bc

CLBK with Mas Duda

book_age18+
525
IKUTI
10.5K
BACA
HE
arranged marriage
blue collar
drama
bxg
office/work place
love at the first sight
like
intro-logo
Uraian

Entah apa maksudnya takdir ketika menciptakan rasa cinta namun tak terbalaskan. Dan, entah apa maksudnya juga saat rasa cinta itu tak kunjung hilang, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya berpisah tanpa adanya komunikasi.

Cinta memang rumit, sangat rumit. Dan, hanya orang-orang dewasa yang pasti paham betul bagaimana seharusnya cinta itu.

Anye pernah jatuh cinta pada sosok Adimas, bahkan sampai kini pun perasaan nya masih sama untuk pria itu. Meskipun sudah ditinggal menikah, perasaannya tak jua pudar. Bahkan terus membesar. Ditambah tanpa sengaja tiba-tiba mereka bertemu di acara reuni yang sebelumnya tak pernah dia ikut kunjungi.

Tapi, mungkin ini yang namanya takdir.

Bertemu lagi dengan Adimas, cinta masa lalunya kemudian dikejutkan lagi dengan fakta bahwasannya pria itu sudah jadi duda.

Yes, duda! Duda tampan rupawan yang berkharisma.

Dan, lagi-lagi kejutan diberikan takdir untuk Anye saat tiba-tiba dirinya satu kantor dan dijodohkan dengan seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Adimas, si duda tampan itu.

Lalu, bagaimana kah kisah mereka selanjutnya? Jadi ke pernikahan atau hanya jadi angan-angan saja? Ya, cerita mereka belum usai, namun baru dimulai.

“Oh... Ternyata ini rasanya CLBK, sama mas duda.”

chap-preview
Pratinjau gratis
Episode 1
"Ikut kan, Nye acara reunian nanti? Please lah, ikut... Lo gak pernah ikut loh acara kek gini. Gak kangen apa sama teman-teman. Please lah..." Anye Geraldine Mutiara, perempuan yang tak banyak bicara itu hanya diam saja, belum merespon apa yang diucapkan Nadin Eka Putri, teman sekaligus rekan kerjanya, perempuan pemilik rambut bondol. "Gak tahu, Din." Nadin mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban Anye, dia menarik kursinya mendekat pada kursi Anye. "Nye, masa lo ikut lagi sih? Please deh, kalau acara ini kita lakuin setahun atau dua tahun sejak perpisahan sekolah kita, okey... gue maklumin, wajar kalau lo gak ikut. Tapi, ini udah 7 tahun loh kita pisah sama teman-teman. Masa lo gak mau ketemu mereka lagi sih, gak kangen apa?" Anye mengambil map yang isinya berkas yang harus dia input, membukanya untuk mencari bagian mana yang harus dia lanjutkan. "Ya, buat apa sih, Din? Toh, kita juga ketemu teman-teman kita kan. Apanya yang harus dikangenin? Tiap weekend kita ketemu." Nadin gemas dengan Anye, selalu saja menjawab. "Anye... Iya, gue tahu lo orangnya kurang bergaul, gue juga tahu lo gak banyak teman, teman lo cuma itu-itu doang. Tapi, please lah... Masa hidup lo gitu-gitu terus sih? Sosialisasi, Nye, sosialisasi. Ikut, ya?" Anye menghela napas kasar, dia memutar bola matanya. "Acara reunian kek gitu tuh, buat apa coba?" Anye menatap Nadin, menaikkan kedua alisnya. "Buat pamer-pamer doang, buat nunjukin diri kalau mereka tuh udah sukses. Tck, gak banget deh." "Ya Allah, Nye... Lo tuh mikirnya negatif mulu sih! Pikirin hal positifnya nya, Nye! Pikirin!" Anye tak menanggapi. "Lo bisa ketemu teman-teman yang lain, menyambung silaturahmi lagi sama mereka. Siapa tahu dari mereka ada yang bisa kita ajak kerjasama, Nye, kita punya tambahan relasi jadinya." Anye mengedikkan bahunya, dia benar-benar tak tertarik. Nadin menatap jengah Anye yang susah sekali dibujuk. Oke, dia akan mengeluarkan jurus terakhirnya. "Adimas juga ada, dia datang kali ini." Dan, seketika ketikan tangan Anye di atas keyboard terhenti saat satu nama itu terucap. Nama yang sama yang memberikan efek sama pula pada dirinya, jantungnya jadi berdebar tak karuan. Ternyata, 7 tahun berlalu tanpa komunikasi apapun dan hanya mendengar namanya saja masih memberikan debaran yang sama. *** Nadin menghentikan mobil yang dia kendari didepan salah satu resto yang telah di booking oleh teman-teman SMA nya untuk acara reuni yang diadakan untuk ke tiga kalinya. Dia datang dengan dress code yang sudah ditentukan, yaitu show your vibes. Dan, kali ini dia datang dengan dress— "Turun, yuk, Nye!" Anye yang duduk di samping Nadin tersentak seketika, dia tengah menyesuaikan diri juga tengah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan teman-teman semasa sekolahnya. Ini adalah reuni pertama yang dia datangi sebab di beberapa kesempatan dia memilih untuk tak datang. Alasannya? Ada. Kali ini Anye datang dengan dress hitam sepanjang betisnya dengan kerah berwarna putih gading yang menunjukkan tulang selangka lehernya, flat shoes dan sling bag yang senada, rambutnya dia biarkan terurai ditambah make-up natural yang lebih menonjolkan bagian matanya. Sederhana namun benar-benar menawan penampilannya kali ini. "Kayaknya gak jadi deh, Din. Gue pulang aja lah." Pergerakan tangan Nadin yang tengah melepaskan seatbelt terhenti, seketika menatap Anye yang berucap demikian. "What?" pekik Nadin, dia menggeleng cepat. "Gak boleh! Apaan sih, orang kita baru juga nyampe. Enggak, enggak, kita turun sekarang!" "Tapi, Din—" Anye menahan lengan Nadin, tak membiarkan perempuan itu turun. "Apa?" tanya Nadin sewot, dia menaikkan kedua alisnya. "Takut ketemu Adimas?" Nadin berdecak melihat diamnya Anye, dia menghela napas kasar. "Nye... Kalau lo takut terus nanti kedepannya gimana? Udahlah, Nye. Jangan takut. Lagian, ini udah 7 tahun dan gue rasa seharusnya ketakutan lo itu hilang. Toh, sebenarnya gak ada yang perlu ditakutin dari Adimas. Kalian gak kenapa-napa sebelumnya juga." Apa yang diucapkan Nadin, ada benarnya. Namun, ketakutan yang Anye rasakan mengalahkan kebenaran itu. "Gue gak siap." "Kalau lo gak siap, lo gak akan ada disini sama gue sekarang. Kemarin, lo ngeiyain ajakan gue kesini aja itu artinya lo udah siap." Anye menghela napas kembali. "Yaudah, oke." Nadin tersenyum lebar, "Gitu dong. Yuk!" Mereka keluar dari mobil, melangkah masuk ke resto menuju tempat berkumpulnya. Suara hiruk-pikuk orang-orang langsung terdengar, gelak tawa pun tak bisa disembunyikan. "Nad, gue ke toilet dulu, ya. Lo duluan aja." "Hah?" Nadin mengerutkan keningnya, dia memicingkan matanya. "Lo gak berniat kabur kan?" "Enggak lah. Udah, sana..." "Awas aja, ya kalau lo kabur. Gue bakalan ngambek pokoknya." "Iya, iya, sana!" Nadin masuk menuju tempat berkumpul, sedangkan Anye berbelok menuju toilet. Di toilet sendiri Anye tak melakukan apapun, hanya diam menatap pantulan dirinya di cermin. "Ya ampun... Padahal mau ketemu teman doang, tapi deg-degannya minta ampun." Anye menghela napas kasar, memang selalu seperti ini saat akan dihadapkan dengan banyak orang. Anye ini termasuk orang introvert, tak terlalu mau bertemu banyak orang. Bukan karena sombong atau apa. Hanya saja, ya, seperti ini, dia selalu merasa napasnya seakan tertahan, bahkan suara dari mulutnya seakan tak mau keluar. Dia bisa bertemu banyak orang, bisa, hanya saja nantinya dia akan butuh banyak waktu untuk mengembalikan energinya yang terasa terkuras. Lalu, bagaimana dengan pekerjaan? Dia harus profesional, dia lakukan pekerjaannya sesuai dengan apa yang sudah ditentukan. Beruntung, bagian pekerjaan Anye tak mengharuskannya bertemu banyak orang. Setelah beberapa saat, Anye memutuskan untuk keluar. Sudah terlalu lama sepertinya. Namun baru saja dia keluar, hendak kembali melangkah langkahnya kembali terhenti. "Anye?" "Dimas?" Flashback On~ Dua remaja berseragam olahraga SMA tersebut berhenti di salah satu minimarket. Gadis itu turun lebih dulu membuat si pemuda mau tak mau juga ikut turun. Mereka beriringan masuk ke minimarket tersebut. Anye dan Adimas, mereka lah remaja SMA itu. "Mau minum apa, Dim?" tanya Anye, mereka sudah berdiri dihadapan jejeran minuman yang terpajang didalam showcase. "Teh aja boleh," "Oke." Anye mengambil dua botol minuman teh, dia menatap Adimas sekarang. "Mau beli apa lagi?" "Udah, itu aja." "Yaudah, yuk!" Anye berjalan lebih dulu. "Gue yang bayarin, ya, Dim. Gak boleh ditolak, itu sebagai ucapan terimakasih gue karena lo udah mau anterin gue." "Yaudah." Anye sudah membayar minuman mereka, kemudian hendak keluar dari minimarket tersebut. Namun, baru saja mereka keluar hujan deras sudah mengguyur. "Hujan, Nye." "Tahu." "Terus, gimana?" "Gak bawa jas hujan?" "Enggak." "Yaudah, nungguin reda aja. Yuk, masuk lagi! Nunggu didalam." ucap Anye sambil berjalan masuk minimarket kembali, disini disediakan tempat duduk untuk pengunjung, dia duduk di sana dengan Adimas yang duduk disampingnya. "Masih lama, Nye magribnya juga. Semoga aja hujannya reda sebelum magrib." "Iya, biasanya hujan emang reda kalau mau jam salat tuh. Bentar lagi juga reda kok." Adimas mengangguk, "Gue minum, ya, Nye minumannya." ucap Adimas sambil membuka tutup botol minuman nya yang masih tersegel. Anye mengangguk, ikut membuka minumannya juga. "Lapar, gak sih, Nye?" "Gak terlalu sih. Kenapa? Mau makan sesuatu?" Adimas mengedarkan pandangannya, "Beli makanan kali, ya, Nye?" "Beli mie, yuk!" "Ayo!" Mereka beranjak kembali, berjalan ke deretan mie instan. Mengambil 2 cup mie instan, pilus dan kerupuk, tak lupa sosis mini isi 4 potong dalam satu bungkus. Mereka membayar belanjaan tersebut, lalu mulai menyeduh mienya dan setelah selesai kembali ke tempat semula. "Enak banget. Hujan-hujan, dingin, makan mie, beuh... Rasa mienya jadi berkali-kali lipat enaknya." Anye terkekeh, dari tadi Adimas tak henti bicara. "Berkat lo gue jadi makan mie, Nye." Anye menoleh, menaikkan sebelah alisnya. "Kadang gak pengen makan mie, gak berselera. Tapi, karena lo yang ngajak, jadinya gue iyain deh. Udah lama juga gak makan mie dan bener aja, enak banget rasanya." Anye mengulum senyumnya, "Bisa aja." Mereka kembali menikmati makanannya, kali ini Adimas tak terlalu banyak bicara namun netranya tak henti menatap Anye. Tanpa polesan make-up, wajah lelah, mata sayu dan bibir sedikit memerah karena pedas juga panas dari mie yang tengah dinikmati, Anye terlihat cantik luar biasa. "Nye," Anye berdehem saja, dia menyeruput kuah mie pedasnya. "Lo lagi dekat sama cowok?" Anye memutar kepalanya menghadap Adimas, mengerutkan keningnya. "Hah?" "Pacaran, yuk, Nye!" Flashback Off~ *** "Cie... Bisa kebetulan gitu, ya. Ih, jujur aja kali kalian tuh barengan kan kesini, ya." Anye menatap Adimas di hadapannya, melirik Nadin yang mengedikkan bahu saja. Sedangkan, teman-temannya yang lain tak henti menggoda Anye dan Adimas yang kedapatan datang bersamaan. "Iya, kita emang bareng. Tapi dari toilet. Kebetulan ketemu di sana." jawab Adimas dengan senyuman, dia menatap Anye. "Iya, kan, Nye?" Anye mengangguk, "Iya, kebetulan aja ketemu tadi." "Eh, tapi seriusan deh. Tahun-tahun sebelumnya kan kalian gak pernah ikut. Kok bisa sih tiba-tiba sekarang kalian ikut?" "Lah, emangnya kalian gak pada tahu kalau... eh, Dim, lo aja deh yang kasih tahu. Gak enak gue, sorry, ya." Senyum yang tadi muncul dibibir Adimas, hilang seketika tergantikan dengan raut wajah sedih karena mengingat hal ini. "Iya, tahun pertama gue ikut dan tahun berikutnya gak ikut karena istri gue meninggal setelah lahiran anak pertama kita." jelas Adimas yang sontak saja mengejutkan semuanya yang memang tak tahu mengenai kematian istri Adimas. Tak terkecuali Anye. Dia memang jarang update kehidupan Adimas, lebih tepatnya tak ingin terus menyakiti diri, jadi berita ini benar-benar dia tak tahu. Jadi, Adimas sekarang duda, begitu? "Nye! Woy! Malah bengong." Anye tersentak, dia tengah bergelut dengan pikirannya yang tiba-tiba penuh saat tahu fakta status Adimas yang terbaru. "Sorry, jadi kenapa?" "Ih, lo malah bengong. Jadi, kenapa lo gak ikut kumpul pas tahun-tahun sebelumnya." "Oh... Itu, gue lagi banyak kerjaan, gak bisa ditinggal. Jadi, gak bisa ikut deh." jawab Anye, dia sudah mempersiapkan jawaban karena yakin pasti pertanyaan itu akan terlontarkan kepadanya. "Oh... terus, gimana, Nye sekarang? Masih jomblo?" *** "Lo tahu, Nad kalau istri Adimas meninggal?" Nadin melirik sekilas Anye, dia mengangguk pelan. "Tapi, baru tahu akhir-akhir ini. Kan di grup pernah ada yang kasih tahu juga." "Kok gue gak tahu, ya, Nad." "Lo sih gak pernah cek grup, makanya cek dong." "Lo juga gak kasih tahu. Berarti udah lama?" "Udah kayaknya, ya... sekitar 3 tahun yang lalu kali." "Udah lama juga." "Iya, udah lama. Gue niatnya mau kasih tahu lo, cuma lo kan selalu gak pernah mau lanjutin obrolan kita kalau gue berniat ngebahas Dimas." Anye terdiam, iya memang itu keinginannya. "Terus, sekarang gimana, Nye?" Anye menoleh, mengerutkan keningnya. "Gimana apanya?" tanya Anye bingung, dia tak mengerti maksudnya. "Istri Adimas udah meninggal, 3 tahun yang lalu dan kayaknya sampai sekarang belum ada pengganti nya deh. Gue—" "Lo pikir gue harus gantiin almarhumah istrinya gitu?" potong Anye cepat, dia menggeleng tak percaya. "Gila sih. Gue gak se tergila-gila itu kali." "Bukan gitu maksud gue, Nye. Cuma, apa, ya? Ini tuh kayak takdir aja gak sih. Mungkin emang takdir tuh sebenarnya mau kalau lo sama Dimas itu bersatu, kayak apa yang seharusnya dulu terjadi. Cuma, ya, gini aja jalannya." Anye diam saja, tak menanggapi apapun perspektif yang muncul dibenak Nadin. "Kalau misalnya Dimas ajak lo married, gimana, Nye?" "Gak mungkin." Nadin tersenyum mendengar jawaban Anye, ternyata sudah bertahun-tahun berlalu pun perasaan sahabatnya masih sama. "Gue berdoa yang terbaik aja buat lo, Nye. Kalau emang Dimas jodoh lo, semoga dia yang terbaik dan semoga kalian bahagia. Karena gue mau lihat lo bahagia, Nye." Entah kenapa, Anye justru mengaminkan itu semua dalam hatinya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.9K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook