bc

Butterfly Angel

book_age12+
detail_authorizedDIIZINKAN
27
IKUTI
1K
BACA
family
brave
drama
highschool
like
intro-logo
Uraian

Selamat datang di cerita kami, cerita tentang kisah hidupku dan dia yang telah abadi. Aku mengenal dia sebagai malaikat yang selalu hadir di setiap langkahku, dia mengenalku sebagai kupu-kupu yang indah yang kehadirannya sangat ditunggu dan disukai orang-orang. Kami adalah dua penghuni bumi yang menginginkan keadilan dari semesta.

Aku dan penyakit ku, dia dan kekurangannya. Kami seolah saling melengkapi satu sama lain di setiap penderitaan yang dirasakan.

Sebelum dia meminta ku untuk tetap menjaga dunia, dia sempat mengatakan bahwa tidak akan meninggalkan ku. Sebab dia selalu ada bersamaku, di dalam jiwa dan ragaku. Dia menganggap ku sebagai satu-satunya orang yang paling berharga di dunia setelah ibunya.

Aku sangat menyayanginya, Malaikatku. Malaikat yang sudah pergi lebih dahulu dari dunia dengan alasan akan menemani ayahnya. Namun, bolehkah aku meminta dia untuk kembali? Karena sesungguhnya belum siap menerima keputusannya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1
BAB 1 – KEDATANGAN AMBAR Bekasi, Januari 2001 "Bu, beneran kita bakal tinggal di rumah sebesar ini?" "Iya, Nak. Tapi kamu janji jangan nakal-nakal di sini. Kalau kamu gak mau bantu ibu, kamu jangan banyak tingkah. Ingat, ibu di sini buat bekerja!" Gadis kecil berambut panjang yang diperingatkan ibunya itu langsung meletakkan punggung tangan di pelipis sebelah kanan, memberi sikap hormat. Menandakan bahwa dirinya akan mematuhi perintah tersebut. Melangkah pelan mendekat pada pintu berwarna putih tulang yang menjadi jalan utama untuk menuju rumah mewah, wanita berusia sekitar tiga puluh enam itu mulai mengetuk pintu. Sementara putri satu-satunya asik melihat sekitar. Sangat indah dan mewah. Di sekitar rumah tersebut terdapat banyak bunga yang warna-warni, dan di sampingnya terdapat danau kecil. Hingga pintu terbuka dan memperlihatkan langsung seorang anak laki-laki yang sepantaran dengan gadis itu. Dia tampak sopan. Mengambil buku kecil yang dikalungkan dengan tali, kemudian menulis sesuatu di sana. 'Ada apa?' "Saya Bu Rani, pembantu baru di rumah ini." Laki-laki kecil itu kembali menulis, kemudian menunjukkan tulisannya pada ibu. 'Oh ya, ibu ada di dalam. Kalau begitu ayo masuk bu'. "Ambar, ayo masuk, Nak?" Gadis kecil yang keasikan dengan alam di sekitar itu akhirnya diseret pelan dengan ibunya supaya segera masuk. Dia tampak bingung, kenapa laki-laki yang sedang berjalan di depannya itu mengalungkan buku kecil dan pena? "Eh, kamu ngapain pakai kalung buku gitu? Kan lebih bagus pakai kalung kayak punyaku, harganya murah juga." Ambar kini berhadapan dengannya, sambil menunjukkan kalung yang dia pakai. "Oh, atau kamu memang suka sama buku, ya? Aneh sih ... tapi bagus, lah. Lain dari yang lain." Kemudian dia tersenyum dengan mengacungkan kedua jempolnya. Mengomentari buku kecil yang mengalung di leher laki-laki itu dengan sebuah tali berwarna kuning. Sementara laki-laki yang sejak tadi hanya diam mendengar ocehan Ambar, dia mengangguk sambil tersenyum. Lalu menggandeng Ambar dan mengajaknya duduk di sofa besar yang terasa sangat lembut. Dia menuliskan sesuatu di buku tersebut. 'Namaku davin. Salam kenal. Namamu pasti ambar'. Ambar mengerutkan dagunya sambil menatap laki-laki di depannya. Ada dua pertanyaan di benak Ambar. Pertama, bagaimana dia bisa tahu namanya, padahal dia belum memberi tahu. Kedua, kenapa laki-laki ini tidak mengeluarkan suaranya, dia lebih memilih menulis. "Ambar, ini anak saya, namanya Davin. Kamu boleh berteman dengannya. Kamu panggil saya ibu, karena mulai sekarang kita akan menjadi seperti keluarga." Seorang wanita berpakaian indah, berambut pendek dan wajahnya cantik itu tampak berjalan keluar dari kamar menuju sofa yang dia mereka duduki. Ambar hanya manggut-manggut. "Aku sudah punya ibu, masa panggil ibunya Davin ibu juga? Bingung, dong!" ucapnya setelah menyadari bahwa dia akan memiliki dua orang yang dipanggil ibu. "Oke, kalau begitu Ambar panggil Ibu Tias aja," balas ibunya Davin dengan senyum yang sangat ramah. Kemudian Ambar menyusul senyum itu. Setelah berbincang beberapa hal, mulai dari cerita Ambar yang rumahnya berada di desa, ayahnya yang sudah meninggalkannya entah ke mana sejak dia lahir, dan juga Ambar yang masih duduk di bangku kelas tiga SD. Bu Tias akhirnya mengarahkan Ambar supaya beristirahat di kamar yang sudah disediakan. Kamar yang dua kali lipat lebih luas dari kamarnya di desa, lebih indah dan lebih rapi. Gadis itu tersenyum senang sambil menatap langit-langit kamar. Dia tidak habis pikir. Padahal, ibunya di sini untuk bekerja sebagai pembantu, tapi dia malah mendapat fasilitas yang bagus-bagus. Bahkan, bisa tinggal di rumah mewah seperti ini. Tok tok tok .... Ambar segera menoleh ke arah pintu, ternyata ada Davin di ambang pintu. Dia terlihat melambaikan tangan, seperti meminta Ambar untuk ikut bersamanya. Ambar yang penasaran akhirnya mengikuti Davin yang entah kemana. "Davin, kita mau ke mana, sih?" Dia berusaha mengejar Davin yang langkahnya ternyata cukup besar. Hingga membuat Ambar kesusahan untuk menyeimbangkan langkah tersebut. Laki-laki itu membalikkan tubuh, kemudian menulis di buku kecilnya. 'Ikut aja. Kamu pasti suka'. Sambil berdecak kecil, Ambar akhirnya menurut. Hingga mereka sampai di belakang rumah. Ambar merasa kagum melihat pemandangan yang sangat indah. Davin ternyata mengajaknya bermain di halaman belakang rumah. Sungguh, rumah ini dikelilingi dengan pemandangan-pemandangan yang mengagumkan. Bayangkan saja bagaimana indahnya. Di depan rumah, terdapat taman yang dipenuhi bunga warna-warni, di samping rumah terdapat danau kecil, dan di belakang rumah terdapat halaman yang tidak kalah indah. Sepertinya akan Ambar sangat betah tinggal di sini. 'Kamu mau menangkap kupu-kupu?' Membaca tulisan itu, Ambar mengangguk semangat. Kemudian Davin memberinya jaring penangkap kupu-kupu berwarna kuning. "Kamu biasanya juga nangkap kupu-kupu di sini? Ih, rumah kamu enak banget, deh ... beda jauh sama rumah aku!" Ambar tampak iri saat membandingkan rumahnya yang di desa dengan rumah Davin yang di kota. Sambil menunggu Davin menulis, Ambar berlarian ke sana ke mari mengejar kupu-kupu yang berterbangan di mana-mana. Memang di sini lebih banyak tanaman bernektar dibanding taman depan rumah. Itu sebabnya lebih banyak kupu-kupu yang memilih hinggap di sini. 'Tapi aku biasanya nangkap kupu sendirian gak punya teman. Mulai sekarang kamu teman aku. Kamu mau ya jadi temanku?' Membaca itu, Ambar membuka mulut dan tertawa. "Baru kali ini aku nemu orang mau berteman pakai ngomong begini. Eh, maksud aku nulis, sih." Davin terkekeh tanpa suara sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya-iya, aku mau jadi teman kamu. Lagian, siapa sih yang gak mau berteman sama kamu. Kamu itu kayaknya baik, gak sombong, rumahnya gede pula." Sambil mengoceh, Ambar terus tidak bisa diam di tempat karena matanya terus mendapati kupu-kupu yang seolah mengajaknya bermain. Di tengah mereka mengejar kupu-kupu, Ambar berdiri di samping Davin sambil mengarahkan jaringnya ke salah satu kupu-kupu, berharap dia berhasil menangkapnya. "Davin, kamu kenapa sih dari tadi nggak ngomong apa-apa. Kamu malah milih nulis, padahal tulisan kamu jelek." Mendengar kejujuran Ambar, Davin menghela napas sejak, kemudian menatap Ambar yang sibuk dengan para kupu-kupu. Mengangkat buku kecilnya, mencoba untuk menulis di sana. Namun, aktivitasnya dihentikan dengan Ambar. "Davin, aku gak mau lihat kamu nulis, ah. Tulisan kamu jelek, bagusan aku. Kamu ngomong dong, biar gak sepi gini." Melepaskan bukunya dan membiarkan mengalung di lehernya, Davin menekuk lutut di atas rumput hijau. Dia duduk di sana sambil menatap ke arah depan. Melihat itu, Ambar ikut duduk di samping Davin. Meletakkan jaringnya dan menatap Davin. "Kamu marah? Ih ... maaf, ya. Aku ngomongnya kasar, ya? Kata guru aku jujur itu lebih baik. Makanya aku jujur, kalau tulisan kamu itu jelek. Maaf, ya ... besok aku bohong aja, deh." Dengan cepat, Davin menatap Ambar dengan mata yang melebar. Kemudian menggeleng kuat. Menunjukkan jari telunjuknya, lalu menggerakkan ke kanan dan ke kiri. Ambar tahu, bahwa gerakan tersebut mengisyaratkan bahwa Davin melarangnya untuk berbohong. "Makanya, kamu ngomong dong. Jangan diam terus!" Gadis itu sudah tampak kesal. Bahkan, sesekali dia menyenggol lengan atas Davin, terus memaksa laki-laki itu berbicara. Seorang wanita datang dari arah pintu belakang, mengejutkan Ambar dan Davin sekaligus menghentikan aktivitas Ambar yang tengah menyenggol-senggol lengan Davin. "Nak Davin, ayo makan dulu!" Laki-laki kecil itu mengangguk dan berdiri, kemudian berjalan mengikuti seseorang yang dia panggil 'Bu Rani'. Tidak lain lagi, dia adalah ibunya Ambar---pembantu di rumahnya. "Eh, Bu aku gak disuruh makan juga? Aku lapar, loh!" Ambar berusaha mengejar Davin dan Ibunya yang sudah cukup jauh meninggalkannya. Meskipun mereka mendengar suara Ambar, mereka tidak menjawab malah tertawa kecil. Di ruang makan yang terletak di dekat dapur, Davin sudah duduk di salah satu kursi. Sudah siap untuk makan, bahkan di tangannya sudah ada sendok dan garpu. Sementara Bu Rani masih sibuk menyiapkan makanan untuk Davin. Ambar berdiri di pilar kecil di dekat dapur. Memperhatikan ibunya yang mondar-mandir dari dapur ke ruang makan. Dia juga memperhatikan Davin. Sepertinya ini sudah yang ketiga kalinya dia membandingkan kehidupannya dengan Davin. Bisa dibayangkan betapa besar perbedaan mereka. Biasanya, jika Ambar ingin makan, dia akan menyiapkan makanan sendiri. Sementara Davin, ada yang menyiapkan makanan untuknya, dan makanannya pun enak-enak. "Hei, kamu kenapa berdiri di situ. Ayo, kamu juga harus makan. Sana duduk di sebelah Davin, kalian berdua makan yang banyak, ya!" Bu Tias ternyata mengetahui keberadaan Ambar. Mendengar perintah itu, Ambar langsung berlari lalu duduk di sebelah Davin. Mengikuti gaya Davin yang memegang sendok dan garpu. Davin terkekeh melihat Ambar. Tidak lama setelah Ambar duduk, makanan yang sejak tadi disiapkan ibunya, akhirnya sudah siap semua. Dengan sangat lahap, Davin dan Ambar memakan semuanya hingga habis. "Oh iya, Davin kamu kelas berapa?" tanya Ambar di sela-sela sesi cuci mulut. "Dia kelas tiga, sama seperti kamu," jawab Bu Tias kemudian diangguki oleh Ambar. "Oh iya, Ambar, mulai minggu depan kamu sekolah, ya. Kamu nggak sekolah di sekolahanmu dulu, kamu pindah sekolah di sekitar sini. Mau kan?" Mengingat bahwa apa pun yang ada di sekitar sini adalah indah, Ambar langsung setuju begitu saja. Sebab dia yakin, sekolah di sini pasti lebih menyenangkan daripada di desanya. "Aku bakal sekolah bareng sama Davin ya, Bu Tias?" Davin dan Bu Tias saling menatap satu sama lain mendengar pertanyaan Ambar yang penuh semangat. "Davin sudah sekolah di sekolah lain, Mbar. Gak apa-apa, kamu diantar ibumu, nanti kamu pasti juga bakal punya teman baru yang lebih banyak di sana." Penjelasan Bu Tias berhasil membuat Ambar mengangguk, meskipun dengan wajah yang cukup kecewa. Bu Rani datang dari arah kamar Ambar, di tangannya dia tampak membawa beberapa butir obat. "Ayo, Ambar minum obat dulu." "Obat lagi ... obat lagi ...." Kemudian gadis itu meminum obat tersebut. Obat yang selalu menemani hari-harinya. Entah obat apa itu, Ambar tidak tahu. Kata ibunya, dia harus meminumnya dan tidak boleh sampai terlambat. O0O0O Ambar sudah terlihat rapi di depan cermin kamarnya. Tadi malam, dia sangat sibuk mencoba-coba beberapa seragam sekolah dan berkata bahwa dirinya tidak sabar menunggu besok. Di mana besok adalah hari pertamanya masuk sekolah di sekolah baru. "Bu, ayo cepetan, Ambar gak mau telat!" seru Ambar sambil berlari-lari menelusuri rumah besar yang sejak minggu lalu dia tinggali. Dia mencari ibunya di mana-mana tetapi tidak ada. Hingga akhirnya dia menggerutu kesal. "Wah-wah, Ambar udah cantik, nih. Udah siap berangkat sekolah, ya?" Bu Tias keluar dari kamarnya karena mendengar suara Ambar yang cukup berisik di luar. Namun, dia sama sekali tidak marah. Justru malah terlihat senang melihat semangat Ambar yang menggebu-gebu. "Ibuku di mana, Bu Tias?" "Sebentar, ya. Ibu kamu masih nganterin Davin sekolah. Habis itu nganterin kamu," jawab Bu Tias dengan sabar. Kini dia meraih rambut Ambar yang sedikit berantakan karena berlari-lari tadi, kemudian merapikannya. Mendengar itu Ambar mengangguk. Melihat dapur yang begitu besar di hadapannya, Ambar melipat tangan di bawah d**a. Rambutnya masih dirapikan dengan Bu Tias. "Bu, enak banget, ya Davin sama Ibu Tias bisa tinggal di rumah sebesar ini." Bu Tias tersenyum. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memegang kedua bahu kecil Ambar dan membalikkan tubuh gadis itu. Dia menatapnya dengan sangat baik. "Mulai sekarang, rumah ini bukan cuma punya ibu atau Davin. Kamu dan ibumu juga pemilik rumah ini," ucap Bu Tias pelan sambil menyentil kecil pucuk hidung mancung Ambar. Mata Ambar melebar mendengarnya. Bagaimana bisa? Semudah itu Bu Tias mengatakan bahwa rumah sebesar ini mulai sekarang juga miliknya? "Beneran?" tanya Ambar untuk memastikan. Dia takut dibohongi, karena setahunya orang tua itu sering berbohong kepada anak kecil seperti dia. "Apa ... rumah Ambar yang di desa, mulai sekarang juga jadi rumah Davin dan Bu Tias juga?" Bu Tias spontan tertawa, dia merasa sangat terhibur dengan kepolosan Ambar. Wajar saja jika Ambar menanyakan hal seperti itu. Ambar masih kecil, pikirannya masih terlalu polos. Setelah menyelesaikan tawanya, wanita itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah sembari mengatakan, "enggak, deh. Rumah yang di desa tetep buat Ambar sama ibunya Ambar aja. Jadi, kalian punya rumah dua!" "Beneran, nih? Yey ... Ambar punya rumah dua!" Ambar tampak begitu senang hanya dengan kata-kata itu. Ambar memang anak yang ekspresif. Dia mudah senang, juga mudah sedih. Dia mudah tertawa, juga mudah menangis. Itulah mengapa, secara tidak langsung, kehadiran Ambar cukup menghibur Bu Tias dan Davin. O0O0O Beberapa menit yang lalu, Ambar sudah sampai di sekolah barunya. Benar dugaan gadis itu, sekolah barunya lebih bagus berkali-kali lipat dari sekolah lamanya. Dia kini sedang duduk di bangku paling belakang yang kosong. Tadi, gurunya memerintahkan dia duduk di sana karena hanya bangku tersebut yang tersisa. Tidak apa-apa, Ambar malah senang duduk di posisi itu karena dia dapat memperhatikan teman-temannya dari belakang sana. "Kelas lebih besar, ada jendelanya, papan tulis ada dua, bangkunya ada ...." Dia menjeda sebentar ocehan pelannya, menghitung bangku-bangku yang ada di dalam kelasnya. "Ada empat puluh." Ambar kali ini sedang melakukan penelitian tanpa diperintah. Dia sengaja mencatat semua yang ada di dalam kelas ini, kemudian akan dia bandingkan dengan kelasnya saat di desa dulu. Padahal, gurunya sedang menerangkan di depan. "Ambar, kamu ngapain?" tanya Bu Ami---wali kelas Ambar---dengan tatapan penuh pertanyaan. Dia berhasil menyadarkan Ambar dari kefokusannya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

TAKDIR KEDUA

read
34.0K
bc

Tunangan Pengganti CEO

read
1K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook