Chapter 01
Cuaca cerah di Italia, kendaraan berlalu lalang tanpa mempedulikan polusi yang tersebar liar, pejalan kaki saling berbincang heboh, beberapa anak tongkrongan duduk di depan toko sambil tertawa keras. Orang-orang melewati nya dengan senyuman lebar, perempuan cantik dengan pakaian minim mengedipkan sebelah mata merasa di perhatikan lalu memekik histeris saat dia tersenyum.
Mereka melakukan kegiatan mereka sehari-hari dengan hati berbunga, seolah tidak tau kalau bencana akan datang sebentar lagi.
“Bos besar sudah di posisi. Beliau mengingatkan tuan agar tidak lupa dengan misi pertama tuan.” Laki-laki berjas serba hitam dengan tubuh kekar datang, dia merendahkan tubuh nya untuk menunjukkan rasa hormat.
Mengangguk mengerti, dia membenarkan topi yang dia pakai, menutupi rambut hitam legam dan hampir mengurangi jarak pandang nya. Satu tangan memegang setangkai bunga mawar dan satu tangan menyentuh punggung, mengecek pistol yang selalu tersimpan rapi di selipan celana jins nya.
“Tuan, bahan peledak sudah siap.” Sang bawahan mengingatkan kembali.
Berdecak, dia mendongak. Memperlihatkan wajah tampan khas Asia dengan bekas luka samar di bagian pelipis, hasil goresan meleset bos besar yang menembaki nya saat dia mencoba kabur beberapa tahun silam. “Aku tau, berhenti mengatakan hal sama.”
“Bos besar bilang, tuan mati kalau tuan berani melarikan diri lagi.”
Mengumpati ayah nya yang terus mengancam ini-itu, dia kembali menetralkan wajah. Tersenyum seringan mungkin pada polisi yang berjalan melewati nya. Melemaskan bahu, dia berjalan perlahan. Tubuh nya tegap dengan mata menatap lurus ke depan, dia berbelok ke gang kecil, menemui bawahan lain yang sudah menunggu disana.
“Sudah siap semua?”
Mereka mengangguk. “Saya sudah mengirim satu tim ke dalam, kita hanya tinggal mengambil kiriman dan meledakkan tempat ini setelah selesai.”
“Ada berapa orang sipil di dalam?”
“Sekitar 30 orang, itu sudah termasuk pegawai nya.”
Dia menyerngit, tangan nya meremas tangkai mawar risau. “Kenapa banyak sekali?”
“Ini restoran terkenal. Sedikit pengorbanan tidak masalah, barang kita lah yang harus menjadi prioritas.”
Sedikit kata nya? Ada 30 orang yang harus mati tanpa mereka tau penyebab nya, dan mereka berkata tidak masalah? Hanya untuk dua peti barang ilegal dan tidak ingin memberikan pertukaran yang disetujui cuman karena tidak ingin merasa dirugikan?
Tugas nya bukan untuk membunuh, tapi menyelamatkan.
Baru saja dia hendak berbalik, tiga pistol sudah terpantri di depan kepala. Bersiap menembakkan peluru kalau dia berani melangkahkan kaki mundur barang sejengkal.
Dia tertawa, lambat laun berubah menjadi desisan sinis. “Kalian arahkan pistol kemana, boys?”
“Bos besar mengijinkan menembak di tempat kalau tuan melarikan diri lagi.” Salah satu menjawab. Mata nya garang, rambut nya pirang tertutup topi. Dia tidak mengenal bawahan yang ini, bahkan dia baru pertama kali bertemu bawahan berjas dengan tubuh kekar sehari sebelumnya, itu pun hanya untuk memberitau rencana mereka.
Dia melirik ke depan, ke ujung jalan, satu-satunya tempat dimana dia bisa melarikan diri kecuali memasuki restoran dari belakang. Terpenuhi laki-laki berjas yang sibuk berbincang santai, dia yakin kalau mereka salah satu komplotan bawahan nya.
“Tembak aku kalau berani.” Dia bergumam, menyusun langkah-langkah dalam otak nya untuk pergi dari pengawasan mereka. “Bos kalian tidak bakal diam saja melihat aku mati karena bawahan nya sendiri.”
“Ini perintah bos besar.”
“Coba saja.” Dia melangkah maju, ujung pistol sudah melekat di dahi. “Membunuh calon pemimpin kalian di masa depan. Aku tidak tau hukuman apa yang menanti kalian nanti.”
Mereka saling berpandangan. Saat salah satu mengangguk pelan, yang lain mengikuti. Tiga pistol yang tadi terarahkan di kepala, kini beralih mengarah ke bawah, tepat di kaki.
“Bos tidak akan marah kalau saya menembak kaki tuan, kan?”
Dia berdecak, memasuki pintu belakang yang sudah terbuka lebar. Gertakan nya tidak berguna, sekalipun dia mempertaruhkan nyawa untuk melarikan diri, itu tetap mustahil untuk di lakukan.
Melewati dapur dan berakhir dengan duduk manis dengan setangkai mawar di atas meja, dia berhadapan dengan perempuan cantik. Sengaja dia goda untuk sekedar mengalihkan perhatian para bawahan nya. Memberikan sepatah dua patah yang mampu membuat perempuan di depan nya tersipu, dia mengedarkan pandangan.
Semua sudah di tempat nya. Dua peti berisi senjata ilegal tertumpuk di ujung ruangan yang diawasi oleh sekelompok preman tua. Dia berdiri, langkah ringan nya menuntun ke tempat mereka. Tugas dia untuk memastikan preman tua mengecek chip sebelum menyadari kalau chip yang dia berikan tidak ada data penting.
Dia menatap sekitar. Bawahan nya lengah. Membelokkan langkah kaki menuju pintu keluar, dia meraih pistol di belakang punggung, menembak kaca lebar tembus pandang saat tau kalau bawahan nya yang lain menunggu di depan pintu.
Masa bodoh dengan nyawa nya, masa bodoh dengan berbagai tembakan yang nyaris pengenai tubuh nya, masa bodoh dengan teriakan yang terdengar hanya karena kehebohan sesaat tadi.
Senyum nya melebar, topi yang dia pakai terlepas tertiup angin. Wajah nya berseri, tangan nya melambai di pinggir jalan, menghentikan taksi kosong yang mencari penumpang. Memasuki kursi belakang, dia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti. Tangan nya menekan pinggang yang sempat tergores peluru. Menatap ke depan, dia menyebutkan satu tujuan.
“Airport, please.”
Sedangkan di Bangkok, Thailand.
“Krystal!”
“Hei, lihat wanita rambut panjang yang baru saja lari ke jalan ini?”
“Tidak.”
“Terimakasih.”
“Krystal! Keluar sekarang sebelum aku cincang tubuh mu.”
Tubuh nya bergetar, dia meringkuk di antara tempat sampah di gang kecil, rambut nya basah oleh keringat, mata nya memerah menahan takut, jari-jemari nya saling tertaut. Suara teriakan memanggil nama nya yang disertai ancaman membuat Krystal menciut.
Dia sudah mampu melarikan diri ke negara lain, bisa bersosialisasi dan berbaur dengan lingkungan sekitar selama sebulan lebih. Namun orang yang terus mencari nya selama beberapa tahun terakhir muncul, tersenyum menyeringai di café tempat nya bekerja lalu memburu nya hingga sekarang.
“Sial, Krys! Aku cuman perlu membunuh mu dan tugas ku selesai. Bisa kamu bantu aku? Keluar sekarang dan biarkan aku menembak mu!”
Suara nya bergema, memenuhi gang kecil. Langkah kaki nya semakin mendekat. Krystal semakin merapatkan tubuh, mengais sampah dan plastik untuk menutupi keberadaan nya, tidak peduli kalau-kalau tubuh nya semakin bau. Keselamatan nya lah yang terpenting sekarang.
“Paling tidak biarkan aku mengambil satu jari mu, sebagai bukti kalau kamu sudah mati. Kamu bebas, dan aku tidak perlu bersusah payah lagi.”
Tubuh Krystal bergeming. Tidak tergiur dengan tawaran yang hampir membuat nya keluar dari tempat nya bersembunyi.
Bunyi langkah kaki sudah tidak terdengar, Krystal memberanikan diri mengintip. Belum dia bergerak, suara kotak sampah ditendang membuat nya memekik. Air mata Krystal mengalir, kedua tangan nya dengan kaku membekap mulut, menahan tangis yang sudah tidak mampu dia bendung.
“Hei, Krys! Mana yang kamu suka? Langsung ku bunuh atau layani aku sampai aku bosan, aku kasih kamu waktu untuk bernapas lebih lama.”
Krystal bisa merasakan kalau orang yang memburu nya tersenyum, menyeringai dengan bayangan diri nya yang melakukan apa yang dia minta. Dia memilih mati daripada harus mengikuti semua yang mereka katakan.
“Bos, sudah ketemu?” Suara asing terdengar, dia mendekat, berdiri di samping laki-laki tua berotot dengan perut buncit. Berdecak karena merasa di ganggu, dia menjawab ketus. “Hampir.”
“Selesaikan cepat, bos. Kapal kita berangkat satu jam lagi. Perlu waktu seminggu lebih buat nunggu kapal berikutnya.”
“Aku tau, berhenti mengganggu ku!” Amarah nya terdengar. Orang yang tadi memanggil nya bos langsung pergi, terdengar dari langkah kaki nya yang semakin semu.
Krystal menahan napas, butuh waktu lama untuk nya mencerna situasi saat suara deru napas yang jelas bukan milik nya terdengar. Belum lagi dengan disusul bayangan hitam laki-laki yang tersenyum miring ke arah nya.
“Ke-te-mu.”
Jantung nya terpacu cepat, suara tangis dan isakan memohon pengampunan terdengar nyaring, kepala nya terus menggeleng saat orang yang memburu nya bertanya menggoda. Suara nya tidak keluar, rasa takut sudah mendominasi, kaki nya bergetar parah. Krystal sudah yakin akan mati disini, dia sudah tidak mampu bergerak untuk sekedar menghindar.
“Ikut dengan ku atau mati disini?”
Krystal masih menggeleng. Laki-laki di depan nya berjongkok, tangan nya terulur hendak mengusap kepala Krystal. Namun terhenti, digantikan dengan suara tembakan yang entah darimana asal nya.
Darah tercecer, beberapa sampai terciprat ke wajah Krystal. Tubuh laki-laki di depan nya ambruk dengan belakang kepala yang berlubang. Dia berteriak, untuk sesaat Krystal merasa lega.
***
“Morning!”
“Good morning.”
“Sandwitch isi telur satu dan coffe hitam. Jangan terburu-buru, aku masih punya banyak waktu untuk ke kereta selanjutnya.”
“Waitress, dimana nasi daging dan s**u ku? Aku sudah memesan satu jam yang lalu!”
“Rich, siapkan sup pereda mabuk untuk ku. Aku terlalu banyak menghabiskan uang semalam.”
Café ramai seperti biasa, bahkan di pagi hari saat matahari baru menunjukkan sinar nya satu jam yang lalu. Pekerja dan orang-orang yang tinggal di kawasan sekitar mampir untuk sekedar berbincang dengan pemilik café. Richard.
“Berhenti memerintah ku, man! Sudah ku bilang kalau mau memesan, pesan ke pelayan.” Laki-laki tinggi paruh baya dengan otot lengan kekar dan perut yang membuncit menyahut gurau. Tak urung dia menoleh ke belakang, meneriakkan pesanan pelanggan pada koki yang bekerja di dapur.
Tangan Rich mengambil segelas air minum di teko atas meja, menyodorkan pada Takeru yang duduk dengan tubuh lemas. “Ada masalah apalagi sekarang?”
“Zuhana memutuskan ku.”
“Kalian baru kenal seminggu yang lalu.”
“Tapi Zuhana beda! Dia satu-satu nya untuk ku!”
Rich memutar bola mata nya. “Kamu mengatakan kalimat yang sama saat masih bersama Hana, mantan mu itu.”
Takeru teman Rich sejak mereka masih menginjak usia remaja, dia tinggal dengan jarak satu blok dari café milik nya. Di awal umur 40-an, bukan nya tinggal bersama keluarga, Takeru malah disibukkan mencari sang pendamping hidup yang terlalu mustahil untuk ditemukan. Laki-laki Jepang dengan toleransi minum yang buruk, tapi entah kenapa alkohol selalu menjadi pelarian saat dia dalam masalah.
“Hey, Krys! Pagi!” Mata Takeru berbinar saat melihat pujaan hati nya keluar dari dapur dengan nampan berisi pesanan pelanggan di tangan. Refleks Takeru membenarkan jas kusut yang dia kenakan, tak lupa merapikan rambut nya dengan tangan yang sudah dia basahi air.
Merasa terpanggil, Krystal menoleh. Wajah cantik nya terlihat dingin, tidak ada senyuman. Tangan nya terangkat, ikut menyapa. “Pagi.” Lalu dia berlalu.
Rich tertawa puas. Melihat Takeru yang tetap kukuh mengejar Krystal sejak awal kedatangan nya, dua bulan yang lalu mungkin. Krystal datang dan melamar pekerjaan dengan tas besar berisi pakaian, hanya bermodalkan pasport dan interview sebentar, Krystal diterima. Sebenarnya Rich menerima Krystal bekerja di tempat nya cuman karena kasian, terlebih dia ingin menarik banyak pelanggan dengan wajah cantik Krystal. Sangat disayangkan kalau penampilan nya terbuang sia-sia.
“Sadar umur! Kamu terlalu tua untuk nya.”
Takeru mendengus. “Cinta tidak memandang umur, man!”
“Ini New York. Kamu bisa mendapatkan wanita cantik manapun yang kamu suka.”
Seolah Takeru tidak sadar kalau dia habis menangis semalaman karena patah hati, Takeru tetap menggoda Krystal. Sup nya datang, Takeru berkutat dengan makanan, walau mata nya terpaku pada Krystal yang melayani pelanggan yang lain. “Dia wanita Asia tercantik yang aku tau.”
“Pulang ke negara mu, aku dengar wanita Jepang lebih menarik.” Rich berkomentar. “Dari video yang aku lihat, desahan mereka lah yang terbaik.”
Takeru tersedak, dia melempar sendok yang dia pegang, tapi dia tetap tertawa. Paham video apa yang Rich maksud. “Itu hanya di video, berbeda dengan kehidupan asli.” Takeru menunjuk Krystal. “Wanita itu beda, dia yang terbaik.”
“Gimana pekerjaan mu?”
“Hampir mati.” Takeru menyibakkan rambut yang menutupi dahi, memperlihatkan luka dengan garis lebar yang terplester. “Mereka hampir membunuh ku kemarin. Zuhana langsung menjerit meminta putus saat aku datang pada nya meminta pertolongan.”
Lagi-lagi Rich tertawa. “Berhenti memperlihatkan luka mu ke orang lain. Mereka bisa mati di tempat saking takut nya.”
“Luka itu simbol sikap jantan untuk pria.” Takeru sok melapangkan d**a, tangan nya menepuk pundak nya bangga. “Jadi polisi di negara orang lain sedikit menguntungkan untuk ku.”
“Hei, Krys.” Rich mengabaikan Takeru, dia memanggil Krystal yang hendak kembali masuk ke dapur. “Takeru bilang dia tertarik pada mu.”
Tidak ingin kehilangan kesempatan, Takeru tersenyum pada Krystal.
Krystal menoleh, menatap Takeru lama lalu beralih ke Rich. “Aku sudah bilang aku tidak tertarik.”
Takeru merona, Rich sudah menunduk tertawa terpingkal. Krystal melanjutkan langkah nya memasuki dapur, siap mengantar pesanan selanjutnya.
Suasana café yang ramai sekarang hening, Rich menghentikan tawa. Raut wajah nya tegang, dia berdiri dengan mata menatap perempuan yang berjalan mendekati nya. Kali ini Takeru lah yang menahan tawa.
“Hai, babe. Ada apa kesini?” Suara Rich mendayu. Pelayan dan koki yang mendengar nya terkikik pelan. Sudah menjadi hal umum melihat Rich tunduk patuh kepada istri nya, Kathrine.
Tangan Kath menengadah. “Uang mingguan, kamu tidak pulang semalam bukan karena menghindari ku kan?”
“No! Jangan berpikiran yang tidak-tidak.” Rich menggeleng, dia merogoh saku celana belakang. Tanpa menghitung jumlah uang, Rich langsung memberikan pada Kath. “Aku tidur di rumah Takeru semalam, banyak yang perlu di urus di café.”
Bohong besar. Takeru berani bertaruh, Rich pasti berjudi semalam penuh.
Kath mengangguk mengerti, dia berbalik lalu keluar tanpa mengucapkan terimakasih. Rich bernapas lega, dia kembali duduk di kursi. Pengunjung yang lain juga melakukan hal yang sama, mereka tertawa tanpa di tahan, jelas menertawakan sepengecut apa Rich di hadapan Kath.
Bunyi bel terdengar, pintu kembali terbuka. Mereka sontak menatap ke sumber suara. Saat mendapati laki-laki lah yang datang, pengunjung mulai meneruskan pembicaraan mereka yang sempat tertunda. Kecuali Rich.
Laki-laki berotot itu berdiri. Wajah Rich kaku, dia menunggu laki-laki itu sampai di tempat nya. Perasaan khawatir mendera, kedua tangan nya terkepal. Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki yang datang. Terlebih dengan pakaian dan topi yang serba hitam, belum lagi tas besar yang tersampir enteng di pundak.
“Aku lihat Kath di luar, dia tidak berhenti tersenyum sejak tadi.” Suara berat terdengar. Laki-laki itu melepas topi, memperlihatkan wajah nya yang penuh lebam yang nyaris menghilang, mata nya membengkak, alis nya tertutup plaster, rahang bagian kanan memerah. Dia memaksakan senyum. “Dia masih mengambil uang mu?”
Rich ikut tersenyum. “Welcome back, Kai.”