1. TENTANG NOVEL MENEPI

1945 Kata
Tatapan kagum dan memuja selalu diperlihatkan kepada seorang Alyn yang saat ini tengah duduk di depan para audience untuk memberikan beberapa tips kuliah kedokteran dan bagaimana bisa menjadi dokter atau kepala UGD di RS Permata Husada. Alyn memang diundang ke salah satu stasiun televisi swasta untuk ikut berbagi pengalamannya tentang dunia kedokteran. Bahkan wajah cantiknya tidak asing lagi dilihat di layar kaca semenjak bukunya booming di toko buku Indonesia. Mereka kagum sekaligus merasa sangat iri karena seorang dokter yang sibuk bisa menyempatkan membuat karya yang langsung digandrungi pembaca. Walaupun begitu, Alyn hanya menganggap semua itu sebagai keberuntungan semata. Tanpa mereka ketahui, kisah dalam novel itu sudah ditulisnya sejak lama sekali. Sekitar sepuluh tahun yang lalu. Namun, baru lima bulan lalu Alyn memutuskan untuk merevisi naskahnya dan akhirnya dilirik oleh penerbit. Seperti biasa, semua itu akan cepat booming jika sang penulis sering dilihat atau dikenal oleh publik. Rambut sebahunya tampak indah dengan tatanan bergelombang dan wajahnya yang cantik dengan make up tipis. Senyuman yang tidak pernah hilang dari wajahnya. Alyn seperti bintang yang begitu bersinar untuk para penonton siang hari ini. Terus terang, selain karena kecantikannya, perempuan itu juga sangat luwes dalam berbicara maupun bergaul. Mungkin, jika tukang bully jaman SMA dulu melihatnya, entah apa yang akan mereka lakukan. Mungkin saja bersembunyi karena saking malunya atau tidak menonton acara televisi itu sama sekali. Jujur saja, Alyn tidak terlalu mengingat wajah-wajah orang yang pernah menyakitinya, karena Alyn terlalu fokus mengenang satu laki-laki yang sampai detik ini belum diketahui keberadaannya. Semenjak lulus SMA, Alyn pergi ke luar kota untuk kuliah setelah lolos dan masuk ke universitas ternama. Uang hasil warisan orang tuanya pun menjadi pegangan melanjutkan kuliahnya yang mahalnya tidak ketulungan. Beberapa kali masuk nominasi mahasiswa tercerdas di angkatannya, membuat Alyn sering mendapatkan beasiswa. Tidak hanya itu, perempuan kumel yang tidak tahu dandan itu mulai menjaga tubuhnya, sering merawat diri, menggunakan make up tipis, mengikuti banyak kegiatan kampus yang tidak pernah Alyn bayangkan sama sekali. Perempuan itu masuk jajaran mahasiswa BEM, walaupun tanpa pengetahuan sama sekali. Waktu itu, Alyn kesulitan untuk bersosialisasi. Namun, karena teman yang banyak dan baik-baik akhirnya Alyn berubah menjadi Alyn yang sekarang. Menjadi orang yang berani untuk mengambil keputusan, memperluas pertemanan, dan berpikir maju. Kini, semua itu tampak di depan mata. Hasil dari perubahannya ke arah yang lebih baik lagi. Seperti yang pernah Genta katakan kepadanya, dulu. Mungkin, Genta akan kaget atau heran ketika mereka bertemu nanti. Tapi, apakah bisa? Alyn berharap, dengan hadirnya dia di televisi seperti ini, bukan tidak mungkin Genta bisa menemukannya. Iya 'kan? Perempuan itu masih fokus dengan pertanyaan host seputar karir atau perjuangannya menjadi dokter saat ini. Namun, ada yang membuatnya begitu tertarik ketika pertanyaan ini diajukan. "Dokter Ralyn, katanya Dokter juga menulis novel remaja yang langsung booming dalam kurun waktu sebulan. Nah, yang pasti bikin kita semuanya penasaran adalah gimana seorang dokter yang sibuk bisa membagi waktunya untuk menulis novel yang luar biasa seperti novel Menepi." Tanya host perempuan dengan kacamata besarnya. Alyn hanya tersenyum, "mungkin sedikit membingungkan kenapa saya bisa membagi waktu saya untuk menulis sedangkan seharian penuh saya berada di rumah sakit. Bahkan ada beberapa pembaca yang sempat bertanya kepada saya via DM atau laman komentar yang ada di sosial media saya. Jadi, saya akan langsung menjawabnya di sini." "Wah, berarti ini akan menjadi wawancara ekslusif bersama Dokter Ralyn, dong? Jadi, untuk kalian yang mau tahu tentang Dokter Ralyn bisa menyaksikan acara ini atau langsung meluncur ke YouTube kita." Promosi sang host yang menggebu-gebu. "Jadi, awalnya saya enggak pernah kepikiran mau menerbitkan buku ini sih. Karena sebenarnya ini cerita yang saya tulis sepuluh tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Tulisan dan bahasanya bahkan masih kasar, jadi enggak pernah bisa berharap untuk menerbitkan buku seperti penulis lainnya." "Nah, kemarin ada teman kuliah yang kebetulan kerja jadi editor di salah satu penerbit besar. Saya langsung kepikiran sama naskah cerita saya, waktu itu saya cuma minta untuk di editkan KBBI aja untuk dicetak sendiri buat kenang-kenangan. Eh, setelah naskah selesai dikerjain sama teman, saya dapat panggilan dari penerbit dia. Ceritanya, dia yang mengajukan naskah saya dan katanya naskah itu beda sama cerita lainnya. Gitu deh!" Alyn tersenyum sendiri mengingat kejadian itu, bagaimana sebuah keberuntungan yang sangat besar menghampirinya. Sebenarnya, Alyn tidak ingin membuka lembaran kisah lamanya bersama dengan Genta. Namun, kisah itu perlu diabadikan untuknya sendiri. Setidaknya sebagai koleksi untuknya. Terdengar tepuk tangan penonton yang merasa kagum dengan Alyn. Perempuan itu tersenyum, dirinya pun tidak tahu daripada mendapat keberuntungan sebesar ini. Menjadi Alyn yang kuat saja sudah sebuah kemajuan yang sangat besar. "Menarik sekali ya. Gini Dok, katanya nih, baru katanya, novel Menepi ini bakalan di film-kan. Benar atau tidak kabar ini? Kalau memang benar 'kan pasti menjadi kabar yang sangat bagus untuk pecinta novel, Dokter." Tanya sang host yang sangat antusias. Alyn sedikit berpikir, mencoba untuk mencari jawaban yang pas agar tidak salah bicara. Perempuan itu menatap penonton yang seperti menunggu jawabannya. Pasalnya, kabar novel Menepi akan di film-kan sudah santer dikabarkan. Bahkan novel itu sudah digadang-gadang akan memakan banyak tempat di hati penggemar novel maupun film remaja. Perempuan itu menarik napas panjang, "sebenarnya banyak banget yang tanya tentang film Menepi yang banyak dikabarkan. Tapi saya juga belum bisa mengiyakan tentang kabar tersebut. Intinya, kita tunggu aja dulu." Penonton mengangguk, mungkin tidak tahu seberapa sulitnya Alyn menjawab pertanyaan itu. Selama beberapa hari ini Alyn merasa sangat gelisah dengan tawaran tersebut. Bukan karena dia tidak ingin ada film yang diadaptasi dari novelnya. Tetapi, dia perlu meminta ijin Genta. Semua siswa SMA Garuda Sakti pada angkatan yang sama akan langsung bisa menyimpulkan siapa pemeran dalam film itu nantinya. Bisa saja 'kan, Genta tidak suka. Alyn juga merasa lancang karena membuat kisah mereka ke dalam novel. Bahkan mendapatkan royalti yang lumayan besar selama ini. Sebenarnya, salah satu motivasi Alyn menerbitkan bukunya adalah untuk menemukan Genta. Siapa tahu, laki-laki itu akan menemukannya. Rasanya wawancara yang membahas novelnya hanya akan terus membuat Alyn mengingat nama Genta. Tidak ada yang benar-benar bisa membuat seorang Ralyna melupakan sosok laki-laki dengan senyuman menawan itu. Andaikan waktu bisa diputar ulang, Alyn akan mempertahankan Genta apapun alasannya. Jika bisa, dia ingin menghentikan sesi wawancara tentang novelnya. Alyn lebih suka berbagi pengalamannya tentang dunia kedokteran daripada harus membongkar novel Menepi yang membuatnya selalu teringat pada sosok 'Danu' atau Genta jika nama aslinya disebutkan. Mungkin, Alyn sedikit menyesal karena mempublikasikan karyanya pada media. Padahal buku itu adalah hadiah ulang tahun untuk Genta. Ah, Alyn menyesal dan sangat merasa bodoh. Harapannya, wawancara ini segera berakhir. ### Aroma cokelat panas menyeruak di indera penciumannya. Alyn baru saja duduk di salah satu cafe yang tidak terlalu jauh dari studio tempatnya wawancara tadi. Untunglah durasi waktu wawancara telah berakhir, sehingga Alyn tidak perlu berkilah untuk meninggalkan studio atau tidak menjawab pertanyaan seputar apakah novel itu nyata atau hanya bagian imajinasinya saja. Perempuan itu merapatkan jaketnya agar kulitnya terlindungi dari rasa dinginnya Air Conditioner yang menunjukkan angka 16° Celcius. Jemarinya yang lentik mengambil cangkir yang ada di atas meja lalu menyeruput isinya dengan perlahan. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan malam, waktu yang tepat untuk pulang dan segera merebahkan dirinya. Sayangnya, Alyn masih betah duduk sendirian di cafe ini. Suasana yang ditawarkan cafe ini sangat menenangkan, sehinggal Alyn bisa menghabiskan waktunya untuk merenung sendirian. Walaupun sudah banyak berubah dan memiliki banyak teman, Alyn masih sering meratap sendirian. Mungkin, waktu sendirian adalah hal yang sangat menyenangkan. Mengingat, dulu dirinya adalah orang yang sangat mencintai keheningan. Sampai akhirnya Genta hadir dalam hidupnya dan membuat semuanya tampak bewarna. Jika mengingat kembali kenangan itu, Alyn sangat sedih. Bagaimana bisa dia memutus hubungan mereka dengan seenak hatinya. Harusnya dia melakukan hal yang sama ketika Genta mendekati dirinya. Karena cemburu kepada Indira, Alyn merasa kehilangan segalanya. Semua itu termasuk Genta—orang yang sangat dicintainya. "Mbak artis," ledek seorang laki-laki yang baru saja masuk ke cafe itu dan mengambil duduk di depan Alyn. Perempuan itu tersadar dari lamunannya dan menatap Dimas yang tengah menyeruput cokelat panasnya yang mulai dingin. "Dingin, enggak enak! Aku mau pesan, mau dipesenin enggak?" Tanyanya seraya beranjak. Alyn menggeleng, "enggak!" "Dasar galak!" Ketus Dimas yang berjalan menuju meja kasir untuk memesan minumannya. Alyn tersenyum kecil, tidak pernah menyangka jika Dimas akan awet berteman dengannya. Bahkan sampai saat ini. Jujur, Dimas pernah bilang suka padanya, namun Alyn menolak menerima cintanya. Dimas memang laki-laki yang baik, tetapi Alyn tidak bisa mengalihkan perasaannya dari Genta. Lagipula, ada Regan yang selama ini menjadi fokus utamanya. Mungkin, karena Regan yang menemaninya sejak awal. Atau, karena Alyn tidak enakan sehingga bertahan. Tidak berapa lama Dimas datang dengan membawa dua kopi, satu es kopi dan satunya kopi panas. Alyn tidak terlalu suka minuman dingin. Mungkin, untuk beberapa tahun belakangan ini. "Gimana syutingnya? Ditanya soal novel yang mau di film-kan, ya?" Tebak Dimas yang sibuk mengelap ujung bibirnya dengan tisu. Alyn mengangguk, "tahu dari mana? Lama-lama kamu serem, tahu apa yang aku pikirin." Dimas sedikit berpikir, "mukamu menjelaskan semuanya! Oh iya, aku datang kesini sebenarnya mau curhat, Lyn." "Soal?" Tanya Alyn sambil mengaduk kopinya. "Ada 'kan teman satu kantorku yang kayanya naksir gitu sama aku. Dia sering ngelihatin aku, senyum sama aku, terus malu-malu kalau ketemu sama aku. Sebenarnya dia baru aja kerja di kantor dan sering banget kerja bareng sama aku. Menurut kamu gimana?" "Yang teman kantor satunya lagi? Yang katanya sering kirim pesan? Terus yang bawain makanan?" Tanya Alyn yang hanya mendapat wajah bingung dari Dimas. "Udah enggak ada rasa," lanjut Dimas jujur. Alyn menghela napas panjang, "aku enggak paham deh, baru kemarin banget kamu cerita soal perempuan yang bawain makanan setiap hari. Sekarang udah pindah hati aja. Gini deh, kamu mantab-in hati kamu dulu. Lebih suka sama siapa. Nah, baru ambil keputusan mau sama siapa. Jangan mau dua-duanya, nanti kena karma terus jomblonya lama, mau?" "Bentar, kalimat terakhir itu lagi ngomongin diri sendiri apa gimana?" Sindir Dimas. Alyn mengerucutkan bibirnya kesal, perempuan itu diam cukup lama. "Gitu aja ngambek," "Hm," Drt... Drt... Drt... "Regan?" Tanya Dimas menatap ponsel Alyn yang menampakkan nama 'Regan' di sana. Alyn beranjak, mengambil ponselnya lalu mengangkat telepon dari Regan. Tidak lama kemudian, Alyn kembali duduk di depan Dimas. "Mau balik dia?" Tanya Dimas penasaran. Alyn mengangguk, "bulan depan mau balik katanya. Adil enggak sih Dim buat Kak Regan? Selama ini aku keterlaluan 'kan?" "Iya, sih. Keterlaluan banget malah, Lyn. Regan itu kelihatan bucin banget sama kamu, makanya dia rela banget nunggu kamu selama ini. Apa enggak ada perasaan sedikitpun buat Regan selama ini? Kamu pacaran sama dia, menyembunyikan hubungan yang hampir lima tahun dari orang-orang, masa kamu enggak pernah sedikit aja punya perasaan sama dia," Alyn menghela napas berat, "kalau memang bisa, aku pasti akan suka sama Kak Regan. Tapi rasanya aku masih kebayang-bayang Genta terus. Dim, aku memang egois, bahkan mempertaruhkan hubunganku sendiri. Tapi, aku cuma berusaha memastikan aja." "Memastikan apa? Memastikan kalau kamu sebenarnya masih suka sama laki-laki itu?" Skakmat. Alyn diam, sebagian dirinya mengiyakan ucapan Dimas. "Ralyn, aku bilang apa sama kamu, move on. Aku kira, dulu kamu nolak aku karena ada Regan. Ternyata ada yang lebih enggak pasti dari Regan. Aku enggak mau menghakimi kamu, Lyn. Tapi, belajar dari pengalaman. Kalau kamu seenaknya, Regan juga bisa pergi kaya Genta." Nasehat Dimas. "Kamu tahu enggak, umur Regan sudah lewat 30 tahun. Aku yakin kalau keluarganya bakalan tanya tentang siapa pacarnya sekarang. Memangnya kamu enggak kasihan sama dia? Kamu boleh banget kok masih sedikit suka sama orang di masa lalu kamu. Tapi Lyn, kamu harus pintar memilih. Mana yang nyata dan mana yang ilusi aja. Lama-lama, aku lihatnya kamu terobsesi doang sama Genta. Bukan cinta!" "Karena cinta itu terkadang harus melepaskan, tidak memaksa untuk saling berdekatan." Alyn diam seribu bahasa. Menatap gelasnya yang masih penuh. Selalu saja seperti ini. Apakah Alyn harus melupakan Genta seperti yang Dimas katakan? "Kamu udah janji mau bantuin aku cari Genta untuk film itu," protes Alyn. Dimas mengangguk, "iya, tapi setelah menemukan jalan buntu, berhenti. Pikirin hubungan kamu sama Regan juga. Jangan asal ambil keputusan yang membuat kamu sama menyesalnya waktu kehilangan laki-laki itu!" Benar, Alyn juga harus memikirkan perasaan Regan. ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN