Prolog
Wanita itu tak berhenti tersenyum sejak memasuki mobil dengan dua paperbag di tangannya. Ia tak sabar, bahkan ingin segera pulang ke rumah dan memberikan oleh-oleh untuk tantenya. Ia yakin, tantenya akan terkejut setelah mendapat oleh-oleh ini. Sebuah jam tangan merek ternama keluaran terbaru yang hanya tersedia 100 buah di dunia. Dan ia mendapatkannya secara gratis sebagai hadiah juara 1 lomba design di kota sebelah.
Ckit …
Mobil yang ditumpanginya berhenti dan ia segera turun dari mobil. Menutup pintu mobil dengan cepat dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Namun sebuah pemandangan aneh membuatnya heran. Seketika senyumnya pun luntur sesaat. Kenapa kopernya berada di luar rumah? Juga boneka sapi kecil kesayangannya yang merupakan hadiah dari kekasihnya juga teronggok di samping kopernya. Ia memasuki kediamannya, dan saat mendapati asisten rumah tangganya tengah membersihkan meja, ia bertanya, "Bi, kenapa koperku di luar?"
Bi Nem namanya, hanya menunduk tak berani menjawab. Kemudian sesekali melirik sebuah pintu bercat putih yang tak lain adalah kamar tantenya.
Merasa aneh, Kianara, nama wanita itu, mengikuti arah pandangnya dan melangkah perlahan. "Memangnya, ada apa dengan tantenya?" batinnya.
Sementara Bi Nem hanya diam tak berani mencegah, ia harap dengan begini majikannya akan tahu sifat tante dan kekasihnya yang sebenarnya. Meski itu menyakiti Nona-nya, setidaknya cukup sampai disini ketidaktahuan sang majikan. Ia sudah lama tahu, sayangnya ia masih membutuhkan pekerjaan hingga membuatnya tak berani mengatakan semua.
Tap … tap … tap …
Wanita yang kerap dipanggil Ara itu mengendap saat samar-samar mendengar suara aneh dari dalam kamar tantenya. Ia mencoba mengintip dari celah pintu yang tak tertutup sempurna dan detik itu juga paperbag di tangannya jatuh ke lantai dengan ia yang menutup mulut tak percaya. Seketika air mata menetes tanpa bisa ia bendung, pria yang setahun ini berstatus sebagai kekasihnya, tengah b******u dengan tantenya sendiri. Dadanya seperti tertusuk ribuan jarum, merasa tak dapat lagi melihatnya, ia membuka lebar pintu dengan kasar.
Brak!
Pintu itu terbuka lebar dan tampaklah dua orang berbeda gender yang tak mengenakan sehelai benang.
"Tante! Apa yang kau lakukan?!" teriaknya hingga suaranya serak. Ini sakit, sangat sakit sama seperti saat kehilangan kedua orangtuanya.
Wanita berusia sekitar 37 tahun yang masih terlihat cantik itu perlahan bangkit dari pangkuan pria yang usianya jauh di bawahnya. Meraih kemeja pria itu dan memakainya, Sandra, tante dari Ara kini berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Ara. "Ketahuan ya," ucapnya tanpa rasa bersalah. Ia justru mengukir senyum remeh pada Ara yang terluka.
Sementara Novan, kekasih Ara, hanya diam di atas ranjang tanpa berniat menjelaskan bahkan mengatakan sepatah katapun.
"Apa kalian sedang mengerjaiku untuk sebuah kejutan? Tapi sungguh, ini tidak lucu, ini tidak lucu!" teriak Ara kembali dengan air mata yang terus mengalir. Demi apapun, jika ini hanya sebuah gurauan, ia akan tetap mengingatnya sampai mati.
"Hahaha." Tante Sandra tertawa hingga memegangi perutnya. "Kau benar, Sayang, ini hanya lelucon. Sangat lucu bukan? Sangat lucu karena kau baru mengetahuinya sekarang," ungkapnya dengan ekspresi yang datar.
"Apa maksudmu, Tante?" Ara bertanya dengan perasaan yang tidak karuan. Perasaannya benar-benar tidak enak untuk mendengar jawaban selanjutnya.
Tante Sandra berbalik dan mengambil sebuah map dari atas nakas, kemudian melempar map itu tepat ke wajah Ara. Tangan Ara bergetar, diraihnya map yang jatuh ke lantai dan mencoba membukanya. Detik itu juga matanya melebar, tangannya kian bergetar dengan jantungnya yang seakan ingin meloncat keluar. Disana tertera bahwa ia telah menyerahkan semua harta warisan orang tuanya juga perusahaan peninggalan mereka pada tantenya. Ini tidak benar, ia sama sekali tak melakukan demikian. Apa jangan-jangan ….
"Mulai detik ini rumah, aset, dan semua harta kakak jatuh padaku. Bahkan perusahaan milik kakak ipar juga menjadi milikku. Dan kau, pergilah sejauh mungkin sebelum aku juga mengambil semuanya hingga kau hanya membawa selembar kain di tubuhmu," ancam tante Sandra dengan suara dan ekspresi datar. Tak ada raut gurauan, atau sekedar senyuman selain tawa kemenangan dalam hatinya.
Ara terdiam, apakah ini mimpi buruk? Tapi tidak, bahkan ia tak pernah bermimpi seburuk ini selama hidupnya. "Hiks … hiks … kau bohong kan, Tante? Kau bohong kan? Mana Tante Sandra yang selama ini aku kenal? Kau hanya menipuku kan, Tante? Iya kan?!" teriak Ara seperti orang depresi. Itu wajar, Tante yang merupakan satu-satunya keluarganya, yang ia kenal baik dan menyayanginya selama ini justru mengatakan hal yang tak masuk akal.
Tap!
Tante Sandra menepis tangan Ara dengan kasar saat Ara berniat meraih tangannya hingga Ara nyaris jatuh tersungkur. "Dengar, semua yang tante lakukan hanya untuk harta orang tuamu. Beruntungnya aku karena kau hanya gadis polos yang bodoh, dengan begitu aku bisa mendapatkan semua ini meski butuh cukup waktu," jelas tante Sandra dengan angkuh. Baginya, tangisan keponakannya tak ada artinya. Hatinya telah mati demi harta gono-gini. Ia dengan sabar menunggu, karena semua harta warisan diberikan pada Ara saat ia telah berusia 22 tahun. Ayah Ara ingin agar Ara lah yang meneruskan perusahaannya. Dan saat Ara telah sampai pada saat itu, tante Sandra membuat rencana agar terlihat bahwa Ara telah menyerahkan semua padanya. Meminta Ara menandatangani kertas kosong yang ternyata untuk memindah kuasa atas namanya.
Ara jatuh terduduk di lantai dengan memegangi dadanya yang sesak. Sakit, dan lebih sakit saat kekasihnya menghampiri tantenya dan memintanya untuk mengabaikannya yang menangis terisak.
"Dan kau tahu semua ini?" lirihnya yang menatap Novan penuh kehancuran namun Novan hanya diam dengan ekspresi tak terbaca. "Jadi kau juga hanya menipuku selama ini? Semua kata cintamu, perasaanmu, semuanya bohong?" jerit Ara pilu. Ia amat mencintai Novan, bahkan berangan akan menjadi istrinya kelak tapi, kenapa Novan melakukan demikian? Kemana semua kata cinta yang pernah ia ucapkan?
"Itu dulu, tantemu lebih bisa memberiku apapun, juga lebih tahu kebutuhanku," jawab Novan yang berbalik memunggungi Ara.
Ara kian menangis terisak, dua orang yang ia sayangi, bahkan ia anggap keluarganya sendiri, tega menusuknya dengan belati tak kasat mata.
"Sekarang pergilah, barang-barangmu sudah berada di luar," ucap tante Sandra yang merangkul Novan dan hendak pergi meninggalkan Ara.
Tubuh Ara seakan mati rasa, ia ingin pergi dan berlari namun kakinya bahkan seakan tak kuat untuk berdiri. Seketika ia teringat ayah dan ibunya, teringat saat ayahnya memberinya wejangan untuk menjadi wanita yang kuat. Perlahan ia mulai bangkit, mengusap air matanya kasar dan menatap dua orang yang tak akan pernah ia lupa. Setidaknya, ia terusir dengan terhormat. Dengan airmata yang terus mengalir, ia mencoba berdiri tegak. Menunjuk tantenya juga kekasihnya dengan tatapan kebencian namun setelahnya ia tertawa miris. "Padahal jika kau memintanya dengan baik, aku bisa mempercayakan semua padamu, Tante. Tapi, tidak dengan Novan. Sayangnya pria b******k ini lah yang memilihmu, jadi aku bisa apa?" Tangannya terus mengusap air matanya kasar, tidak bisakah air matanya bekerjasama dengan berhenti sekarang? Kemudian suaranya yang hampir serak kembali mengudara, "Tapi, semua sudah terjadi. Dan aku putuskan, akan merebut kembali semuanya, bukan karena harta yang ayah tinggalkan, tapi untuk melaksanakan amanatnya."
Setelah mengatakan semua, Ara berbalik dan menutup pintu dengan kasar tanpa menoleh pada dua orang yang telah mengkhianatinya. Seperti apapun ia berusaha, meski ia mencoba kuat seperti permintaan ayahnya, airmata tak dapat membohongi hancurnya perasaannya.
"Nona …." Bi Nem menghampirinya dengan prihatin. Ia merasa bersalah sekarang, jika saja ia mengatakannya lebih awal, pasti semua tak akan seperti ini. Tapi ancaman tante Sandra membuatnya tak dapat melakukan apapun.
Ara mengambil nafas dalam, mengusap air matanya dan memberikan senyuman yang bisa ia tunjukkan. "Tidak apa-apa, Bi. Bibi tolong jaga rumah ya, jaga rumah ayah sampai aku kembali lagi memilikinya."
Bi Nem semakin merasa bersalah, dipeluknya Ara dengan mengucapkan banyak kata maaf.
***
Saat ini Ara masih berdiri di depan gerbang rumahnya. Rasanya baru kemarin ia tertawa bersama tantenya, dan baru kemarin juga tantenya mengusirnya. Tapi itu sudah dua bulan yang lalu. Sesekali ia akan ke rumah dan melihat rumahnya dari luar, berdiri di depan pagar seperti seorang pengemis meminta makan. Ia tak mungkin menangis dan memohon pada tantenya agar ia kembali tinggal. Novan sudah menjadi bukti bahwa tantenya tidak memiliki hati, jadi seperti apapun ia memohon, tantenya pasti tak akan sudi karena telah mendapat apa yang ia ingini.
"Maaf, ayah, ibu," lirihnya dengan mencengkram pagar rumahnya kuat. Ia begitu bodoh sehingga kehilangan semua yang ayah dan ibunya wariskan.
Ia bersumpah akan merebut kembali miliknya, tantenya tega melakukan ini padanya meski ia adalah keluarga. Dan akan ia lakukan hal yang sama suatu saat nanti. Tapi, apa dan bagaimana caranya?
Seketika ia teringat, pantas saja tantenya menyuruhnya kuliah jurusan design dan merayunya dengan kata-kata manis, pasti agar ia tidak tahu menahu mengenai perusahaan dan tidak mencampuri urusan perusahaan dan sebagainya. Tantenya selalu memberinya semangat dengan apa yang ia lakukan, ternyata ini tujuannya?
Ia telah berpikir dan memutuskan, mengambil ponsel dari saku celana dan hanya satu orang yang ia harap bisa membantunya.
"Halo, kau masih tinggal di Jakarta?" Ara hampir lupa, ia masih punya keluarga pasif yang pasti bisa membantunya
["Iya, kau tahu aku menetap disini sekarang. Ada apa? Tumben sekali, hoam …."]
Ara dapat mendengar suara pria di seberang sana tengah menguap. Terserah, lagipula ini penting untuk kelangsungan hidupnya. "Aku ingin kesana, carikan apartemen," perintahnya menuntut.
["Kapan?"]
"Sekarang! Aku sudah pesan tiket pesawat. Dan kau yang harus membayar sewa sebelum aku mendapat pekerjaan!"
["Heee, kau bercanda?"]
"Tidak."
["Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam ….."]
Piip …
Ara segera mematikan sambungan telepon tanpa mengatakan apapun. Meski mendengar pria itu berkata demikian, ia yakin apa yang ia minta akan dilakukannya. Tian namanya, teman, sahabat, sekaligus kakak untuknya. Mereka berteman sejak kecil karena rumah Tian berada tak jauh dari rumahnya. Tian pria yang baik, usianya 5 tahun di atasnya namun selalu bisa Ara ajak bermain. Hingga Tian pindah ke Jakarta beberapa tahun lalu, mereka masih berteman dengan baik.
Ara telah membulatkan tekad, ia akan ke Jakarta, bekerja di perusahaan besar untuk belajar dan mengumpulkan pengalaman mengenai perusahaan agar mengetahui cara mengambil semua miliknya dengan cara yang benar. Ia yakin Tuhan bersamanya dan akan melindungi orang yang teraniaya sepertinya. Tapi, benarkah semudah itu? Karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
TBC ...