Chapter 3 : Kemunculannya

1075 Kata
Beberapa menit kemudian, akhirnya perdebatan itu dimenangkan oleh Lavender. Sungguh, ternyata dia cukup pintar dalam mengelabui ayahnya sendiri. Saat ini, kami tengah berada di dalam kamar Lavender. Temboknya berwarna ungu cerah, perabotan yang dimilikinya tidak terlalu banyak sehingga kamar ini terlihat lebih luas menurutku. Lantainya pun terbuat dari kayu jati sehingga ketika kami menginjaknya menimbulkan suara berderik. Bella menenggelamkan tubuhnya di selimut. Sementara itu, Diana tengah berdiri di ambang jendela menikmati keindahan rumah dalam hutan ini. "Mengapa kau tinggal di tempat sepi seperti ini?" tanya Bella tanpa bentakkan seperti biasanya. "Itu bukan urusanmu!" jawab Lavender sambil merapikan rambutnya di cermin. "Kalau saja ini bukan di rumahmu, akan kucengkram bibirmu sampai keram!" bisik Bella membuat Lavender yang mendengarnya memanas. "Jika itu sampai terjadi, maka perang dunia ketiga akan dimulai!" jawaban Lavender membuat Bella naik darah. "Lavender?" Aku bertanya padanya dengan wajah serius. "Mana ruangan yang kau bicarakan saat itu?" Lavender menyeringai mendengarnya. "Hahaha, Biola. Rupanya kau sangat penasaran ya?" Aku sedikit jengkel mendengarnya. bukannya dijawab, malah tertawa-tawa. "Oke. Oke. Tunggu sebentar!" Lavender kembali merapikan rambutnya. Aku paling benci menunggu. Kuharap dia tidak membohongiku. "Ruangan apa yang kau maksud, Biola?" Diana bertanya padaku, membuatku bingung harus menjawab apa. "Sebuah ruangan khusus untuk kalian yang ingin memasuki Negeri Dongeng," Tiba-tiba Lavender langsung menjawab pertanyaan Diana tanpa memberikanku celah untuk berbicara. "Jika kalian menganggapku gila silakan, tapi jangan menyesal jika yang kukatakan itu berdasarkan realita." "APA!? NEGERI DONGENG!?" Bella langsung terlonjak dari kasur dan berdiri menatap Lavender. "Maksudmu, Kita akan memasuki Negeri Dongeng? Hey! Apakah aku tidak salah dengar?!" Oh s**l. Hal ini pasti terjadi, dan apa yang harus kulakukan sekarang? "Bella, jangan mengacaukannya, aku sudah memberikan aturan untukmu!" Hanya itu yang bisa kulakukan, dan sepertinya Bella tidak mengindahkan perkataanku. "LAVENDER! APAKAH KAU PIKIR HIDUP INI PENUH DENGAN IMAJINASIMU? NEGERI DONGENG ITU HANYALAH KISAH UNTUK ANAK-ANAK DAN-" "Aku punya bukti akurat untuk menunjukkan pada manusia bodoh sepertimu agar kau diam. Sekali lagi kukatakan, kecilkan suaramu, Tomboy! Jika Ayahku mendengar, hal ini akan menjadi masalah tahu!" Bella langsung mendudukkan kembali tubuhnya, kedua matanya terbuka lebar. Lavender memutarkan bola matanya bosan. "Dan satu hal lagi, jika kalian sudah berada di sana, patuhi apa yang kuperintahkan, karena Negeri Dongeng bukanlah suatu tempat yang di dalamnya terdapat keindahan dan kedamaian, itu salah besar! Negeri Dongeng yang kumaksud adalah Negeri dimana perdamaian sudah lenyap, dan aku juga berharap, diantara kita tidak ada yang menghilang, karena sangat merepotkan kalau itu terjadi. Negeri Dongeng itu sangat luas!" Mendengar penjelasan yang di ucapkan Lavender cukup membuatku semakin yakin bahwa tempat itu memang ada. Sebuah tempat yang sangat kuimpikan, Negeri Dongeng. "Maksudmu, Negeri Dongeng yang kau maksud itu tidak seperti yang ada di film-film?" tanya Diana pada Lavender. Lavender langsung menjawabnya dengan menyisir rambutnya pelan, memandang mata Diana lekat-lekat. "Iya, itu yang kumaksud. Negeri Dongeng yang akan kita kunjungi bukanlah dunia lucu untuk anak-anak yang sering kita tonton di televisi, melainkan dunia yang penuh penderitaan, tangisan, banyak pengorbanan, perbedaan kelas sosial, dan pembunuhan berantai. Jadi seperti itulah singkatnya." Ya Tuhan, apakah itu benar? Sungguh, aku jadi enggan berkunjung ke dunia yang kuinginkan itu. Karena gambaran yang di katakan oleh Lavender jelas berbeda dengan Dunia Dongeng yang kupikirkan. Diana berjalan anggun menghampiri Lavender, suara sepatu hak tingginya berdetak-detik. Sementara Bella kurasa masih belum yakin pada hal yang dibicarakan oleh seisi kamar ini karena tampilan wajahnya masih belum meyakinkan. "Kalau begitu, antarkan aku ke sana," ucap Diana yang membuat kami semua tercengang seketika. Bella langsung cepat-cepat menarik tangan Diana dan berbisik. "Apa yang kau lakukan? Apakah kau percaya dengan semua omong kosong ini? Aku sama sekali tidak percaya! Mereka itu maniak Dongeng, mereka hanya berkhayal, ingat! mereka hanya berkhayal!" Diana tersenyum tipis mendengar bisikan Bella. "Aku tahu. Maka dari itu, aku ingin memastikan, apakah itu hanya khayalannya atau nyata." "Diana, sejak kapan kau ikut-ikutan seperti ini, kita tidak perlu ikut campur dengan urusan mereka! Mereka itu memiliki khayalan tingkat tinggi tentang keberadaan dunia bodoh itu, tidakkah kau berpikir kalau mereka itu mungkin mempunyai kelainan pada jiwanya?" "Bella. Perkataanmu telah melampaui batas." "Lebih baik omonganku yang melampaui batas, daripada mereka, berkhayal dengan melampaui semuanya!" "Hey! Apa yang sedang kalian bisikkan?! Dari sini kalian terlihat mencurigakan tahu!" Lavender menyelinap tepat di tengah-tengah Bella dan Diana. "Heh! Ini bukanlah urusanmu! Jangan menganggu!" Bella mendorong puncak kepala Lavender menggunakan telunjukknya. Tidak suka, Lavender langsung membalasnya dengan perlakuan sama. "Itu jelas urusanku! Kau pikir aku tidak mendengarnya?" "Dasar pengganggu!" "Diam. Tomboy!" "PENGANGGU!" "TOMBOY!" "Lave, kenapa kamarmu ribut sekali?" Tiba-tiba dari ambang pintu, seorang pria berambut merah dengan setelan jas di tubuhnya muncul, wajahnya sungguh tampan. Lavender langsung menengok ke arah suara dan pipinya memerah. "Ri-Rio? Apa yang kau lakukan di rumahku!?" Pria yang bernama Rio itu menatap sayu pada Lavender. "Seperti biasa, Ayahmu barusan pergi  dan dia memerintahkanku untuk menjagamu," Rio di tugaskan untuk menjaga Lavender? Yang benar saja? "Sebaiknya kau pergi saja, kini mereka juga sedang menjagaku, kau tidak perlu khawatirkan aku, Rio," Lavender menyindir kami, Rio menatap malas padaku, Diana dan Bella. Pandangannya kembali tertuju pada Lavender. "Kau tetap dalam jangkauanku. Lavender," Setelah mengatakan itu, Rio menghilang. Keberadaannya sudah tidak ada. Sekilas, aku, Diana dan Bella menatap wajah Lavender dengan tatapan 'Siapa dia?'  Lavender menghembuskan napas lelah. "Rio adalah makhluk dari Dunia Dongeng. Tidak ada pertanyaan lagi, aku sedang malas menjawabnya! Kecuali untuk Biola. Kau dapat bertanya apa pun yang kau mau padaku," Mendengarnya aku terkejut sekaligus tersenyum. Jadi, Pria berambut merah itu  manusia Dongeng? "Lavender!" seruku pada Lavender, ia langsung menoleh padaku dan menghampiriku. "Katakan apa saja yang kau mau tanyakan, Biola," Lavender menyunggingkan senyumannya padaku. Memandang hal itu, Bella dan Diana geram terhadap aturan main Lavender. Karena perlakuannya sungguh tidak adil jika diamati. "Aku ingin mengobrol dengannya." "Dengannya? Maksudmu pria itu? Rio?" "Iya." "RIOOOOOO!" Astaga, dia langsung memanggil nama Pria berambut merah tadi dengan sangat kencang dan mengejutkan, seperti seekor serigala yang sedang melolong. "Ada apa Lave?" Keberadaanya langsung terlihat di ambang pintu dengan menyenderkan tubuhnya ke samping tembok. "Bisakah kau jangan berteriak, Lave. Kau dapat memanggilku dengan cara yang wajar." "Lupakan! Ngomong-ngomong, Gadis ini ingin berkenalan denganmu. Maukah kau kabulkan permintaannya?" Lavender memegang pundakku. Seketika Rio terdiam, menatapku tajam, dan ekspresinya langsung menunjukkan kalau ia menerima ajakanku. Syukurlah. "Aku akan melayanimu, Putri." ucapnya dengan mendatangiku, membungkuk padaku dan mengecup punggung tanganku. Oh, itu sangat romantis! Sepertinya aku mulai suka padanya. Kurasa Bella maupun Diana sedang memandang iri padaku. Terserahlah. Mau mereka iri atau apa pun itu. Yang penting makhluk dongeng ini sudah membuktikan pada mereka kebenaran tentang keberadaan Negeri Dongeng.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN