11. BALIK ARAH

1938 Kata
Betapa menyenangkan bercerita sambil tertawa bersama dengan teman lama. Dulu, mereka jarang sekali bertukar kisah. Jangankan bertukar kisah, saling sapa saja bisa dihitung menggunakan jari. Kadang, orang akan lebih menghargai temu setelah berpisah. Mengenang masa lalu lebih indah ketimbang saling mengagungkan jabatan, pekerjaan, atau karir yang tengah meroket. Itu namanya nostalgia yang sebenarnya. Ketika dua orang yang sudah lama tidak bertemu, tiba-tiba dihadapkan dalam situasi yang menguntungkan untuk berbagi waktu. Masa SMA, masa di mana sedang mekar-mekarnya. Jatuh cinta, pacaran, persahabatan, bercampur menjadi satu kesatuan yang sangat utuh. Memberikan warna terindah yang membuat masa itu semakin cemerlang. Terkadang, ketika kita berjalan dan mencium aroma parfum orang, bisa langsung familiar. Aroma parfum si A atau si B ketika jaman SMA. Pasti rasanya menyenangkan bisa berbagi kenangan ketimbang harus memamerkan kemegahan hidup di masa depan. Cukup lama Zidan dan Alyn duduk berdua di salah satu stand makanan. Mereka mengobrol, saling tertawa, lalu memesan makanan entah sudah ke-berapa piring yang habis karena perut karet keduanya. Dari makanan ringan sampai berat, kadang kopi dari varian A sampai B mereka coba. Semua pikiran negatif, salah paham, beda pendapat atau perselisihan, selesai sampai di sini. Kebencian, kemarahan, perasaan kesal di masa lalu, bisa diluruskan saat ini. Zidan mulai membuka diri, tidak menjadi pendendam, tidak menjadi laki-laki pengecut yang lari dari kenyataan, atau orang yang selalu merasa jika dirinya benar. Zidan yang itu, sudah hilang. Alyn meminum kopinya kembali, cukup seru pembahasan mereka. Sampai lupa jika waktu sudah larut dan sebentar lagi tempat ini akan tutup. Zidan dan Alyn beranjak, mereka harus segera keluar dari pusat perbelanjaan ini. Zidan yang masih betah mengobrol mengajak Alyn untuk duduk sebentar di taman kota di mana karnaval sedang diadakan sebagai peringatan hari jadi kota tersebut. Zidan mengambil duduk di salah satu kursi taman kota yang cukup tenang. Setidaknya, acara mengobrol mereka tidak terlalu terganggu. Beberapa orang yang ada di sana tampak segan atau bisa juga dikatakan takut ketika melihat Zidan lewat. Beberapa anak muda yang mojok di kegelapan pun memilih bubar. Takut kena grebek, mungkin. "Anak jaman sekarang ya, udah bisa mojok! Malam-malam bukannya belajar, malah malam mingguan." Gerutu Zidan yang membuat Alyn tertawa. "Kamu bilang gitu, emangnya dulu enggak pernah malam mingguan sama Rere, apa?" Sindir Alyn yang membuat Zidan langsung tertawa. "Bener juga ya, sok alim aja kalau pakai seragam. Padahal aslinya aku bar-bar. Tapi tenang, aku masih anti rokok, minum, sama narkoba. Anak sehat dong sampai sekarang. Makin ganteng juga walaupun udah sedikit tua." Canda Zidan seperti biasanya. Alyn hanya tertawa mendengarkan candaan Zidan. Padahal, dulu Zidan sangat kesal dengannya. "Kamu gimana? Udah move on 'kan?" Pertanyaan itu adalah pertanyaan kramat yang sulit untuk Alyn jawab. Perempuan itu hanya tersenyum masam lalu mengangkat kedua bahunya bingung. "Aku udah punya pacar tapi, Dan. Kami pacaran sekitar lima tahunan ini. Lama 'kan?" Zidan mengangguk, "tapi sayangnya enggak cinta. Gitu, maksudnya?" Zidan bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Alyn sendiri diam, menatap lalu-lalang manusia yang sedang menikmati karnaval malam ini. "Kelihatan banget ya?" Tanya Alyn melirik Zidan yang berada di dekatnya. Zidan menganggukkan kepalanya tanpa ragu. Zidan tentu saja bisa membedakan orang yang serius jatuh cinta atau hanya sekedar terpaksa saja. "Siapa?" Tanya Zidan penasaran. "Kak Regan—kakaknya Rere. Kenal 'kan kamu?" "Ya, kenal." Jawab Zidan santai. Alyn tersenyum tipis, "kamu enggak mau bilang buat cepetan move on dari Genta? Kaya yang lainnya. Mereka selalu bilang ke aku kaya begitu." "Enggak! Move on dari orang yang berpengaruh dalam hidup kita itu sulit. Mau digantikan sama orang yang lebih baik atau segala-galanya lebih dari dia, juga enggak bisa. Waktu putus sama Rere, aku juga bingung dan sedih. Proses untuk melupakan Rere juga sama sekali enggak gampang. Apalagi ini Genta, aku tahu banget perjuangan dia untuk bikin kamu bahagia." Zidan tersenyum mengenang nama Genta—sahabatnya. Alyn mengangguk, seperti mendapat angin segar. Zidan begitu sangat memahami perasaannya. Hanya segelintir orang yang berani bicara seperti itu. "Terus, kamu tetap enggak mau ikut jadi panitia, Dan?" Tanya Alyn baru saja memasukkan tempat minumnya ke dalam tempat sampah. Zidan menggeleng, "aku datang kesini aja karena ada tugas. Enggak tahu malahan kalau kamu tinggal di kota ini. Soalnya setelah kamu lulus dari SMA, kita 'kan enggak pernah ketemu lagi. Cuma ingat kalau kamu kuliah kedokteran, itu doang. Terus, untuk pertanyaan kamu soal panitia reuni, jawabanku enggak. Di kelasku udah ada yang ngurusin, aku juga enggak bisa minta libur." "Tapi semua itu bukan karena kamu mau menghindar dari Tito, 'kan? Eh, sorry ya kalau aku kelewatan tanya hal ini sama kamu," selalu mulutnya tidak bisa dikontrol. Zidan sedikit berpikir, "mungkin enggak! Lagipula aku mengikhlaskan semuanya. Aku rasa, untuk bertemu dengan dia, bukan hal yang terlalu bagus. Kami sudah lama sekali tidak bicara, rasanya bakalan canggung banget." Alyn mengangguk, "kamu sendiri sudah menikah? Rere bulan depan mau menikah dengan pacarnya." "Udah, istriku baru hamil." Jawab Zidan yang berubah ceria ketika menceritakan tentang istrinya. "Wah, pasti senang ya, sebentar lagi kamu bakalan punya bayi lucu di rumah." Gemas Alyn karena Zidan akan segera memiliki anak. Untuk urusan menikah apa belum, Alyn tidak pernah menyangka jika pada akhirnya Zidan sudah memiliki keluarga. Zidan tersenyum senang, "besok kapan-kapan kalau kamu datang ke kota kita buat rapat reuni, jangan lupa buat mampir ya. Kalau enggak jangan sungkan kabarin aku, nanti aku ajak ketemu sama istriku." Obrolan mereka berlanjut, sampai akhirnya mereka sama-sama diam dan menikmati karnaval yang semakin ramai. Apalagi parkiran penuh dan sudah dapat mereka pastikan bahwa tidak akan semudah itu mereka keluar. Alyn bengong di bawah lampu, matanya menangkap beberapa keindahan yang begitu membuat dirinya mengingat kepada kenangan yang telah lalu. Ada tukang martabak dan karnaval. Mengingatkannya kepada sosok Genta, sekali lagi. "Dulu, aku pernah datang ke tempat kaya gini. Acara karnaval pertama yang aku lewatin sama Genta. Kita cuma duduk sambil makan martabak terus ketawa kaya orang gila. Dia itu memang jarang romantis, tapi dia bisa bikin semua momen berkesan. Kadang aku suka mikir, kenapa aku enggak bisa lupain dia. Padahal aku enggak tahu, apa dia masih ingat sama aku atau enggak." Curhat Alyn ketika berdiri bersama dengan Zidan. "Setiap manusia itu punya perasaan cinta yang kadang sulit dilupakan. Kita enggak bisa memaksa perasaan orang lain untuk sama seperti kita. Misalkan, harus bisa move on dua bulan. Enggak segampang itu, tiap orang punya masa move on yang beda-beda. Kebetulan aja, kamu punya waktu yang lama dan orang yang lupain itu adalah orang yang sangat berpengaruh." Alyn mengangguk, "kira-kira, Genta datang enggak, ya?" "Entah, aku juga mau lihat dia datang." ### "Karena kamu enggak pernah mau berubah! Karena kamu yang bikin aku bosan dengan lingkaran kita! Karena aku—" Regan kehilangan semua kata-katanya. Kehilangan semua harapannya ketika matanya menatap kelopak mata Alyn basah dengan air mata. Berlomba-lomba air matanya jatuh, membuat pandangan matanya sedikit buram. Rasanya tubuh Alyn lemas dan kaku. Bahkan untuk sekedar berlari meninggalkan pemandangan ini saja, sulit. Yang sejak tadi keluar dari bibir Alyn hanya kata 'kenapa'. Tidak ada kata lain yang menyusul. Dadanya sesak namun berusaha untuk tetap tidak lepas kontrol. Tubuhnya pun panas dengan detak jantung yang tidak beraturan. Mengapa harus Regan? Mengapa harus orang yang telah dia percayai? Baru saja Alyn datang ke kota lama, kota kelahirannya. Lalu, mengapa disuguhkan dengan pemandangan seperti ini? Menambahkan luka saja ketika melihat berada di kota ini. Kakinya bergetar, tidak tahu harus bagaimana cara jalan agar tidak terhuyung. "Lyn?" Panggil Regan yang tampak bingung karena menatap wajah Alyn yang memerah. Matanya belum juga berhenti memproduksi air mata. Bahkan semakin banyak, membuat aliran kecil di pipinya. "Ini salah kamu, Lyn. Kamu yang bikin aku harus bersenang-senang dengan orang lain. Kamu mana ada waktu buat aku? Kamu selalu mikirin tentang masa lalu kamu! Aku juga manusia yang sama seperti kamu, wajar 'kan kalau seperti ini!" Ucap Regan membela dirinya dengan wajah bingung karena tidak ada reaksi apapun dari Alyn. Alyn menghapus air matanya dengan telunjuknya. Helaan napasnya terdengar kasar lalu tersenyum masam. "I-iya, aku salah. Aku minta maaf sama Kak Regan. Semoga Kak Regan lebih bahagia dengan orang lain. Aku pergi ya, Kak. Makasih untuk lima tahunnya," lirih Alyn yang berbalik arah. Regan membuka matanya lebar, laki-laki itu mengejar Alyn. Menggenggam tangan Alyn namun dihempas kasar. "Lyn, please, aku enggak mau pisah! Aku enggak mau putus sama kamu, Lyn. Aku sayang sama kamu. Kalau gitu, aku enggak bakalan marah lagi dan aku bakalan terus sama kamu. Aku enggak mau kamu ninggalin aku!" Mohon Regan sepanjang perjalanan. Membuat beberapa orang menatap ke arah mereka. Alyn tidak mendengarkan semua ucapan Regan. Langkahnya semakin mantap untuk segera ke parkiran. Jika memang akan melihat seperti ini, Alyn tidak akan datang ke tempat wisata ini. Tidak akan! "Lepasin Kak," ketus Alyn yang mendekat ke arah mobilnya. "Tolong Lyn, jangan kaya gini! Kita bisa perbaiki," bentak Regan yang membuat Alyn terdiam disamping mobilnya. Perempuan itu tersenyum kesal lalu melipat tangannya di d**a. "Apa yang harus diperbaiki? Kenapa Kak Regan enggak bilang seperti biasanya, ini cuma salah paham, ini teman aku—biasa 'kan kalau diluar negeri cium peluk itu bi-a-sa, aku sebenarnya udah nolak, tapi dia terus maksa. Gitu 'kan biasanya?" Regan menghela napas panjang lalu memegang kedua pundak Alyn yang masih bergetar karena menangis. "Lyn, kamu tahu 'kan, kemarin kita berantem! Dia cuma mau menghibur aku aja. Lagian, kamu sejak kapan sih jadi baperan kaya gini. Kita cuma jalan bareng," tegas Regan. Alyn menatap perempuan yang saat ini menundukkan kepalanya di belakang Regan, "kamu mungkin bahagia bisa mendapatkan Regan. Tapi Regan bukan laki-laki yang bertahan dengan satu perempuan." Perempuan itu mendongak, "maaf, Dokter Ralyn. Saya benar-benar khilaf. Saya minta maaf!" Alyn melepaskan tangan Regan dari pundaknya. "Kamu tahu, semua orang begitu sangat kagum sama kamu. Mereka selalu bilang kamu pacar yang baik dan bisa diandalkan. Aku pun merasa begitu. Aku memang prioritas kamu, Kak. Tapi hatimu kemana-mana. Mungkin aku akan diam aja kalau kamu pelukan ciuman di luar negeri. Tapi ini Indonesia, mana mungkin aku percaya kamu se-nekat itu kalau memang enggak ada hubungan apapun." Air matanya mengering namun hatinya masih sangat sakit. "Baiklah Kak, bermain-main sesuka Kakak saja. Bukankah Kakak tidak mau bersama dengan perempuan yang masih memikirkan mantannya? Jadi, lakukan sesuka hati Kak Regan. Aku enggak melarang penyakit Kakak." Regan menghalangi Alyn yang hendak masuk ke dalam mobil. "Maksudnya penyakit apaan?" Alyn tersenyum tipis, "bukannya selingkuh sulit disembuhkan. Apa itu bukan penyakit namanya?" "Kamu jangan sok suci, kita semua tahu kalau kamu udah enggak perawan. Siapa laki-laki yang mau selain aku?" "Kak, aku lebih baik tidak menikah jika laki-laki itu tidak bisa menerima masa laluku, menghormati harga diriku. Tolong, jangan katakan yang sebenarnya mengapa kita putus sama Rere." Ucap Alyn yang sudah masuk ke dalam mobilnya. "Kenapa? Takut kalau Rere jauhin kamu?" Ketus Regan karena tidak bisa menghalau Alyn pergi. Alyn hanya menggeleng, "aku takut, pandangan terhadap Kakaknya berubah. Jangan membuat Rere membenci Kak Regan." Alyn melajukan mobilnya cukup kencang meninggalkan parkiran. Setelah itu, dia kembali menangis. Rasanya benar-benar sakit dan membuatnya hancur. Padahal Regan sendiri yang bilang untuk saling menyadari kesalahan masing-masing. Lagipula, ini sudah benar. Alyn lelah dijadikan sebagai pihak yang selalu salah. Banyak orang yang bersimpati kepada Regan. Mengasihani Regan karena menjadi pacar tidak dianggap oleh Alyn. Namun, pada kenyataan yang sesungguhnya, Regan sering sekali bermain perempuan di luaran sana. Hanya saja, tidak banyak orang yang tahu. Rasanya lelah menjadi seorang Alyn yang begitu menjaga perasaan semua orang. Bagaimana bisa seorang Regan yang dipercayainya selingkuh di depannya dengan orang yang dia kenal. Bahkan adegan ciuman itu masih jelas di dalam ingatannya. Regan yang bak malaikat di depan semua orang ternyata sering  memiliki hubungan gelap dengan banyak perempuan. Memang benar, Regan mencintai Alyn. Bahkan sangat! Namun, cinta tanpa kesetiaan itu juga pincang. Jika di luar negeri Alyn masih bisa memahami semua kebohongan Regan dengan tameng teman. Tetapi yang baru dilihatnya? Matanya semakin kabur, air matanya berlomba-lomba untuk jatuh. Alyn menepikan mobilnya di pinggir jalan dan menangis sepuasnya. Lagipula, dengan menangis akan melegakan hatinya yang pedih. Walaupun rasa sukanya pada Regan tidak sebesar kepada Genta. Namun, nyatanya, putus masih menakutkan dan menyakitkan. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN