12. Kak Kemal

1342 Kata
Ketika aku masuk aula untuk kumpul paskibra, tiba-tiba Kang Irfan memanggilku, mengajakku ke luar sebentar. Duduk di undakan depan. “Kenapa Kang?” tanyaku. “Rizal bilang kalo lo hamil ya? Terus aborsi.” “Astaga, Kang, itu gosip. Serius, itu bohong,” “Tapi beritanya udah nyebar, Din. Gue denger dari anak kelas satu sampe kelas tiga bisik-bisik soal lo.” “Terus?” “Anak paskib tuh harus jadi contoh baik Din, lo tahu kan? Mulai dari nilai, cara berpakaian, sepatu, kaus kaki. Bahkan perilaku. Kita harus mencontohkan yang baik dan menjadi yang terbaik.” “Jadi?” tanyaku. “Terlepas itu fakta atau gosip, itu sepenuhnya hidup lo, gue gak bisa ganggu. Tapi.... gue gak bisa nerima anak yang punya image buruk di tim gue. Din.” “Gue dikeluarin gitu Kang?” tanyaku tak percaya. Aku emang mau berenti paskib, tapi cuma sebatas berhenti ikutan lomba. Biar bisa jadi pelatih dadakan kalau Kang Irfan gak ada. Bukan kaya gini. “Sorry, Din. I must! Gue gak punya pilihan lain.” Aku melirik sinis ke Kang Irfan. Gak nyangka aku, bakal dikeluarin kayak gini. Padahal setahuku, Kang Irfan tuh orangnya bijak. “Yaudah, Kang. Gue pamit deh,” kataku lalu menuruni tangga aula, berjalan ke bagian belakang sekolah. Ini tuh jam pelajaran khusus ekskul, jadi orang-orang pada fokus sama ekskulnya masing-masing. Lha aku? Jadi anak buangan. Aku berjalan ke koprasi, beli minum di si Agus yang sedang mengobrol dengan salah satu orang yang aku kenal. “Kak!” sapaku, sopan sekali. “Wait... muka lo gak asing deh?” katanya. “Andin Kak, adeknya Adam.” “Oh iya, iya, iya... tinggi ya lo sekarang? Sekeluarga kalian emang tinggi semua sih!” ujar Kak Kemal. Dia adalah ketua geng ALSES. Kalau Adam aja ditakutin, kebayang kan seberapa takutnya anak-anak sini sama dia? “Hehehe masih di bawah 170 aku, Kak.” Kak Kemal tersenyum. “Gus, nih. s**u aja dua.” kataku sambil memberikan uang, lebih dari harga s**u, karena biasanya, senior tuh pasti minta jatah jajan ke junior. “Gak usah bayar, Din. Gue aja yang bayar.” ujar Kak Kemal. Lha? Tumben. “Serius Kak?” “Iya, masa adeknya temen gue beli s**u aja bayar?” Aku tersenyum semanis mungkin. “Gak ekskul lo?” tanyanya. “Dikeluarin Kak!” Dohh, ngadu gak ya? Tapi.... aku udah bilang dikeluarin, nanti kalo dia nanya alasan, aku jawab apa? “Yaudah, ke belakang yuk? Temenin gue rokokan.” ajaknya. Sebagai junior, tentu aku tak bisa menolak, apalagi dia alumni kan? Apapun perkataannya, kita harus nurut. Di belakang, Kak Kemal mulai membakar rokoknya, sementara aku duduk diam sambil menghisap s**u coklat yang kubeli tadi sedikit demi sedikit. “Kenapa lo dikeluarin?” “Difitnah, Kak.” “Ehhh? Kenapa?” tanyanya. Lalu, kuceritakan soal Genta, dari awal, biar Kak Kemal jelas sama ceritanya. Dari Mia suka sama Genta, sampai terakhir Genta bilang aku habis aborsi yang berdampak pada keanggotanku di tim paskib. “Lo mau tau gak caranya biar orang-orang percaya kalau lo gak pacaran sama si Genta itu?” “Gimana Kak?” “Lo deketin beberapa cowok sekaligus, deket yang deket banget, atau gak lo deketin satu aja yang paling terkenal, bikin lo sama dia sedeket mungkin. Biarin dia yang bersihin nama lo, dia bakal nyebar berita juga kalau lo deketnya sama dia, bukan sama Genta.” “Lha? Kalo aku malah disangka playgirl gimana?” tanyaku parno. “Ya bagus, berarti makin gak ada harga dirinya kan si Genta?” Ya iya sih, tapi berbanding lurus juga dengan harga diriku. Gimana sikkk. “Gitu ya Kak?” tanyaku. “Gue nih, misal deket sama cewek, suka banget sampe halu kaya si Genta, terus denger kabar cewek ini deket sama cowok lain.... uhhhh beneran stress gue.” Aku diam mendengar itu. Boleh juga nih, bikin Genta merasakan apa yang aku rasakan. “Oke Kak, makasih sarannya!” “Sipp, rokok gak lo?” tawar Kak Kemal. “Engga Kak, paru-paruku masih belum sembuh.” kataku beralasan. Aslinya sih emang gak mau coba rokok. “Oh iya, Adam cerita tuh, soal lo digebugin. Ngaco emang kelas 3 sekarang. Setahu gue, senior gue dulu, terus jamannya gue sampe di bawah gue nih, gak ada yang g****k kaya mereka. Kita ya biasa aja punya kuasa, tapi gak langsung mentang-mentang main hajar aja. Kan harus crosscheck dulu ya?” Aku mengangguk setuju. “Kalian tuh tau gak sih kalau kalian boleh ngadu ke alumni? Kalo dirasa anak kelas tiga udah mulai gila?” Aku menggeleng kali ini. “Nanti deh, gue kasih tahu, kalau kita emang sistemnya berdasarkan kasta, tapi.... ya yang paling bawah gak serta merta ditindas gitu aja. Mereka boleh ngadu kalo emang dirasa udah di luar batas ketahanannya.” “Tapi kan Kak, anak kelas satu selalu dijadiin objek bully, gak peduli dia salah apa engga, senior-senior anggep itu semua hiburan.” Untuk perkataanku barusan, kak Kemal gak menjawab, ia hanya tersenyum sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. “Yaah, Din, emang begitu, semua yang pernah di posisi Junior juga nanti jadi Senior kan?” Aku hanya tersenyum, gak mau menyahuti lagi ucapan Kak Kemal karena takut ujungnya debat gak jelas. Dan, aku juga gak mau dikata ngelawan alumni. “Eh iya, Kak Kemal ada angin apa mampir ke sini?” tanyaku, membuka topik obrolan baru. “Ada proyek deket sini dari dosen, yaudah deh sekalian mampir, sekalian liat-liat sekolah kaya apa.” Aku mengangguk mendengar jawabannya itu. Yang aku tahu, Kak Kemal diterima di salah satu Universitas Favorit di negeri ini, yang kebetulan ada di kota ini juga, dia ada di Fakultas Teknik. Laki banget deh pokoknya. “Wihh keren Kak,” aku menyahuti. Kak Kemal tersenyum, ia mengangguk. Lalu, kulihat ia membakar rokok barunya. Jadi ya aku diem aja, belum diusir soalnya, jadi ya gak bisa pergi juga kan. “Ehhh, bener!” Aku dan Kak Kemal menoleh, Genta datang, ia mendekat sambil tersenyum. “Bener apaan?” tanya Kak Kemal. “Dari tadi nyari Andin, Bang. Pas nanya Agus katanya dia ke belakang, sama senior,” “Ngapain lo nyari Andin?” “Kangen!” Keningku auto berkerut mendengar itu. Apaan sih Genta? Najisin banget. “Dih, lo siapa?” “Oh iya, kenalin Bang. Genta, pancarnya Andin.” Genta mendekat, ia mengulurkan tangannya berniat berjabat tangan dengan Kak Kemal, tapi tangannya itu hanya menggantung di udara, kak Kemal menatapnya dengan penuh selidik. Ketika Kak Kemal melirik ke arahku, aku tersenyum tipis. Aku yakin, pikiran kami sama. “Andin bilang ke gue kalau dia gak punya pacar.” kata Kak Kemal. “Dia emang suka gitu Bang, bohong terus.” ujar Genta santai, lalu duduk di kursi kosong, di seberang aku dan Kak Kemal. “Gen, cukup! Udahan ngarang ceritanya!” kataku. “Din.... hamil dan aborsi itu bukan penyakit menular, kamu gak usah malu sampe gak mau ngaku lah. Kita bisa selesaiin masalahnya kan? Kelar kan? Kita bisa aktivitas normal lagi. Santai.” “Lo jangan ngarang-ngarang cerita soal adeknya temen gue yaa!” nada suara Kak Kemal terdengar mengancam. “Bang, gue gak ngarang. Sumpah! Beneran gue Bang! Lagian gini deh, di antara gue sama Andin. Cowok sama cewek, mana sih Bang yang punya kecenderungan mengarang cerita?” tanya Genta. Dan... sumpah aku syok liat dia. Dia persuasif sekali, nada suaranya tenang, ia pun terlihat tenang, gak ada tampang lagi bohong gitu. Gilak! Mendengar ucapan Genta barusan, Kak Kemal langsung melirikku sinis. Lalu kembali memandang Genta. “Gue gak peduli mana cerita yang bener. Buat saat ini, gue di timnya Andin. Dan... kalo pun yang lo omongin bener.... Coba yaa, practice safe s*x, okay? Jangan g****k sampe bikin cewek lo hamil! Aborsi karena kelalaian lo gak pake protection itu gak bertanggung jawab tau gak!” seru Kak Kemal, lalu ia berdiri mengulurkan tangannya padaku. “Ayok, Din! Lo gue anter balik!” ajaknya, aku melongo... lha? Jam pulang kan masih sisa 2 jam lagi? Tapi, yaudah deh ya. Lumayan bisa pulang cepet. Hehehehe! Dan, mampus tuh Genta, gak ada yang belain! ******* TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN