Pagi hari ini sangatlah dingin. Sudah berapa selimut yang aku pakai namun tetap saja terasa dingin yang menusuk kulit-kulitku. Meskipun matahari sudah naik, aku tidak segera bangun. Aku masih ingin berlama-lama di atas tempat tidur.
Beberapa saat kemudian aku teringat akan sesuatu. Segera kuraih kalender di mejaku dan melihat tanggal. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Bahagia? Tentu saja.
Aku membersihkan diri alias mandi, dan bersiap-siap untuk ke bawah. Tapi, saat dibawah tangga, lampunya masih belum dinyalakan. Ada apa? Mereka belum bangun? Tumben sekali. Apa mereka lupa hari ini hari apa? Kalaupun memang lupa sih wajar karena umur mereka yang sudah tidak muda lagi.
Tanganku terulur hendak mencari makanan. Tapi saat tanganku menyentuhnya tiba-tiba lampu menyala dan dikejutkan dengan mereka berdua.
"Happy birthday!!" ucap mereka berdua sambil membawa kue. Ruangan ini juga sudah berubah menjadi indah dengan hiasan-hiasan dinding yang menempel rapi. Tak lupa juga dengan balon-balon yang melekat di langit-langit.
"Waww!!!"
Aku agak terkejut dengan surprise yang mereka berikan. Mereka masih sempat-sempatnya menghias ruangan dan membuat kue.
"Kemarilah!" Bibi meletakkan kuenya di atas meja dan menyuruhku duduk.
"Tiup dan buatlah permohonan," ujar Bibi dengan lembut. Paman yang duduk di sebelahnya mengangguk mengiyakan.
"Baiklah."
Aku mengepalkan tanganku. Memohon agar kebahagiaan akan terus berpihak padaku. Tidak ada masalah dan berharap semuanya akan damai. Kemudian ku tiup lilin-lilinnya.
"Terimakasih... Paman, bibi." Kami berpelukan sesaat.
Paman mengambil sesuatu di ruang tamu dan memberikannya padaku.
"Ini hadiah dari kami. Dan ini adalah peninggalan dari ayah ibumu."
"Apa ini?" Aku mengambilnya dan takjub melihatnya.
"Ini adalah kalung dan busur bulan milik ibumu," jawab Bibi.
"Dan juga light sword milik ayahmu," sambung paman.
Aku sangat senang menerima ini. Peninggalan ayah dan ibu yang harus dijaga. Aku memakai kalungnya, kalung itu berkilau. aku menyembunyikan kalung itu dibalik baju agar tidak terlihat mencolok. Kemudian s*****a-s*****a ini tiba-tiba bersinar dan kemudian menghilang.
"Kemana mereka pergi?" Tanyaku agak takut melihat mereka menghilang.
Paman menjawab, "Mereka tidak menghilang. Mereka hanya tersimpan di kalungmu. Ketika kau membutuhkannya, mereka seketika akan keluar dengan sendirinya." Aku pun menghembuskan nafas lega mendengarnya.
"Aku akan masak masakan yang enak hari ini!!" ujar Bibi dengan semangat. Walau sudah agak siang, kami belum sarapan pagi dan Bibi juga belum sempat memasak karena sibuk membuat kue.
"Waahh, kalau begini setiap hari enak kan ya." Paman menimpali sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa.
Kami tertawa bersama sampai- sampai bibi lupa kalau persediaan garam di dapur sudah habis.
"Aku akan pergi membelinya!" Kataku dan pergi. Tak lupa aku menutup pintunya kembali.
Saat pulang dari membeli garam. Suasana menjadi tidak enak. Langit mendung dan ada sedikit guntur. Angin juga berhembus sangat kencang. Orang-orang yang saat itu lewat langsung mempercepat langkahnya. Hatiku gusar dan menjadi tidak enak. Cuaca yang tiba-tiba saja berubah seperti ini membuatku cemas. Seperti ada yang mengganjal. Aku pun mempercepat langkahku agar lebih cepat sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, aku melihat pintu depan yang tadinya aku tutup sekarang terbuka. Aku melirik ke dalam sebelum masuk. Gelap gulita. Kemana mereka?
Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk ke dalam. Sangat sunyi. Tidak ada suara paman dan Bibi yang tadinya riang dan tertawa. Apakah ada kejutan yang lain?
"Paman... Bibi... " Aku memanggil mereka dengan perlahan.
Belum sempat kulanjutkan perkataanku, aku dikejutkan dengan dapur yang sangat berantakan dan terdapat darah segar yang mengalir dari ujung meja.
Nafasku terengah-engah. Aku melihat bibi yang sudah tergeletak dan di penuhi banyak darah.
"Bibi!!!" Aku segera mendekapnya. Aku terus menerus meneriaki namanya namun percuma, ia sudah tiada.
"Kumohon bangunlah bi..." Aku menangis tak henti-hentinya yang sedari tadi melihat bibi lemas tak bergerak.
"Rey..." Aku mengusap air mataku dan meletakkan Bibi kembali. Aku langsung mencari sumber suara itu yang ternyata adalah paman.
Aku segera menghampirinya, ia bersandar di dinding dengan luka yang sangat parah.
"Paman... Bertahanlah, aku akan segera memanggil ambulan."
Saat aku akan berdiri, paman mencegahku.
"Jangan nak... hidup paman sudah tidak lama lagi... maafkan paman dan bibi yang tidak bisa menemanimu selamanya." Paman mengatakan itu dengan terbatuk-batuk.
"Tidak paman, jangan pergi... Kau pasti akan tetap hidup, percayalah...." Aku meyakinkannya sambil terus menangis
"Oh, ayolah. Jangan seperti anak-anak lagi... setelah ini pergilah ke academy itu dan belajarlah di sana... dan jangan lupa, rawat baik-baik peninggalan orangtuamu itu... oh ya satu lagi, tetaplah hidup..." Paman mengatakan itu semua sambil menahan rasa sakitnya. Aku tidak tahan melihatnya.
"Sudah paman... Jangan berbicara lagi." aku menggenggam erat tangannya yang sudah berlumuran darah.
"Maafkan paman dan bibi ya... kami menyanyangimu." Tubuh paman ambruk dan lemas. Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan paman... aku sangat sedih dan shock. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku.
"Aaaaaaaaaahhhhh! mengapa kau melakukan ini!!?? kenapa kau merenggut nyawa mereka, kenapa bukan aku??"
"Keluarlah kau!!! aku akan membalaskan kematian mereka."
Aku berteriak sekencang-kencangnya mengeluarkan amarahku. Aku sangat terkejut dengan apa yang kulihat hari ini....
Mengapa orang-orang yang kusayang harus meninggalkanku, sendirian? Aku terlalu lemah menghadapi semua ini, tubuhku gemetar. Aku tidak bisa menahannya. Kemudian aku terjatuh dan semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun dan mendapati diriku yang tergeletak di sebuah hutan. Kepalaku sangat sakit. Aku mencoba mengingat ingat kejadian lampau. Aku masih tidak bisa menyangkanya sampai sekarang. Itu seperti merenggut semua kehidupanku.
"Kau sudah tertidur selama 3 hari," ucap seseorang yang sedang berdiri menyandarkan tubuhnya di pohon besar.
"Siapa kau?" Tanyaku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kepalaku masih sakit.
Orang itu pun mendekat. Sekarang aku sudah bisa melihatnya dengan jelas. Ia adalah orang aneh yang kemarin ada di sekolah.
"Apa yang kau mau?" Tanyaku lagi.
"Aku diutus untuk membawamu pergi. Kau tidak cocok berada di bumi dengan sesuatu yang aneh di tubuhmu itu."
Aku paham. Bagaimanapun juga setelah ini aku harus meninggalkan tempat ini menuju ke kehidupan baru. Aku ragu apakah aku bisa beradaptasi atau tidak di kehidupan baru ini.
"Apakah kau sudah siap?" Tanya orang itu
.
.
.