1. Awal

1548 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 malam namun tak menyurutkan konsentrasi seorang pria yang masih setia menatap layar notebooknya dengan seksama. Mata hitamnya yang tajam dengan teliti memeriksa setiap detail angka dan huruf yang berjajar rapi. Perhatiannya teralih tatkala mendengar suara pintu terbuka. Pandangannya kini teralihkan, menatap tajam pada siapa yang berani mengganggu situasi tenang dan konsentrasinya. "Apa yang kau lakukan disini, Karina, pulanglah," ujar pria itu dan kembali menatap layar notebooknya mengabaikan kehadiran wanita berambut merah dengan pakaiannya yang sedikit terbuka berbeda dengan pakaian formal kantor pada umumnya. Wanita yang dipanggil Karina itu berjalan mendekat dan menyandarkan tubuhnya pada meja kerja pemilik ruangan. "Aku menunggumu, Saska. Bagaimana jika pulang bersama?" tawar Karina dengan suara yang halus nan lembut, saking halusnya bahkan terdengar seperti sebuah desahan. "Pulanglah," perintah pria yang dipanggil Saska tanpa menoleh. Tanpa Saska duga, Karina berani menghadapnya mengabaikan perintah mutlak yang ia perintahkan. Wanita itu dengan beraninya menggeser notebook yang terduduk manis di meja, dan menggantinya dengan dirinya dan tanpa mengatakan apapun menarik dasi Saska dan mendekatkan wajahnya. Saska menatap wanita itu datar. Kesabarannya sepertinya akan berakhir malam ini juga. "Baiklah, jika kau tak ingin pulang bersamaku, aku akan menemanimu,” ujar Karina tepat di depan wajah Saska yang menatapnya sedatar tembok. Saska memejamkan mata, wanita yang merupakan sekretarisnya dan juga merangkap sebagai teman sekolahnya saat SMA benar-benar membuatnya kehilangan kesabaran. "Keluar atau kau akan menerima akibatnya," ucap Saska seraya menatap tajam pada mata Karina yang terlindungi kacamata bening berframe merah. "Kenapa Saska? Kau tahu aku telah menyukaimu sejak dulu. Jika kau tak bisa menerima perasaanku kau bisa menerima tubuhku bukan?" Karina tersenyum menggoda pada Saska yang mulai jengah. Seakan mengabaikan tatapan mata yang seakan mampu menembus jantungnya. "Aku menghargaimu sebagai temanku. Jadi cepat menyingkir atau jangan pernah kembali lagi kesini," ucap Saska dengan berusaha menahan emosi. Karina benar-benar sudah tidak waras. Mengesampingkan ancaman Saska dan justru semakin berbuat nekat. Ia dengan berani duduk di atas pangkuan sang atasan. "Apa kau yakin, Saska?" bisiknya sarat dengan desahan. Dengan segera Saska berdiri, membuat wanita berambut merah itu jatuh terduduk mencium lantai dengan keras. "Pastikan aku menerima surat pengunduran dirimu besok," ucap Saska dengan suara yang tajam. Begitu juga tatapannya, menatap tajam tepat disana, di mata berbalut softlens Karina. Bahkan saking tajamnya hingga membuat Karina tak sanggup bergerak. Tubuhnya bergetar hebat, ini kali pertama ia mendapat tatapan setajam belati dari pria yang dulu pernah menjadi temannya saat SMA. Ini adalah usaha terakhirnya menarik Saska dan masih tak membuahkan hasil. Saska tak pernah dapat diraihnya, baik saat masih sekolah, kuliah hingga sekarang. Dan Karina hanya bisa menangis, setelah kejadian ini, Saska pasti akan semakin menghindarinya. Saska melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan pribadinya. Meninggalkan pula wanita yang selama ini tak berhenti mengejarnya. Seharusnya ia tak pernah menerima wanita itu menjadi bagian dari perusahaannya. Namun kebutuhan dan rasa hormatnya pada keluarga Karina membuatnya mengesampingkan masalah pribadi di antara mereka. Namun wanita itu tak pernah jera, ia semakin hari semakin menunjukan hasrat menggodanya. Berpakaian sangat minim, berbicara dengan sensual saat di depannya bahkan sengaja membuat sentuhan langsung di antara mereka. Bagaimanapun juga Saska adalah pria normal, meski ia masih menyandang status perjaka di usianya yang ke 28. Kini wanita itu benar-benar membuatnya marah. Ia bersumpah tak akan menyentuh wanita berambut merah itu, karena menyentuhnya sekali berarti memberikan jalan baginya untuk selalu mengusiknya. Suasana kantor sudah sepi, hanya terlihat beberapa karyawan yang masih menatap layar komputer mereka. Kantor memang tengah sangat sibuk membuat beberapa karyawan harus bekerja lembur demi kelangsungan hidup mereka di perusahaan juga kelangsungan perusahaan sendiri. Saska melangkahkan kakinya menuju lift dengan tangan kanan yang menggenggam benda persegi dan menempel di telinganya. "Halo. Aku butuh seorang teman," ujarnya pada seseorang di seberang sana. "Suruh dia katakan namaku pada resepsionis," imbuh Saska sebelum sambungan terputus. *** Seorang gadis cantik menyeret sebuah koper kecil. Kaos putih dan celana jeans, sederhana namun membuatnya tetap terlihat cantik. Rambut berwarna burgundynya ia ikat tinggi dan memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. "Maaf, namaku Kianara Pradisti. Seseorang telah memesan sebuah apartemen untukku," ucap gadis itu dengan senyuman yang tak luntur di wajah. Gadis yang tak lain adalah Ara, Kianara Pradisti. Si petugas resepsionis mencoba mencari data atas nama tersebut dan ketemu. Resepsionis itu pun mengambil sebuah kartu yang berfungsi sebagai kunci apartemen. "Silahkan Nona, ini kunci anda nomor 238," jelas resepsionis dengan ramah. Belum sempat mengambil kartu miliknya, sesuatu dalam sakunya bergetar membuatnya mengambil benda itu dan mengusap layar. "Halo." Di waktu bersamaan datanglah seorang wanita seksi berambut coklat kemerahan. "Berikan aku kunci apartemen Saska," ucap wanita itu pada si resepsionis. Mengerti apa yang dimaksud, si resepsionis mengambil sebuah kartu dan meletakkannya berdampingan dengan kartu milik Ara. Belum sempat wanita itu mengambil kartunya, seseorang menepuk bahunya. "Hai Alicia, tak kusangka kita bertemu disini." Seorang pria dengan tindik di telinga dan hidungnya tersenyum lebar pada wanita itu setelah menyapa. "Verio?" Wanita bernama Alicia sedikit terkejut melihat siapa yang menyapanya. Yakni mantan kekasihnya yang sudah lama tidak bertemu. "Ya, ini aku. Apa kau datang untuk menemuiku? Hm?" Pria bernama Verio itu tersenyum menggoda pada Alicia. "Ayolah, aku datang untuk seseorang. Bukan dirimu, jangan berkhayal terlalu tinggi," jawab Alicia dengan tersenyum remeh. “Bukankah kita sudah lama tidak bertemu? Bagaimana jika kita mengobrol terlebih dahulu di apartemenku? Meski hubungan kita sudah berakhir kita masih bisa menjalin hubungan baik, bukan?” bujuk Verio. Alicia terlihat berpikir keras, sepertinya Verio benar, mereka memang sudah lama tak bertemu, padahal dulu mereka pernah menjadi sepasang kekasih dan memiliki hubungan baik. Namun karena sebuah alasan, mereka harus berpisah dan setelah itu tak lagi bertemu satu sama lain karena kesibukan masing-masing. "Terlambat beberapa menit sepertinya tak masalah," batin Alicia. "Baiklah." Akhirnya ia mengikuti bujukan Verio dan mengambil kartu di atas meja respsionis. Ara kembali setelah menyelesaikan panggilan. Diambilnya kunci apartemennya dan segera bergegas menuju apartemen sementara yang Tian sewakan. "Lelahnya …" gumam Ara yang terlentang diatas tempat tidur king sizenya. Ia telah sampai dan tak menunggu waktu lama segera merebahkan diri. Punggungnya benar-benar lelah setelah perjalanan. Terlebih kepalanya masih sedikit pusing akibat jet lag. Merasa cukup dengan istirahatnya yang sesaat, ia segera bangkit dan menuju kamar mandi. Mandi di malam hari mungkin dapat membuatnya lebih rileks. Lagi pula ia tidak bisa tidur jika tak membersihkan diri dari sisa keringat yang tertinggal di tubuhnya. *** Pukul 09.30 malam dan Saska baru sampai di apartemennya. Salahkan pada kemacetan yang terjadi karena sebuah kecelakaan dan membuatnya sampai di apartemen lebih lambat. Ia segera menuju kamarnya dan mendapati seorang wanita tengah tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Ia melangkahkan kaki dengan hati-hati seraya membuka jas dan menyampirkannya di kursi. Membuka kancing lengan kemejanya dan mengamati wanita yang saat ini tengah tertidur pulas. Entah apa yang ia pikirkan, tapi sepertinya wanita itu adalah dia, batinnya. * * * Dua manusia berbeda gender itu masih berada diatas tempat tidur menghiraukan terik matahari yang menyilaukan. Sampai suara dering ponsel membangunkan Saska. Saka mengerjap dan meraba mencari ponsel yang seingatnya ia letakkan di atas nakas samping tempat tidur. "Hn?" ["Saska! Apa kau gila?!”} Alis Saska mengernyit setelah mendengar penjelasan yang temannya sampaikan. "Apa maksudmu? Dia ada bersamaku. Dia masih tidur,” ujar Saska menjelaskan dengan melirik Ara yang masih tertidur pulas bahkan terdengar dengkuran halus darinya. ["Jangan bercanda, Saska! Alicia bilang semalam kau tak datang ke apartemenmu!"] Tok … tok … tok …. Mendengar suara ketukan pintu, Saska segera bangkit dari tempat tidur dan seketika membuat wanitanya melenguh. Meraih celana boxernya yang teronggok di lantai, ia segera memakainya tanpa memutus sambungan panggilan. "Ada apa?" tanya Saska datar saat membuka pintu dan melihat resepsionis berdiri kaku di hadapannya. "Maaf mengganggu anda, Tuan. Saya hanya ingin menyampaikan, sepertinya teman anda salah mengambil kartu semalam," ujar si resepsionis dengan menunduk tak berani menatap Saska. Saska hanya mengernyitkan alis dan mendengarkan penjelasan yang resepsionis itu katakan. "Wanita yang anda suruh menyebut nama anda tadi pagi mengembalikan kartu ini dengan marah, dan setelah saya teliti ini adalah kartu yang salah. Ini adalah kartu kunci apartemen penghuni baru atas nama Kianara Pradisti," jelas si resepsionis kembali. Saska meminta kartu itu dan menyuruh resepsionis itu pergi, kemudian ia kembali menuju kamar dan mengamati wanitanya. “Siapa namanya?” tanyanya pada pria yang masih berada dalam panggilan. [“Namanya Alicia,”] jawab pria itu dengan suara lantang. Saska segera mematikan sambungan telepon setelah mendengar apa yang temannya itu katakan dan tak mengatakan sepatah kata sebagai jawaban. Kemudian matanya menangkap sebuah paspor yang tergeletak di atas meja. Dilihatnya paspor itu dan disana dengan jelas tertulis "Kianara Pradisti." Sepertinya malam pertamanya ini tak akan dilupakannya seumur hidup. Karena Saska yakin, semuanya tak akan berhenti hanya sampai disini. *** Kejadian di tempat resepsionis semalam, adalah …. "Halo." Ara mengangkat panggilan saat ponselnya terus bergetar. Karena tak bisa mendengar dengan jelas, ia menepi mencari signal dan melupakan kartunya. Sementara saat itu juga Alicia datang dan berbincang dengan Verio. Saat wanita itu mengambil kartu, ia tak memperhatikan dan justru mengambil kartu Ara. Setelah selesai dengan sambungan teleponnya, Ara mengambil kartu yang ternyata kunci apartemen Saska. Karena sudah sangat lelah ia segera mengambilnya, melihat nomor apartemen yang tertera dibelakang kartu ia segera mencari apartemen atas nomor itu. Yakni 233, ia lupa bahwa si resepsionis sebelumnya mengatakan 238. Sementara si resepsionis tak memperhatikan karena melayani tamu baru yang juga baru sampai. Dan terjadilah apa yang seharusnya tak terjadi antara Ara dan Saska. TBC ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN