Aku takut mengganggu istirahat Ayah dan Ibu." Hadi mencoba mencoba memberikan alasan yang tak sepenuhnya berbohong. Pak Indrayana hanya menghela napas panjang. Beliau sangat paham, hubungan sang istri dengan menantunya tidak baik. Kemungkinan, ibunya Hadi hanya membaca dan tidak menyampaikan padanya. Ibunya Hadi tidak akan peduli pada Maya. "Ya, sudah, nanti setelah pekerjaan selesai. Kita ke tempat istrimu dirawat." Pak Indrayana memutuskan hal ini sepihak. Hadi mengembuskan napas lega. Ayahnya tidak mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Kadang membuatnya kalang kabut saat harus menjelaskannya. Tidak mudah membohongi sosok laki-laki hebat di depannya itu. Hadi lupa menanyakan keperluan ayahnya datang ke kantornya. Ia pun tidak curiga dengan nada datar yang diucapkan oleh ayahnya sejak awal pembicaraan tadi. Tidak biasanya sang ayah berkata dengan nada datar. Tiba-tiba saja Pak Indrayana menunjukkan beberapa lembar foto anak kecil. Jantung Hadi mendadak berhenti saat melihat foto itu. "Ayah mendapatkannya dari mana?" Hadi bertanya dengan nada yang sangat gugup. Hadi tidak menyangka, ada foto anak kecil yang sangat mirip dengannya saat kecil. Berulangkali dilihatnya foto itu, wajah anak itu sangat mirip dengannya. Anak yang hampir seusia dengan Keenan. Perlahan, Hadi menelan salivanya untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Pak Indrayana menatap sang putra dengan tajam. Justru, beliau yang hendak bertanya tentang siapa anak yang ada dalam foto itu. Mengapa bisa ada anak dalam foto, sementara wajahnya sangat mirip dengan Hadi saat kecil dulu. Pak Indrayana mendapatkan informasi tentang anak itu Sayangnya, pihak panti asuhan tidak menyebutkan siapa nama ibu kandung dari anak laki-laki itu. Mereka seperti menutup rapat perihal anak laki-laki yang ada pada selembar foto itu. Anak yang ditinggalkan begitu saja di depan panti asuhan. Terpaksa, orang suruhan Pak Indrayana menyerah. Tidak ada jalan untuk mencari tahu anak itu. Pun dengan tes DNA yang akan dilakukan oleh Pak Indrayana, guna memastikan anak laki-laki itu adalah salah satu cucunya. Sayangnya, pihak panti asuhan menolaknya. Banyak alasan yang diungkapkan oleh pemilik panti asuhan. Salah satunya, mereka harus menunggu pihak donatur tetap untuk menyetujuianya. Bosan dengan alasan yang mereka ajukan, Pak Indrayana meminta orang kepercayaannya untuk mengintai. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan salah. Wanita yang dikira ibu dari anak laki-laki itu ternyata seorang donatur tetap yang membiayai segala kebutuhan panti asuhan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN