Part 1 : Pneumonia

1647 Kata
Sara Pov, Aku berjalan dalam kegelapan. Aku bisa merasakannya, cahaya dimana-mana, mobil serta orang-orang yang berlalu-lalang. Sebuah suara derap langkah yang cepat terdengar di indera pendengaranku. Seseorang berlari, kearahku.   "Sara, berhenti!" Teriak Irene -sahabat kecilku-. Segera ku teruskan langkahku sambil berpegangan pada tongkat di tangan kananku. Aku tidak tertarik untuk berhenti sekarang.   "Sara!" Teriak Irene lagi. Kini ia berada di hadapanku. Dapat kurasakan kedua bahuku yang di tahan oleh seseorang.   "Sara, aku mohon. Berhenti seperti ini. Sampai kapan kau akan menutup diri dan menyendiri sendiri?" Ucap Irene dengan lembut walau terdengar napas lelah darinya.   "Irene, aku juga mohon. Jangan memaksaku. Aku ingin pulang." Balasku tak kalah tenang.   "Sara, jika kau pergi seperti ini, mereka akan semakin memojokkanmu. Buktikan bahwa kau adalah Sara Kyle yang pemberani, kuat dan penuh pesona. Menjadi Sara Kyle, sahabat yang aku kenal." Bujuk Irene sambil merengkuhku ke dalam pelukannya.  Dapat ku dengar isak tangisnya. Apa Irene menangis? Seketika aku merasa bersalah telah mengecewakan sahabatku. Aku tau tidak mudah baginya melakukan itu semua untukku. Namun dengan bodohnya, aku mengacaukan segala usahanya. Namun jujur, aku sungguh tidak mampu menahan segalanya.   "Maaf Irene. Sungguh aku minta maaf telah mengecewakanmu. Tapi aku sedang lelah. Biarkan aku beristirahat hmm?" Bujukku sambil mengelus punggung Irene yang bergetar dengan tangan kiriku.  Irene melepas pelukannya. "Baiklah. Maaf, aku mungkin terlalu memaksakanmu."  "Tidak Irene. Kau sahabatku yang terbaik."  "Aku akan mengantarmu pulang." Tawar Irene sambil menggandeng tangan kiriku.   "Tidak Irene. Bukankah kau adalah bintang di pesta itu? Tidak baik kau meninggalkan pestamu."  "Hahaha... Apa yang kau bicarakan Sara? Pesta itu tidak lebih penting dari sahabatku satu ini." Balas Irene kini sambil merengkuh pundakku dengan tangan kanannya -menuntunku berjalan-.  "Tidak tidak. Sudah berapa kali kau mengalah begitu banyak padaku? Kali ini aku tidak akan mengacaukan pestamu lagi."  "Sa-" "Please Irene. Kita bisa bertemu besok. Bagaimana?" Potongku cepat.  "Baiklah baiklah kau menang. Kalau begitu aku akan menemanimu disini sampai supirmu menjemput." Tegas Irene.  "Irene, kau-"  "Kalau kau menolak maka aku akan mengantarmu sekarang Sara." Kali ini Irene memotong ucapanku. Aku hanya terkekeh mendengarnya.  Yah, itulah sahabatku -Irene- wanita keras kepala yang aku sayangi. Aku adalah anak tunggal dari keluarga Kyle. Aku menginginkan kakak atau adik. Laki-laki atau perempuan pun tak masalah. Namun ketika ibuku -Jessa Kyle- masih hidup, ia sulit untuk hamil. Aku saja ada di janin ibuku setelah empat tahun setelah pernikahan ayah dan ibuku. Dan setelah melahirkanku, ibuku terserang kanker rahim hingga mengharuskannya mencangkok rahim tersebut.   "Ah itu dia mobil keluargamu." Seru Irene tiba-tiba. Tidak lama, aku mendengar klakson mobil yang memang sengaja supirku bunyikan agar aku bisa memprediksi jaraknya. Dan menurut pendengaranku, mobil itu kini berada di hadapanku sekarang.   "Sara, ayo sini aku bantu." Ucap Irene sambil menuntunku memasuki mobil keluargaku, melipat tongkat jalan dan menyerahkannya padaku. Aku tersenyum tipis, senang setidaknya ada yang memperhatikanku.  "Kau seperti ibuku ,Irene." Ucapku tanpa melepaskan senyumku.   "Memang. Karena itu, dengarkan omonganku dan jangan durhaka padaku Sara. Kau selalu saja melawanku." Balas Irene dengan kesal. Lagi-lagi aku tersenyum tipis.   "Baiklah mom." Ucapku geli.   "Hahaha.. Ya ya. Sudah, bukankah kau bilang kau lelah? Pulang dan beristirahatlah Sara."   "Aku baru memanggilmu mom dan kini kau sudah mencoba memerankan peranmu hmm?"   "Terserah. Hared, tolong antar sahabatku yang bawel ini dengan selamat ya." Balas Irene dan kemudian memerintah Hared -supirku-.   "Baik Ms.Eugene." Jawab Hared dengan sopan.   "Night Irene." Salamku.   "Night too Sara." Balas Irene. Beberapa detik kemudian mobilku melaju. Entah kemana, aku hanya diam saja karena supirku pasti tau jalan pulang bukan?  ****  Angin malam berhembus menerpa wajahku. Aku menikmatinya sambil memikirkan kejadian tadi. Aku kini berada di taman biasa, tempat dimana aku suka menyendiri. Tadi aku meminta Hared untuk mengantarku ke taman ini terlebih dahulu sebelum pulang. Aku sedang ingin menjernihkan pikiranku yang cukup kacau.   Aku masih mengingat tadi ketika aku menghadiri acara reuni Universitas angkatanku, hampir semua orang bergosip ria tentangku. Bahkan mereka tidak berniat untuk berbisik-bisik sekedar menjaga perasaanku.  Aku tidak mengerti, padahal seingatku ketika aku masih berkuliah, aku tidak memiliki musuh yang berarti hingga pantas diinjak seperti tadi. Memang ada beberapa orang yang tidak menyukaiku ketika kuliah, itu karena mereka iri.  Namun sekarang? Apa yang mereka irikan dariku? Kenapa mereka bergosip seolah-olah aku sangat pantas menjadi buta seperti ini? Aku memang tidak menuntaskan kuliahku hingga pantas mengikuti acara reuni tersebut karena sebuah kecelakaan yang membuat keadaanku tidak menungkinkan untuk berkuliah lagi. Tapi setiap yang datang ke pesta itu, di ijinkan untuk membawa pasangan maupun teman. Dan Irene mengajakku.  Apa salah aku datang sekedar menyapa teman lama? Aku melipat kedua tangan memeluk diriku sendiri ketika angin malam mulai terasa membekukan tubuhku. Namun aku belum berniat untuk beranjak dari sana. Masih banyak yang ingin aku renungkan disini.  "Ingin bunuh diri dengan membekukan tubuhmu disini?" Seru sebuah suara lelaki yang tidak asing bagiku.  Siapa? Batinku. Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Mungkin saja pekerja pembersih taman?   "Ck! Kau benar-benar seperti orang yang bisu daripada buta."Seru suara itu lagi.   Aku hanya memiringkan kepalaku mencoba mengingat suara tersebut. Aku yakin pernah mendengarnya.   "Jangan bilang kau lupa denganku." Oh! Bagaimana bisa dia tau? Aku mengkerutkan keningku.   "Kau benar-benar akan terus ber-akting bisu heh?" Kali ini suara itu terdengar tegas dan tajam. Lelaki ini pasti sedang marah sekarang.   "Maaf." Ucapku.   "Sean." Balas suara lelaki tersebut yang bernama Sean.   "Sean?" Ulangku mencoba mengingat. Oh sh*t! Aku merutuki ingatanku yang cukup buruk soal nama. Aku cenderung mudah melupakan nama.   "Sial! Berapa orang benama Sean yang kau kenal heh? Sean Derald!" Balas Sean.  Kini suara itu terdengar bergetar seperti menahan amarah? Namun aku benar-benar tidak ingatt!!!. Aku bahkan tidak tau berapa nama Sean yang aku kenal. Aku merasa tidak mengenal satupun! Aku memenjamkan mataku dalam, merutuki otakku sendiri.   "Damn! Aku lelaki yang kemarin mencobamu, TESTER!" Lanjut Sean setengah keras membentak.   Aku terperanjat mendengarnya. Jadi Sean Derald adalah nama lelaki yang kemarin mencobaku?   "Mulai mengingatku heh?"   "Maaf." Balasku.  Aku mencium aroma maskulin di dekatku. Sepertinya Sean duduk di sampingku sekarang. "Kau gadis pertama yang dengan mudah melupakanku." Ucap Sean sambil terkekeh kecil.   "Aku mudah melupakan nama."   "Bahkan nama Derald juga kau lupa? Aku yakin tidak karena Derald Group selalu muncul dimanapun." Ucap Sean dengan sombongnya.   "Ya. Aku tidak melupakan Derald Group. Warga New York pasti minimal sekali pasti menggunakan produk atau mendengar nama itu." Siapa yang melupakan nama sebesar itu ketika keseharianmu pasti selalu di temani oleh nama tersebut. Lanjut batinku.  "Wow! Aku pikir kau memiliki keterbatasan dalam berbicara. Ini pertama kalinya kau berbicara cukup panjang." Balas Sean sambil bertepuk tangan.   "Lalu kenapa kau masih tidak mengenalku ketika aku bilang nama lengkapku?" Lanjut Sean lagi.  Astaga, lelaki itu pasti orang yang sangat cerewet dan banyak tanya. "Karena kau tidak pernah mengatakan padaku nama lengkapmu."  "Ah, benar juga. Apa Si Tua Bangka itu tidak mengenalkanku padamu?"   "Dia bahkan hampir tidak pernah berbicara padaku tanpa melayangkan tangannya." Balasku tersenyum kecut. Jika sampai ayah berbicara padaku, itu pasti disertai tamparan atau pukulan. Jika tidak pun, itu berarti dia sedang di hadapan seseorang yang akan membeliku.   "Ohh.. Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau berniat bunuh diri disini? dengan dress tipis dan angin malam yang dingin."   "Apa kau mulai memperhatikanku?" Tanyaku asal.   "Tidak. Untuk apa aku memperhatikan gadis buta sepertimu?"   "Lalu kenapa kau berada disini? Aku yakin ini bukan tempat nongkronganmu."   "Ya, kau benar. Aku datang hanya untuk melakukan suatu hal. Setelah itu, jika kau ingin bunuh diri, silakan saja. Tapi tunggu setelah aku pergi."   "Maksudmu?" Balasku bingung.   "Aku tidak tertarik menjadi saksi bunuh diri dan diintrogasi polisi menjadi tersangka."   Aku terkekeh mendengar jawabannya. Ya, aku hanya akan merepotkannya. "Kalau begitu lakukan hal yang ingin kau lakukan itu dan pergilah sebelum kau menjadi saksi atau tersangka bunuh diri." Ucapku masih terkekeh.   Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menempel di bibirku. Sean... menciumku? Bibir itu membelai lembut bibirku dan mengecupnya pelan. Lidahnya membelai setiap sudut bibirku. Aku merasakan tangan Sean yang memegang tengkukku dan menekannya mendekat, memperdalam ciumannya. Aku terdiam terpaku. Ini bukan yang pertama kali bagiku, namun kenapa aku merasa berbeda?  "Akhh." Eluhku ketika Sean menggigit bibir bawahku cukup kuat. Dan seperti mobil pembalap yang melihat lampu hijau, lidah Sean dengan cepat menyerbu masuk ke rongga mulutku dan menjelajahinya. Lidahnya mengabsen gigi-gigiku, dan Sean semakin memperdalam ciumannya lagi, menuntutku membalasnya. Ciuman ini bukan lagi ciuman yang lembut.  Aku merasa panas dengan udara sekitarku sekarang. Seperti terhipnotis, aku mulai membalas ciuman Sean. Sedikit susah mengimbangi ciuman Sean yang benar-benar profesional. Lidahku mulai bergerak membalas gulatan lidahnya dan aku melakukan hal yang sama, menyerbu masuk ke dalam rongga mulutnya dan mengabsen deretan giginya.  Suasana taman yang sepi dan dingin itu kini dihiasi oleh suara-suara kecupan yang saling menuntut dan udara yang panas.   "Done. I go." Ucap Sean melepaskan ciumannya membuatku merasa kehilangan? Astaga apa yang aku pikirkan! Sadarlah Sara!! Aku tidak mampu menjawab dan hanya mencoba mengatur napasku yang tersengal-sengal.  Aku jadi lupa, apa tadi aku ingat bernapas? Aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan semakin menjauh. Aku seperti ingin pingsan sekarang. Bahkan dengan angin malam New York yang mampu membekukan orang-orang kini malah membuatku berkeringat dan pusing.  Kenapa lagi dengan jantungku? Aku hanya duduk, tapi kenapa terasa jantungku seperti melompat-lompat, berlari-lari dan berdetak begitu kuat? Tanganku bahkan berkeringat juga.  Aku pernah membaca sebuah artikel ketika aku masih berkuliah, bahwa ini adalah gejala-gejala kanker paru-paru basah. Apakah ciuman yang agresif dapat memicu terjadinya kanker paru-paru basah? Apakah ada sebuah teori seperti itu? Atau itu adalah perkembangan medis yang baru? Karena kondisiku sekarang, aku bahkan tidak tau perkembangan medis beberapa tahun terakhir ini.   Aku mulai cemas sekarang. Walau aku meninggal, aku tidak ingin meninggal dengan cara seperti itu! Penyakitan, merasakan bagaimana tubuhmu sedikit demi sedikit rusak, melewati hari demi hari dengan penuh kesakitan. Itu sangat menyiksa. Aku harus bertanya pada Irene nanti.   Aku berdiri dari bangku taman tersebut dan berjalan dengan hati-hati di bantu dengan tongkatku. Oh! Aku bahkan lupa arah jalan keluar dari taman ini sekarang. Padahal aku sering kemari dan tidak pernah lupa arahnya! Bagaimana sekarang? Aku harus ke kiri atau ke kanan? Apa ke belakang saja? Aku rasa de..pan saja? Ucapku ragu.   Trrt! Trrt! Getar ponsel mengangetkanku dari perang otakku memilih arah.   "Hallo?" Ucapku mengangkat ponselku.   "Nona, saya mendapatkan telefon dari Mr.Kyle untuk menyuruh Nona pulang sekarang." Ucap Hared di ujung sana. Ah iya! Kenapa aku lupa bahwa aku membawa ponsel? Aku bisa menyuruh Hared menyusulku ke sini!  "Nona?" Panggil Hared lagi karena tidak mendapatkan jawabanku.   "Baik Hared. Susul aku ke sini saja. Aku lupa arah kembali." Ucap Sara sambil menutup telfonnya.   Sean Derald. Apa aku bisa bertemu dengannya lagi? ****   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN