Part 2 : Impossible!

1946 Kata
Sara menutup pintu kamarnya dan berjalan perlahan menuju ranjang. Ia sudah sejak kecil tinggal di rumah ini sehingga walau sudah buta pun, Sara dengan mudah mengenali tata letak rumahnya dengan baik. Ia tidak perlu takut untuk tersesat di rumahnya sendiri.   Sara melipat dan menyimpan tongkat jalannya di atas nakas sebelum berbaring melepas lelah. Pikiran Sara kembali melayang kejadian di taman tadi. Tanpa ia sadari, seulas senyum malu-malu terukir di bibirnya. Walau bagaimana menutupinya pun senyum itu terukir indah di wajahnya.  Sara tidak pernah sebahagia ini sejak lima tahun yang lalu. Sejak kejadian naas itu terjadi dan merengut semua kebahagiaan Sara. Sara  meraba nakas di sampingnya dengan tangan kanan. Menyentuh sesuatu yang berbentuk persegi panjang, Sara mengambilnya.   "Mom, aku rasa aku menyukainya. Lelaki itu." Bisik Sara tanpa melepaskan senyuman itu.   "Mom, aku merasa bahagia sekali. Please katakan padaku mom, bahwa aku tepat memilihnya sebagai orang yang akan aku beri hatiku."  "Mom, i miss you. I miss daddy. Andai kalian berada di sampingku sekarang, aku rasa aku akan bercerita banyak hal pada kalian sekarang." Sara memeluk bingkai foto tersebut dengan erat. Merindukan kehangatan yang terpancar dari bingkai tersebut.  Sebuah bingkai yang menjadi saksi bahwa tiga orang di foto tersebut sangatlah bahagia dan tersenyum cerah.  Foto dimana seorang lelaki yang mendudukkan putrinya di atas pundak dan terdapat seorang wanita di samping kiri lelaki itu. Wanita tersebut berdiri menyamping dengan tangan kirinya yang melingkar ke perut lelaki itu dan tangan kanannya menggenggam tangan kiri putrinya. Dan tidak lupa, senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mereka.   Tanpa bisa Sara tahan, cairan bening lolos begitu saja melintasi pipi mulus Sara setiap mengingat betapa bahagia keluarganya dulu. Betapa pelukan ayah dan ibunya selalu bisa menenangkannya di setiap mimpi buruknya.   "Sara! SARA! BUKA PINTUNYA!" Teriak Charles dari luar kamarnya.   Sara segera menghapus air matanya yang kembali mengalir. Dengan sedikit terburu-buru, Sara meletakkan bingkai foto yang ia peluk tadi kembali ke atas nakas.   "SARA BUKA PINTUNYA!!" Teriakan itu kembali terdengar bersamaan dengan gedoran pintu yang semakin mengeras. Sara segera membuka pintu kamarnya dan..  PLAK!   Sebuah tamparan melayang tepat di pipi kirinya dengan keras hingga tubuh Sara ikut terhuyung jatuh ke lantai. Tangan Sara gemetar ketakutan saat menyentuh bekas tamparan yang memanas itu.   "SUDAH AKU BILANG BERKALI-KALI! JANGAN MENCEMARI NAMA KELUARGAKU! JANGAN PERNAH MUNCUL DENGAN MEMBAWA NAMA KYLE PADAMU! KENAPA KAU TIDAK BISA MENDENGAR? APA SETELAH MATAMU BUTA KINI TELINGAMU JUGA SUDAH TULI?" Bentak Charles dengan emosi yang memuncak.   Sara tak mampu menjawab dan hanya terisak sambil memegang pipi kirinya yang sakit. Bahkan ia bisa merasakan rasa asin di sudut bibirnya.   "JAWAB! SEKARANG KAU BISU? WAH WAH WAH! KAU BUTA, TULI DAN BISU. KENAPA KAU SELALU MEREPOTKANKU? KENAPA AKU MEMILIKI ANAK SEPERTIMU!!! DASAR PENYAKIT! PEMBAWA MUSIBAH! PEMBAWA SIAL!" Bentak Charles semakin kuat.   Para pelayan yang mengintip di ujung lorong merasa iba pada Nona muda mereka yang selalu teraniaya oleh ayahnya sendiri namun apa daya mereka tidak punya hak untuk ikut campur dalam masalah keluarga majikannya.   "Ayah,Aku hanya menghadiri acara reuni Universitasku." Jawab Sara lemah. Kepalanya bahkan pusing setelah tamparan keras itu. Dengan kasar, Charles meraih rambut Sara dan menjambaknya agar wajah Sara kini berhadapan dengannya.   "Dengar! Ini peringatan terakhir! Jangan pernah membawa nama Kyle denganmu! Kau hanya membuat nama keluarga Kyle malu! Beraninya kau pergi ke acara reuni itu? Apa kau lupa? Sara Kyle sudah meninggal! Kau! Kau hanyalah parasit! Parasit bernama Sara! Jangan pernah mengaku bahwa namamu adalah Sara Kyle! Karena aku tidak pernah menganggap kau ada!" Ucap Charles penuh penekanan dalam setiap kalimat dan melepas jambakannya dengan kasar.   Kemudian Charles keluar dari kamar Sara dan meninggalkannya terduduk lemas di lantai dengan air mata yang entah keberapa kalinya kembali terjatuh deras. Bahkan Sara selalu berharap airmatanya bisa kering maupun habis karena jujur, dia sudah lelah. Terlalu lelah untuk menangis.   "Non." Panggil seorang pelayan yang menghampiri kamar Nonanya begitu Charles keluar dari rumah.   "Pergi. Aku baik-baik saja." jawab Sara lirih. Ia tau, semua orang tau, ia sedang tidak baik-baik saja. Tapi, itulah Sara. Selalu menyembunyikan semua ceritanya untuk diri sendiri.   Para pelayan hanya bisa menghela napas kecil dan berjalan menjauh dari kamar Nona Mudanya. Sara sedang ingin sendiri. Tamparan tadi bukan pertama kalinya, bukan juga kedua kalinya maupun kedua puluh kalinya. Sara selalu mengingat setiap tamparan yang Charles berikan. Bukan karena ia pendendam, tapi  karena ingatan itu melekat kuat di ingatannya.   Saat seseorang yang mencintai, menyayangi, melindungimu jauh lebih dari yang lain maka ketika ia melukai, menyakiti, menghancurkanmu, kau akan sulit melupakannya. Karena kau masih belum percaya bahwa semua kelakuannya itu, nyata.   ****  "Sara!" Teriak Irene begitu melihat Sara yang masuk melalui pintu cafe.  Irene segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Sara, menuntunnya berjalan dan duduk di kursi depan Irene.   "Maaf membuatmu menunggu lama. Tadi aku bangun kesiangan." Ucap Sara sambil tersenyum tipis.   "Ya, tidak masalah." Jawab Irene tersenyum lebar.  Seorang pelayan datang menghampiri mereka dan menanyakan pesanan. "Satu ice americano, satu ice caramel macchiato dan macaroni cheese-nya satu" Pesan Irene.   "Baik. Mohon tunggu beberapa menit Nona." Ucap pelayan tersebut sambil tersenyum sopan dan pergi.   "Jadi bagaimana semalam? Apa pestanya kurang menyenangkan hingga bintang pesta satu ini pulang begitu awal dan bangun begitu pagi untuk menggangguku?" Sindir Sara.   "Hahaha! Jangan begitu. Pesta semalam begitu menyenangkan, namun karena tidak ada kau, aku mulai merasa bosan disana."  "Ck! Teman-temanmu pasti sangat ingin berlama-lama denganmu disana semalam."   "Mereka membosankan untuk di ajak bermain. Mereka terus mengelilingiku seperti semut." Balas Irene sambil tersenyum lebar.  "Kau memang begitu mempesona Irene. Mereka mengeliingimu karena kau adalah most-wanted girl di Universitas."  "Ck! Mereka bisa-bisa saja meng-klaim aku seperti itu." Irene menggelengkan kepalanya sambil terkekeh ringan. Pesanan mereka datang dan mereka meminum minuman mereka perlahan.   "Aku paling suka ice americano disini."  "Dan kau pasti sedang meminum minuman itu dengan gaya-gaya seperti bintang iklan kopi." Irene hanya terkekeh mendengar ucapan Sara yang benar seratus persen.   "Irene, apa aku boleh bertanya sesuatu?" Ucap Sara tiba-tiba setelah terdiam beberapa menit di antara mereka.   "Apa?"   "Apa aku pernah melakukan sesuatu yang salah pada seseorang semasa kuliah dulu?" Sara meletakkan minumannya dan melipat tangannya di bawah meja dengan gugup.   "Maksudmu?" Mengikuti Sara, Irene juga meletakkan minumannya dan memandang Sara dengan tanda tanya.   "Hmm. Berapa kali pun aku memikirkannya, aku tidak menemukan jawabannya."  "Apa maksudmu Sara? Aku tidak mengerti." Irene meminum minumannya perlahan tanpa melepaskan pandangannya pada Sara yang menghela napas berat.   "Mereka, seperti membenciku. Ah tidak! Mereka benar-benar membenciku. Sangat. Aku tidak tau apa yang pernah kulakukan dulu hingga mereka memperlakukanku seperti itu."    "Ohh.. maksudmu teman-teman kuliah kita?" Ucap Irene mengangguk mulai mengerti.   "Teman-teman kuliah kau. Bukan kita. Mereka tidak akan sudi berteman denganku." Koreksi Sara malas.  "Terserah. Tapi aku juga tidak tau Sara. Setelah kabar mengenai kecelakaan itu tersebar dan yah.. kau tau.. tentang kondisimu, mereka lansung menjadi seperti itu. Aku pernah mencoba bertanya, tapi mereka hanya menjawab bahwa semuanya telah berbeda dari dulu." Suara Irene mengecil dan terdengar ragu ketika di ujung kalimat.    "Hah! Mereka pasti malu memiliki teman yang buta sepertiku. Karena itu mereka membenciku." Sara menghela napas berat dan segera meminum minumannya lagi untuk meredakan kesedihannya sekarang.  "Jangan terlalu memikirkannya Sara. Ada aku yang berada di sampingmu. Yang perlu kau tau adalah bahwa aku tidak pernah malu memiliki teman atau sahabat sepertimu. Kau adalah sahabatku yang terbaik." Irene menggenggam tangan kanan Sara erat di atas meja. Mencoba menguatkan.   "Terima kasih Irene. Aku hanya memilikimu sekarang." Ucap Sara tulus.   "Ya sama-sama."   "Hmm.. Sara, maaf aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Aku harus segera menyelesaikan gaun rancanganku sekarang. Masih banyak yang belum aku selesaikan." Ucap Irene merasa bersalah.   "Tidak masalah Irene. Kau bisa pergi. Aku tau kau pasti sibuk. Apalagi di bulan Februari begini. Banyak pasangan yang ingin menikah di bulan penuh kasih ini." Balas Sara sambil tersenyum lembut.   "Benar. Pesananku meledak di bulan ini."  "Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang dulu." Lanjut Irene.   "Tidak perlu Irene. Aku bisa menghubungi Hared menjemputku."    "Hmm.. Kalau begitu aku akan membantumu berjalan hingga ke tepi jalan. Kita bisa menunggu Hared disana." Tawar Irene.   "Aku. Bukan kita. Antar aku ke tepi jalan dan kau bisa pergi Irene. Tidak perlu menungguku. Bukankah kau sibuk?"  "Menunggu beberapa menit bukan masalah bagiku."    "Aku akan menunggu sendiri Irene. Jangan bersikap seolah-olah aku sangat lemah dengan keadaanku sekarang. Aku akan baik-baik saja. Percayalah." Bujuk Sara.   "Tapi-"   "Aku akan marah jika kau terus menganggap aku lemah seperti itu. Kau benar-benar tidak percaya padaku." Lanjut Sara sebelum Irene sempat protes.  Irene hanya menghela napas berat mendengar ucapan Sara. "Ya ya ya. Oke. Aku hanya akan membantumu berjalan hingga tepi jalan." Irene mengalah.  ****   "Ingat Sara. Hubungi aku jika dalam beberapa menit Hared belum menjemputmu. Aku akan segera datang dan mengomeli Hared pagi siang malam hingga dia trauma telah lalai menjalankan tugasnya." Tegas Irene mengingatkan Sara pada pesan-pesannya.   "Iya Irene, ini sudah yang ke sembilan kalinya." Ucap Sara malas.   "Arghh! Aku tidak tenang Sara." Irene menghentakkan kakinya kesal. Kini mereka sudah di tepi jalan.   "Tenang saja. Sebentar lagi Hared akan sampai. Kau bisa pergi sekarang."    "Ingat Sara. Hub-"   "Aku akan menghubungimu jika dalam beberapa menit, Hared belum tiba dan kau akan mengomelinya pagi siang malam hingga dia trauma karena telah lalai menjalankan tugasnya." Potong Sara lancar.   "Sekarang pergi Irene. Kau terus mengatakan hal yang sama sejak tadi hingga aku bosan." Lanjutnya.  "Baiklah aku akan mengubah kalimatnya sekarang. Sara-"   "Pergi Irene. Pelangganmu akan pergi jika tau kau malas seperti ini. Selesaikan pekerjaanmu dulu dan kita akan bertemu lagi ok?" Ucap Sara memotong ucapan Irene, lagi.   "Baiklah. Aku akan pergi." Balas Irene akhirnya. Ia benar-benar susah mengubah keputusan Sara yang memang keras kepala.  "Iya. Bye~."    "Bye~." Irene melangkah menjauh dari Sara dan memasuki mobilnya yang terparkir tidak jauh dari Sara berdiri. Irene melajukan mobilnya pergi meninggalkan cafe tersebut. Sara terkekeh mengingat sahabatnya yang cerewet itu. Tingkahnya membuat Sara teringat Ayahnya yang sangat cerewet dulu melebihi ibunya.  "Wow. See you here! Apa yang sedang kau lakukan di tepi jalan?" Ucap sebuah suara tiba-tiba membuat Sara cukup terkejut. Sara memalingkan wajahnya kiri kanan seperti mencari arah suara tersebut berada.  "Di hadapanmu. Aku di dalam mobil, jika kau mencari." Ucap suara itu lagi.  "Se- Sean?" Panggil Sara gugup.  Jelas Sara sudah ingat suara itu! Bagaimana bisa dia melupakan suara yang kini masuk ke dalam daftar sebagai suara yang di sukainya. Suara yang berat, tegas dan menggetarkan. Menggetarkan jantung Sara tentunya.    Tunggu, jantung atau hati? Sepertinya jantung, karena hati Sara terasa baik-baik saja namun jantungnya yang bergetar. Jantungnya kembali bereaksi hebat mendetakkannya dengan kuat.   Sean mendesis kesal karena Sara kembali mendiamkannya seperti orang bisu. Sean keluar dari mobil sport Lamborghini birunya dan menghampiri Sara yang terdiam seperti patung.  Sean menarik tangan Sara dan sedikit mendorongnya agar masuk ke dalam mobilnya, duduk di kursi penumpang. Dan seperti boneka bodoh, Sara terdiam dan hanya mengikuti mau Sean. Sara masih mencoba meredakan detak jantungnya.   Ah! Paru-paru basah! Aku lupa menanyakannya pada Irene tadi! Batin Sara merutuki dirinya.    Sean kembali memutari mobilnya dan duduk di balik kemudi. Sean memalingkan wajahnya melihat Sara yang masih terdiam dan Sean kembali menghela napas. Memang susah menghadapi orang yang buta dan bisu -koreksi, berakting bisu- seperti Sara.   Sean mendekatkan tubuhnya pada Sara dan tangan kirinya meraih seatbelt untuk di pasangkan pada Sara yang masih terdiam seperti patung.  Sara yang telah sedikit meredakan detak jantungnya kembali terpaku karena ia bisa merasakan napas seseorang yang ia yakini adalah Sean sedang berada di depan wajahnya.  Jantungnya kembali memompa dengan keras hingga Sara merasa pusing sekarang. Sedangkan Sean tampak menikmati pemandangan di hadapannya saat ini. Dia dapat melihat kegugupan di wajah cantik Sara dan bibir Sara yang dekat dengannya sekarang.  Sean yakin itu akan terasa manis dan menggoda karena ia telah mencobanya, namun ia tidak akan mencium Sara. Tidak untuk sekarang dan mungkin untuk nanti malam.    Sean kembali duduk di kursinya dan menjalannya mobilnya dengan cukup cepat. Sara menghela napas lega begitu terdengar suara mesin di nyalakan.   "Kemana?" Tanya Sara begitu berhasil mengumpulkan suaranya.   "Ke apartmentku." Jawab Sean seadanya.   "Apartmentmu?" Sara mengkerutkan dahinya bingung.   "Ya." Jawab Sean tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.  "Untuk?" Tanya Sara lagi.   "Mulai hari ini kau akan tinggal disana."   "Denganku." Lanjut Sean sambil menyunggingkan senyuman miring.   "APA?!" Pekik Sara cukup kaget.   "Bersiaplah, mulai nanti malam hingga selanjutnya, kau adalah pemuasku." Sara hanya ternganga mendengarnya. Itu tidak mungkin! Tidak mungkin seorang Derald jadi membelinya. Mereka bisa mendapatkan wanita sempurna manapun jika mereka mau!   "Hmmm.. Coba aku pikirkan apa yang harus aku lakukan padamu nanti malam?"   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN