Dunia Lain

1519 Kata
Sore menyingsing, kilauan senja menelisik masuk kedalam kamar itu. Sorotan jingga membuat seorang gadis yang terbaring cukup lama di atas ranjang itu terusik. Mira mengerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya yang masuk menembus ke dalam matanya. “Akhirnya kau bangun juga, Putri tidur. Kau memang ahli membuatku menunggu.” Suara itu membuat Mira berjengkit kaget. Ia pun bergegas bangkit. Namun, sekujur tubuhnya terasa nyeri. “Tetaplah berbaring, tulang-tulangmu yang patah masih belum pulih sepenuhnya,” ujar pria itu, membuat Mira menoleh ke arahnya. Di sudut kamar itu terlihat seorang pria tengah duduk dengan tenangnya di sofa yang tersedia. Saat netra mereka saling beradu, Mira merasa familier dengan pria itu. Rasanya, ia pernah melihatnya tapi entah di mana dan kapan. “Apa kau sedang berusaha mengingat siapa aku?” tanya pria itu dengan seringaiannya, ia berjalan menghampiri Mira dan duduk di sisi ranjang membelakangi gadis itu. “Malam itu ... kau pasti tidak akan melupakannya, bukan?” katanya lagi, membuat ingatan Mira seketika melejit sempurna. Dengan kata 'malam' yang disebut pria itu, memori Mira langsung jatuh pada ingatannya tentang kejadian malam itu. Malam di mana tiba-tiba keluarganya diserang oleh manusia aneh. Ya, manusia aneh yang sangat mengerikan. Kuku mereka runcing dan gigi mereka tajam seperti taring serigala. Saat itulah Mira kemudian teringat dengan kedua orangtuanya. “Dimana ibu dan ayahku?!” tanya Mira, ia memaksakan tubuhnya untuk bangkit tapi tulangnya masih terlalu rapuh, ia hanya mampu duduk dan menatap punggung pria berambut perak itu. “Entahlah, mungkin sudah mati,” jawabnya dengan nada santai dan seolah tidak peduli. Mira menatap geram punggung kokoh itu, jika saja tubuhnya lebih sehat dan sedikit cukup kuat. Dia pasti sudah menghajar habis-habisan pria berambut perak yang terlihat menyebalkan itu. “Aku akan mencari mereka,” ucap Mira, ia kembali berusaha untuk turun dari atas ranjang. “Biarkan aku pergi,” tukasnya. Dengan susah payah, akhirnya Mira pun turun dari ranjang king size itu “Kembali ke tempatmu semula dan berbaringlah dengan tenang. Jangan menguji kesabaranku,” tegas si pria berambut perak—Kei. “Cih, atas dasar apa kau memerintahku untuk tetap diam di sini, sedangkan aku tidak tahu apa yang terjadi pada orang tuaku,” sergah Mira, menatap sinis ke arah punggung pria yang masih membelakanginya itu. Kei menghela napasnya kesal, pria itu kemudian berbalik, melihat Mira yang susah payah berjalan menuju pintu kamar. Pria itu lantas berdiri dari duduknya, lalu melesat secepat kilat menghampiri Mira. Dalam sekejap mata Kei pun berdiri di hadapan Mira, menghalangi jalan gadis itu. “Jangan membantah perintahku. Kembalilah ke tempat tidur,” tegas Kei. Mira mencebik, sekali lagi ia mengabaikan perintah pria yang memiliki aura seorang penguasa itu. “Minggir,” ucap Mira yang masih bersikeras untuk pergi dari kamar itu. Tentu Mira tidak bisa diam saja setelah mengingat ibu dan ayahnya mungkin tidak sedang baik-baik saja. Setidaknya ia harus tahu bagaimana kondisi kedua orangtuanya saat ini. Di sisi lain, napas Kei tampak naik turun, pria itu sepertinya terbakar api emosi. Dia marah melihat tingkah Mira yang terus menguji kesabarannya. “Kau tahu? Selama ini tidak ada yang berani melawan perintahku. Tapi kau—” Kei menggantungkan kalimatnya, ia menatap geram ke arah Mira yang menatapnya tanpa rasa takut sedikit pun. “Kau tidak tahu siapa aku, hah?!" sambung Kei dengan suara kerasnya tepat di depan wajah Mira. Mira mendengus, ia semakin jengah dengan sikap tidak menyenangkan dari Kei. Tatapan Mira pun semakin sinis. “Maaf, Mr. Arogan yang terhormat. Sungguh, saya tidak peduli siapa anda, yang saya pedulikan sekarang adalah keadaan orang tua saya. Jadi, saya mohon pergi dari hadapan saya dan jangan halangi jalan saya,” sembur Mira. Hening, beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hingga tiba-tiba suara tawa yang hambar terdengar keluar dari bibir Kei, membuat Mira menatapnya dengan kening berkerut heran. Usai tertawa hambar, sekali lagi Kei membuat Mira terkejut, pria itu tiba-tiba membopong paksa tubuhnya, ia membawa Mira kembali ke tempat tidur. “Apa yang kau lakukan?!” pekik Mira. “Dengar, aku ini suamimu dan kau adalah istriku, kau itu pasangan yang telah ditakdirkan untukku. Jadi, kau tidak boleh pergi kemanapun tanpa ijin dariku. Seharusnya kau bangga karena memiliki pasangan hidup seorang raja yang berdarah imperial,” kata Kei. Mira tercengang. Pria itu benar-benar sudah tidak waras, pikirnya. Mira tak kuasa lagi menahan tawanya. Selanjutnya, tepat di hadapan Kei, Mira menertawakan perkataan pria itu. “Istri? Suami? Raja? Kau pikir aku akan percaya dengan omong kosongmu itu, huh? Berhentilah berkata yang tidak masuk akal dan bawa aku pulang kembali ke rumahku, atau setidaknya biarkan aku pergi dari tempat ini,” cakap Mira. Kei tersenyum miring, “Kau ingin kembali? Apa kau tidak tahu? Di sinilah tempatmu kembali. Karena duniamu yang dulu tidak lagi mengenal dirimu,” terangnya. “Jangan berkata omong kosong lagi. Kau pikir aku akan percaya?!” “Terserah kau saja, berulang kali aku menjelaskannya pun kau tidak akan mengerti, jadi lebih baik diam dan ikuti saja apa yang aku katakan dan aku perintahkan padamu,” jelas Kei. “Cih, kau bukan majikanku untuk apa aku harus menuruti perintahmu, dan berhentilah memaksaku untuk tetap tinggal di sini,” balas Mira dengan nada ketusnya. Setelah itu, Mira kembali berusaha bangkit. Lagi dan lagi, ia membuat Kei geram dengan sikapnya yang sulit diatur. “Kalau kau tidak menuruti perkataanku, jangan salahkan aku jika kedua orang tuamu itu harus mati karena sikapmu yang keras kepala seperti ini,” ancam Kei. Seketika Mira mentapnya, netra gadis itu memandang Kei tak percaya, ia melihat mata pria itu tiba-tiba berubah warna menjadi kuning keemasan. “Kau ... di ... di mana mereka?” gugup Mira. “Kumohon jangan sakiti mereka. Kau boleh membunuhku tapi jangan bunuh mereka, biarkan mereka pergi. Aku mohon,” Mira menatap Kei memelas. Ia dengan sepenuh hati memohon pada pria itu. Kei menyeringai melihat reaksi Mira yang seketika itu berubah. Jika dari awal Kei tahu kalau kelemahan Mira adalah kedua orangtuanya, Kei tidak akan susah payah merasa geram dengan sikap keras kepala gadis itu. “Bagus. Jika kau tidak ingin mereka terluka sedikit pun, maka patuhlah pada apa yang akan aku katakan padamu,” ujar Kei. Mira mengangguk cepat menanggapinya, membuat Kei tersenyum puas dengan sikap penurut gadis itu. “Sekarang, kau hanya harus diam di kamar ini dan jangan coba-coba untuk kabur, kalau kau butuh sesuatu panggil saja penjaga yang ada di luar kamar. Apa kau sudah paham dengan penjelasanku?” Mira mengangguk paham menanggapi perkataan pria itu. “Iya,” lirihnya. Tok. Tok. Tok “Lord, ada pesan penting yang ingin kepala prajurit sampaikan,” ujar seseorang dari luar pintu kamar itu. Kei menatap Mira sekilas, kemudian ia berjalan keluar kamar, dan kembali menutup pintu kamar itu rapat. “Ada apa?” tanya Kei setelah menutup pintu kamar itu. “Hormat saya, Lord. Saya ingin melaporkan hal penting,” kata kepala prajurit, ia menekuk lututnya di hadapan Kei. “Katakan,” ucap Kei dengan nada berwibawanya. “Lapor, Lord. Beberapa prajurit yang menjaga di perbatasan kembali melihat pola aneh di bagian perbatasan dimensi barat,” kata kepala prajurit itu. “Pola aneh? Bagaimana bentuk pola itu?” tanya Kei. “Sama seperti yang terlihat di bagian utara beberapa minggu yang lalu, Lord,” urai kepala prajurit. Kei menghela napasnya, ia diam beberapa saat. Lalu kemudian menatap kepala prajurit itu sembari berkata, “Berdirilah dan terus awasi beberapa titik yang banyak memunculkan pola aneh itu, jika ada sesuatu yang mencurigakan segera laporkan langsung padaku,” titah Kei. Kepala prajurit itu kemudian bangkit, “Baik, Lord,” ucapnya. “Pergilah,” suruh Kei. Kepala prajurit itu lalu berjalan mundur dan pergi dari hadapan Kei. Setelah kepergian kepala prajurit, Kei menatap Yvonne dan Red yang berdiri di sampingnya, kedua pria itu adalah tangan kanan Kei, mereka berdua adalah orang kepercayaan Kei. Dua orang yang akan selalu membantu Kei dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin kerajaan Kitsune ini. “Bagaimana menurut kalian?” tanya Kei. “Seperti yang saya bilang sebelumnya, Lord. Saya yakin ini ada hubungannya dengan dunia manusia yang mulai kembali penasaran tentang dunia kita,” kata Red. “Kau yakin? Tapi malam itu saat kita pergi ke dunia manusia tidak ada tanda-tanda apapun yang kita temukan. Apa kau yakin jika pola aneh itu karena ulah manusia? Kita tidak bisa menyalahkan makhluk lemah seperti mereka tanpa alasan dann bukti yang kuat,” ujar Kei. “Walaupun mereka lemah tapi mereka penuh dengan misteri, Lord. Apalagi perkembangan teknologi mereka yang terus meningkat bisa saja menjadi ancaman untuk dunia kita,” kata Yvonne. Kei menghela napasnya kasar, “Sudah ribuan tahun kita memisahkan diri dari mereka, bahkan aku sudah membuat pembatas dimensi dengan dunia mereka. Lalu, untuk apa mereka ingin mengganggu kita?” Yvonne dan Red hanya bisa diam. Mereka sendiri juga bingung dengan hal tersebut. Apakah itu benar-benar ulah manusia? Atau hal lainnya? Hal yang lebih besar, lebih tangguh dan lebih berbahaya dari manusia. “Jika itu bukan manusia. Apa anda memikirkan tentang kemungkinan lainnya, Lord?” tanya Red. “Entahlah, aku belum memiliki pemikiran itu, tapi sepertinya aku merasa ada kemungkinan lain yang membuat fenomena itu akhir-akhir ini terjadi,” kata Kei. “Hormat saya, Lord. Dua orang dari dunia manusia itu sudah sadarkan diri,” lapor salah seorang penjaga tahanan yang kini berlutut di hadapan Kei. Kei menatap pria dengan baju khas penjaga tahanan itu sembari mengangguk paham. Lalu ia menyuruh penjaga tahanan itu untuk pergi. “Apa anda akan menemui pengkhianat itu, Lord?” tanya Yvonne. “Tentu saja, aku harus menyambutnya saat dia kembali ke dunia asalnya. Kitaro, bagaimanapun juga dulu dia adalah tangan kanan ayahku,” ujar Kei, ia menyeringai dan berjalan menuju ruang tahanan bawah tanah, diikuti Yvonne dan Red yang selalu mengikuti Kei di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN