2. HARAPAN ALYN

1953 Kata
Aroma kopi panas menyeruak dari gelas-gelas plastik yang berjajar rapi di atas kursi panjang. Beberapa orang tengah meluruskan kakinya di lantai, saling berjajar dan merapatkan punggung ke dinding dingin rumah sakit. Ada juga yang sedang memijit kaki atau mengelus pelipis. Mungkin malam ini adalah puncak dari lelahnya berlari-larian di koridor rumah sakit. Dari ambulance ke ruangan UGD lalu bolak-balik menghubungi dokter spesialis. Seminggu ini, kasus kecelakaan sedang meningkat. Awalnya karena ada lubang besar di jalan utama yang belum juga diperbaiki. Bahkan sudah banyak aduan masyarakat maupun pengguna jalan yang melihat lubang itu semakin parah. Apalagi jika tidak segera dibenahi, entah apa yang akan terjadi kedepannya. Ada sekitar sepuluh kasus kecelakaan, dengan jumlah tiga kasus luka ringan dan tidak perlu dilarikan ke rumah sakit, ada enam kasus luka yang lumayan berat, dan satu kasus yang membuat pengemudi meninggal di tempat kejadian. Alhasil, semua kejadian kecelakaan tersebut melibatkan RS Permata Husada karena merupakan rumah sakit rujukan terbaik jikalau rumah sakit tujuan tidak memiliki alat yang memadahi. Dibuktikan dengan berdatangannya ambulance yang membawa korban kecelakaan. Dari luka ringan sampai berat dan membutuhkan penanganan dari dokter ahli atau spesialis. Belum lagi pasien diluar kecelakaan di jalan utama tersebut, beberapa kecelakaan juga terjadi setiap hari. Entah karena kebut-kebutan di jalan atau korban tabrak lari. Dan baru hari ini, tidak ada kecelakaan, yang datang ambulance-ambulance berisi siswa SMK yang menjadi korban pembacokan ketika tawuran. Ada sekitar lima belas siswa yang di bawa ke UGD dengan kondisi bermacam-macam. Karena rentetan kejadian selama seminggu ini, ruang UGD menjadi sibuk. Dokter maupun perawat yang berjaga di UGD pun bekerja lebih keras. Bahkan ada yang rela tidak pulang karena melihat rekan-rekan yang kewalahan menangani pasien. Ditambah lagi ada dokter-dokter koas yang dua minggu ini magang dan harus menghadapi lonjakan pasien sehingga diminta untuk tetap stay di rumah sakit. Alyn terkadang kasihan melihat mereka yang tidak tidur sama sekali. Harus pagi-pagi mem-follow up pasien sebelum dokter konsulen mereka datang dan malamnya berjaga di UGD. Kadang, untuk mengusir sepi atau menghalau rasa kantuk, mereka akan bercanda atau membicarakan kegiatan hari ini yang sangat luar biasa sibuknya. Alyn juga belum pulang, dia masih ingin bertahan di rumah sakit untuk menemani rekan-rekannya. Mereka juga sangat pengertian ketika dirinya kesusahan untuk menangani pasien. Mungkin, jika belum adanya kegiatan perbaikan jalan, Alyn akan meminta kepada atasan untuk menambahkan tim medis yang ditempatkan di UGD sebagai jaga-jaga, jika pasien melonjak drastis. Kondisi rumah sakit mulai sepi dan hening. Tukang bersih-bersih baru saja masuk ke ruangan UGD untuk membersihkan kekacauan di ruangan ini. Aroma darah dan obat menjadi satu. Sudah biasa, namun tetap saja membuat mereka mual, kadangkala. Di depannya ada dua orang laki-laki yang merupakan dokter koas. Kedua laki-laki itu sedang menselonjorkan kakinya lalu menghela napas panjang. Alyn tahu, mereka yang sangat aktif dan tanggap di ruangan UGD. Kadang jika ada teman mereka yang masih tidak kuat dengan kondisi UGD yang ramai, langsung diminta istirahat. Alyn kadang masih suka nostalgia ketika jamannya koas dulu. Namun, semua dokter yang setuju, jika masa koas itu menyenangkan tetapi tidak untuk diulang. Senang dan sedihnya menjadi anak koas begitu teringat dalam pikirannya. Kadang, jika ingin istirahat pun selalu tidak enak. Harus membantu ini dan itu padahal lelah sekali. Bukan berarti dokter senior itu jahat. Tetapi dokter koas biasanya yang menawarkan bantuan. Rasanya, tidak mungkin jika tuan rumah sedang sibuk, tetapi yang numpang diam saja tidak membantu. Mungkin seperti itulah gambaran sebagai dokter koas walaupun tidak terlalu jelas. Kadang, Alyn berpikir, mengapa masa sekolah dokter itu lama sekali. Bahkan membuatnya lelah. Namun, dokter tanpa belajar, pasti akan ketinggalan. "Dokter Ralyn, enggak pulang?" Tanya Naura—salah satu dokter koas yang duduk di depannya. Alyn hanya menggeleng, "nanti aja! Masih mau istirahat dulu. Kalian semua enggak mau ke kantin dulu? Makan atau istirahat biar badannya agak enakan." Naura tersenyum tipis, "enggak, Dok. Takut dilihatin sama perawat yang jaga." Alyn tertawa, kadang dia merasa lucu dengan jawaban mereka. Tetapi dia pun sama, dulu sangat takut dengan dokter atau perawat yang jaga di UGD. Padahal, mereka tidak sejahat yang dipikirkannya. "Dulu, saya juga sama seperti kalian. Takut dengan keadaan rumah sakit, lingkungannya, tugasnya, merasa tidak siap dengan segala konsekuensi yang ada di dalamnya." Curhat Alyn kepada Naura dan beberapa dokter koas yang kebetulan mendapatkan jadwal jaga malam ini. "Masa, Dokter Ralyn yang sempurna kaya gini bisa takut dengan dunia koas? Saya malah sering diceritain kalau Dokter Ralyn paling populer dan diandalkan teman-temannya. Saya benar-benar kagum lho sama Dokter Ralyn dan awalnya takut untuk menyapa duluan. Ternyata, Dokter baik banget dan sering ajak kami bicara." Jujur Naura dengan senyuman tipisnya. Alyn sedikit berpikir, "dunia koas enggak sekejam itu kok. Saya juga enggak sesempurna yang seringkali dibicarakan orang-orang. Pernah, saya pingsan waktu pertama kali masuk ke ruangan anatomi. Kalian pasti tahu 'kan rasanya bagaimana melihat mayat yang diawetkan lalu kita memegang satu-persatu organ tubuh mereka. Parah, saya sampai pingsan." Alyn tertawa sendiri jika teringat dengan kejadian itu. Bahkan karena kejadian itu, dia menyusahkan teman satu kelompoknya. "Terus apa yang Dokter lakukan untuk mengurangi rasa takut itu? Saya juga masih sering takut dan terbayang-bayang walaupun sudah beberapa kali melihat." Tanya Aya penasaran. "Saya selalu mencoba untuk berani walaupun akhirnya pingsan. Lalu saya coba lagi, sampai akhirnya saya cuma muntah-muntah dan enggak doyan makan jeroan sama sekali. Kalau ingat, saya jadi merasa lucu. Saya enggak doyan makan daging atau ayam, jadi cuma makan mi instan karena saking mualnya. Terus saya coba lagi dan akhirnya terbiasa juga. Jadi, ketakutan harus dihadapi apapun resikonya." Mereka tampak menikmati waktu bercerita bersama dengan Alyn. Awalnya mereka mengantuk dan lelah, namun setelah berbincang, semuanya hilang. "Intinya, jangan mudah menyerah. Harus saling support juga antar teman. Kalian pasti bisa, apalagi rumah sakit ini punya banyak sekali pengalaman dan nama besar yang harusnya membuat kalian merasa bangga. Bukan berarti saya meminta kalian untuk tinggi hati ya karena ditempatkan di rumah sakit ini, tapi saya berharap jika kalian memiliki pengalaman lebih dari menjadi koas di sini. Lihat 'kan, bagaimana sibuk dan capeknya kita hari ini. Bahkan kalian sampai enggak tidur sama sekali. Tapi inilah nikmatnya, pasien yang kalian rawat tadi bisa sembuh juga karena campur tangan kalian semua." "Harus bangga dengan diri sendiri dan tentunya wajib membanggakan kampus kalian. Mungkin ada yang merasa belum maksimal karena masih pusing atau mual ketika berada di ruwetnya ruangan UGD. Tapi semua bisa diolah dan dipelajari kok. Saya maklum sekali kalaupun kalian belum terbiasa, tapi dengan berjalannya waktu, kalian pasti langsung paham bagaimana cara menangani pasien yang baru datang. Perlu banyak belajar dan juga ketelatenan. Karena apa? Menyalurkan hal di dalam pikiran ke dalam perbuatan, itu susahnya bukan main." Mereka mengangguk setuju, seperti mendapat suntikan semangat dan motivasi dari senior yang mereka kagumi. Alyn memang tidak pernah pelit pengalaman dan seringkali membantu rekannya atau dokter koas yang magang di rumah sakit ini. "Diminum kopinya, sudah sampai dingin ternyata. Jangan bilang kalian semua menunggu saya minum ya, sampai tidak ada yang bergerak." Selidik Alyn menatap lima orang dokter koas yang tersenyum tipis. Memang, mereka menunggunya namun tidak merasa kesal. Karena Alyn sudah memberikan banyak pelajaran hidup yang jarang ditularkan oleh senior lainnya. ### Alyn baru saja turun dari mobilnya, berjalan dengan lesu namun tidak lupa menyapa pak tukang parkir dan pak satpam yang sudah stand by di posisi masing-masing. Wajah Alyn lumayan buruk hari ini, tidak ada make up atau keramas. Dia bangun kesiangan dan harus buru-buru mandi tanpa ritual yang biasanya dilakukan sebelum mandi. Matanya membentuk mata panda karena beberapa hari ini, tidurnya tidak teratur. Ingin sekali Alyn tertawa ketika mengatakan tentang tidur atau istirahat yang teratur. Tidak ada kata teratur semenjak dirinya memutuskan menjadi dokter. Dari awal masuk kuliah kedokteran, bukankah Alyn dibiasakan untuk tidak tidur karena mengerjakan tugas-tugas atau harus seharian full belajar di perpustakaan, berkutat dengan buku-buku tebal berbahasa asing pula. Harapan Alyn untuk hari ini adalah, pasien standar. Tidak ada lonjakan pasien kecelakaan lagi karena tubuh dan pikirannya sungguh-sungguh lelah. Tapi siapa yang tahu, baru beberapa detik bibirnya mingkem, sudah ada suara sirene ambulance yang terdengar nyaring. Perempuan itu sedikit berlari, menempelkan jarinya di finger print lalu masuk ke ruangan untuk bersiap-siap. Tidak menggunakan jeda istirahat sama sekali, Alyn ikut bergabung dengan tim medis lainnya. Lagi-lagi karena si lubang yang membuat satu pengendara sepeda motor jatuh dan lukanya lumayan parah. UGD yang tadinya sepi senyap, menjadi ramai karena kedatangan satu korban dari lubang itu. Setelah selesai penanganan dan pasien dipindahkan ke ruang rawat inap, Alyn menyandarkan tubuhnya di dinding, mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Perempuan itu menyeka keringat yang ada di dahinya lalu mengambil langkah untuk duduk di kursi panjang untuk menunggu. Badannya memang sedang tidak enak dan perutnya lapar. Mungkin, Alyn perlu menjaga tubuhnya juga. Dia terlalu sibuk dengan urusan rumah sakit sampai melupakan kesehatan. Apalagi semenjak diserahi tugas menjadi kepala rumah sakit, tugas dan waktu Alyn semakin banyak di rumah sakit. Untuk hari-hari ini, dia harus bolak-balik untuk koordinasi atau mungkin nanti akan meminta penambahan kuota tenaga medis di UGD karena banyak sekali pasien akhir-akhir ini. Alyn berjalan ke drink vending machines, minuman s**u lumayan untuk menyegarkan paginya yang semrawut. Perempuan itu duduk kembali di ruangan tunggu lalu menghabiskan susunya. Pasti akan sangat menyenangkan tidur di atas kasur sampai kantuknya hilang. Namun, ini belum masa liburnya. Terdengar beberapa dokter koas menyapanya ketika lewat. Mereka sedang sibuk berjalan dan membawa papan kayu berisi kertas-kertas penting hasil follow up pasien. Alyn hanya tersenyum tipis lalu kembali sibuk dengan minumannya. Baru saja ingin beranjak untuk kembali ke UGD, seseorang sudah berada di belakangnya. Alyn sedikit kaget namun menyembunyikan rasa kagetnya. Dimas benar, inilah akibat karena tidak mempublikasikan hubungannya dengan Regan. Sehingga, banyak laki-laki yang berharap padanya. "Kak Sandika," lirih Alyn ketika melihat Sandika berdiri dengan membawakan sebuket bunga mawar kembali. Laki-laki itu tersenyum, tatapannya yang tajam dengan wajah tampan sudah tidak asing lagi di rumah sakit. Laki-laki itu bisa setiap hari datang hanya untuk membawakan Alyn bunga, namun Alyn tidak pernah menyangka jika mereka akan bertemu secepat ini. Sungguh, Alyn tidak mau menolak laki-laki lagi, jadi bisakah hidupnya tenang sebentar saja tanpa gangguan laki-laki manapun? "Hai, aku datang pagi-pagi." Sapa Sandika senang. Alyn benar-benar tidak tahu mengapa senior secakep Sandika betah sekali menyukainya sejak jaman kuliah sampai sekarang. Padahal hubungan mereka tidak ada kemajuan sama sekali. "Oh, ada apa, Kak?" Tanya Alyn to the poin. Sandika tersenyum tipis, "kamu ada waktu enggak nanti malam? Maksud aku, kalau ada waktu ayo makan malam." "Hm, kalau itu sepertinya enggak bisa, Kak. UGD baru ramai-ramainya dan aku harus bantu-bantu." Alasan tepat! Itu pikiran Alyn. Ada hikmahnya juga UGD ramai, Alyn tidak perlu menolak dengan banyak alasan kuno. Kesibukan adalah hal yang pantas digunakan sebagai alasan. Itu kata Asmarandana dalam salah satu novelnya. "Gitu ya? Kalau aku yang datang kesini terus nunggu kamu untuk makan bareng gimana? Minimal makan bareng di kantin rumah sakit." Tawarnya lagi. Alyn sedikit berpikir, "oke, tapi aku enggak janji selesainya kapan, Kak. Soalnya kalau banyak yang perlu di tangani, aku kerjanya sampai malam. Makan bisa jam sebelas atau diatas itu." Terlihat keraguan di wajah Sandika. Diam-diam Alyn merasa menang karena melihat ekspresi wajah Sandika. "Ya udah enggak pa-pa." Jawabnya singkat. "Hah, maksudnya enggak pa-pa?" Tanya Alyn dengan bingung. "Enggak pa-pa nungguin kamu. Aku bisa kok pulang larut malam, besok aku libur juga. Enggak ada salahnya meluangkan waktu untuk makan bareng kamu." Alyn mendadak diam, rencananya bukan begini. Harusnya Sandika menyerah saja. Sayang sekali, tapi laki-laki itu sudah memutuskan untuk menunggu. Matilah dia! "Ah, iya!" Jawab Alyn kikuk namun sedikit kesal. Mengapa Sandika tidak bisa membaca eskpresi wajahnya yang meminta untuk pergi saja. Jahat? Tentu saja Alyn jahat, tapi dia benar-benar tidak suka. Ternyata masih ada sebagian dirinya yang tidak bisa hilang. Rasa tidak enakan yang selalu membuatnya diam. "Kalau gitu, aku berangkat ke kantor dulu. Oh iya, ini aku bawa bunga buat kamu dan ini ada makanan untuk sarapan. Siapa tahu kamu belum makan." Sandika menyerahkan buket bunga dan sebuah plastik bening berisi makanan yang diwadahi dalam tempat makan. Alyn tersenyum kikuk, "makasih, Kak." Terjebak lagi, seharusnya tidak begini 'kan? Dia sudah punya Regan. Tetapi, dia tidak bisa menolaknya. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN