Aku berniat mengikuti saran Kak Kemal, tapi... aku bingung mau deketin siapa?
Cowok yang aku kenal banget tuh ya Ari. Tapi... masa deketin Ari?
Anak paskib?
Duh, udah rusak reputasi ku di kalangan itu.
Tapi, kayaknya daripada jalanin saran Kak Kemal, ya mendingan ngajak ngobrol Genta dulu aja deh. Kasian abisnya. Dan, kali aja kalo diajak ngobrol baik-baik, dia bisa berubah gitu.
Mengambil ponsel, aku langsung mencari nomornya Genta.
Me:
Hay Gen!
Tak lama, Genta langsung membalasnya.
Genta IPA3:
Hay sayang!
Beneran deh dia tuh apa banget, kenapa manggil sayang-sayang pula sih?
Me:
Gen, stop!
Gue mau ngobrol sama lo
Kukirim balasan tersebut dan seperti tadi, Genta langsung membalasnya.
Genta IPA3:
Ayok!
Aku jemput sekarang ya?
Me:
Sip!
Genta IPA3:
Otw
Gilak juga nih aku, padahal ini sudah malam. Tapi, gak apa deh, biar besok di sekolah aku bisa memulai hari baru gitu kan yak.
Karena Genta sudah berangkat, aku pun berganti baju, lalu sedikit merapikan rambut. Setelah itu, aku keluar kamar, dan pas mau keluar, ternyata ada Papa.
“Mau kemana Dek?”
“Sama temen keluar sebentar ya Pa?”
“Ke mana?” ulangnya.
“Gak tau, kayaknya sih ke warkop deket sini, cuma mau ngobrol bentar.”
“Bentar doang yaaaa?” seru Papa memastikan.
“Iya Pa, emang bentar kok.”
Kulihat Papa mengangguk, jadi aku ke depan rumah, duduk di teras menunggu Genta datang.
Sekitar lima belas menit menunggu, sebuah motor parkir di depan rumahku. Genta datang dengan motornya. Aku langsung keluar pagar, biar dia gak usah masuk rumah.
“Ayok!” ajakku.
“Ke mana?” tanyanya.
“Deket sini aja, ada warkop.” kataku. Bukan warkop sih, warung tenda dadakan tiap malem gitu. Jual kopi, indomie, roti bakar, pisang bakar, gitu-gitu. Tapi ya di tempat khusus jualan warung tenda. Karena jujur, penataan kotaku ini penataannya bagus sekali. Bersih dan rapi. Jadi gak ada tuh yang asal jual di pinggir trotoar. Hehehe!
Aku naik ke boncengan Genta, dan ia menjalankan motor sesuai dengan arahan yang kuberi. Karena tidak terlalu jauh, gak sampai sepuluh menit kami sudah tiba di lokasi.
“Ayok!” ajakku. Genta membuka helmnya, mengangguk lalu mengikutiku yang berjalan duluan.
“Mau pesen dulu gak lo?” aku mengulurkan kertas menu padanya.
“Belum makan nih seharian, coba pesenin makanan yang menurut kamu bikin kenyang.”
Aku melirik heran padanya. Ngapain aja dia seharian ini sampe gak sempet makan? Ini hari minggu kan? Harusnya dia punya banyak waktu luang.
“Lo suka mie rebus apa mie goreng?” tanyaku.
“Mie rebus aja.”
Aku mengangguk, lalu menuliskan mie goreng, roti bakar dan pisang. Untuk minumnya, aku sih memilih cokelat hangat. Dua.
Setelah menulis pesanan, abang yang berjaga menghampiri kami, jadi langsung kuberikan pesanan tersebut.
“Oke Neng, ditunggu ya?”
“Siap, makasih yaa Bang!” kataku.
Lalu, aku melirik Genta yang sedang memandangiku.
“Kenapa lo?” tanyaku.
“Lha? Kamu yang kenapa, kan kamu yang ngajak ketemu.”
“Pertama, please gak usah ngomong aku-kamu gitu, geli gue dengernya!” kataku dan Genta hanya mengangkat bahunya sebagai respon.
“Gue tuh Gen... ngajak lo ketemu karena pengin nanya. Lo tuh kenapa sih? Kenapa sampe nyebar berita kita pacaran, gue hamil, bahkan sampe aborsi. Lo tau gak? Gara-gara lo gue dikeluarin dari paskib! Ini gue gak ngitung lo bikin gue dibawa ke Gudang loh!” kataku.
“Gak tau.... kadang, bukannya kalo kita suka sama seseorang itu bikin kita jadi bego ya, Din?” sahutnya.
“Ya jangan bego! Lo suka sama gue, yaudah, itu urusan lo. Gue kan udah bilang gue gak suka sama lo, Gen.”
“Kamu gak ngasih kita buat saling kenal karena Mia, Din. Coba kalo dari awal kamu gak ajak Mia pas kita mau nonton, gak bakal begini.”
“Ohhh, jadi lo marah pas gue ajak Mia?”
Genta mengangguk.
“Aku ngajak kamu, beliin tiket buat kamu, kenapa pula aku jadi nontonnya sama Mia dan kamu ninggalin kita gitu aja? Seolah-olah aku setuju dengan semua rencana kamu!”
“Ohhh, jadi sekarang lo bikin skenario sendiri, bikin gue terlibat di semua itu?” tanyaku, dan lagi, Genta mengangguk.
Dendaman amat sih jadi orang! Hih!
“Terus, gue harus apa Gen biar lo berhenti kaya gini? Jujur gue capek tiap hari denger gosip gak jelas. Gue capek gak punya temen. Dan.... gue pengin temenan lagi sama Mia.”
“Ya gak bisa, semua udah terlanjur Din. Kita gak bisa mengubah masa lalu kan?”
“Ya apa? Gue harus apa biar lo berhenti bikin gosip gak jelas?” Tuntutku.
Genta tak langsung menjawab. Makanan pesanan kami datang dan aku menyuruhnya untuk makan dulu. Kali aja, kalo perutnya terisi dia bisa lebih kondusif diajak bicara.
“Lo mau roti apa mau pisang?” tanyaku.
“Roti aja,”
“Yaudah, pisang buat gue ya?”
Genta mengangguk dan ia lanjut memakan mie-nya.
Aku menusuk pisang bakar tersebut dengan garpu kecil yang disediakan, lalu mulai memakannya sambil menunggu Genta selesai. Sesekali menyeruput cokelat hangat untuk melegakan tenggorokan.
Ketika aku selesai, Genta juga sudah menyelesaikan makan mie dan roti bakarnya. Kami saling bertatapan lumayan lama.
“So?” ucapku.
“Apa?” tanyanya.
“Gue minta maaf. Sorry, ngajak Mia tanpa bilang lo dulu, tanpa nanya lo setuju apa engga dengan rencana gue, maaf, oke?”
“Udah lewat.” katanya.
“Terus gue harus apa Gen? Biar gak kaya gini. Asli, gue jengah banget denger gosip yang lo buat itu. Dan gak ngerti, kenapa orang bisa sampe percaya sih?”
“Namanya juga SMA, nyebar gosip tuh hal yang terbaik. Mereka mana peduli bener apa engga, ada bukti apa engga, ya yang penting ada bahan buat obrolan pas jam istirahat, ya kan?” sahut Genta, dan dia benar, dunia SMA apa sih yang dicari ya kan?
“Lo gak mau berenti?” tanyaku.
“Bisa, kalo kita beneran pacaran!”
“Gue gak suka sama lo!”
“You will, not today, but will!”
Aku menggeleng tak percaya, lalu bangkit dari dudukku, meninggalkan Genta.
Baru berjalan beberapa langkah, tanganku ditarik.
“Tunggu sebentar, aku bayar dulu. Aku anter kamu balik, kan tadi aku yang jemput.” katanya lembut.
“Hemmm!” hanya itu sahutku. Asli, bisa ya Genta kaya gitu? Tiba-tiba baik, tiba-tiba nyebelin.
Hih!!
******
Karena Genta menolak menyudahi semua gosip ini. Aku berniat melakukan apa yang disuruh Kak Kemal. Tapi.... kendalaku ya itu, gak tahu harus deketin siapa.
Di kelas aku masih duduk sendiri, bete juga jadi gak punya temen. Gak ada yang bisa diajak curhat. Gosh!
Ketika jam istirahat, selepas membeli s**u di koperasi, aku berjalan ke bagian samping sekolah, ke lapangan basket yang menyatu dengan lapangan futsal karena rame banget. Ada junior yang lagi dijailin sama anak kelas 3.
Asli sih, aku setuju soal sekolahku yang gak sehat ini. Hampir tiap hari, ada aja yang dibully dan itu semua dibiarkan. Gak ada yang berani lawan.
“Siapa Kak yang dijailin?” tanyaku pada salah seorang senior, aku gak tahu namanya siapa.
“Martin, kelas 10-5, kocak nih bocah, pake kaus kaki pink masa? Aturan sekolah kita aja kan harus pake kaus kaki putih!” jawabnya.
Aku mengangguk.
Tahu apa yang dilakukan para senior? Mereka membuat Martin memakai kaus kakinya sebagai penutup mata dan penutup mulut. Kebayang kan gak nyamannya kaya apa?
“Eh tumben ada cewek mampir sini?” aku menoleh, ada Kak Irwan, kapten tim futsal, menghampiriku, ia mendorong cowok yang kuajak ngobrol tadi.
“Hay, Kak!” sapaku ramah, gak mau bikin ribut sama senior.
“Lo siapa?” tanyanya.
“Andin Kak, XI-IPA4. Kakak, Kak Irwan kan?”
“Kok lo tau?”
“Ya siapa yang gak kenal Kak Irwan?” aku balik bertanya dan Kak Irwan tersenyum.
“Tumben ada cewek ikutan nimbrung di sini?” tanyanya.
“Emmm, cuma numpang lewat aja Kak, terus liat rame-rame.”
“Dah, dari pada lu liat kelakuan mereka makin gak jelas, ikut gue aja?” tanpa basa-basi, Kak Irwan menggandeng tanganku, membawaku ke pinggir lapangan, mengajakku duduk di bagian tribun, menonton bullying tersebut dari kejauhan.
“Ekskul apa Din?” tanya Kak Irwan.
“Eh, kosong kak sekarang, keluar dari paskib.”
Lalu, kak Irwan menatapku lekat dari atas sampe bawah, bikin agak risih.
“Oke sih padahal lo jadi anak paskib. Rambut pendek, seragam rapi, lo juga tinggi. Kenapa keluar?”
“Mau fokus belajar Kak, udah gak dibolehin orangtua ikut lomba mulu.” jawabku tak sepenuhnya berbohong.
“Oh iya bener, gue juga udah mulai gak terlalu aktif.” katanya.
Kini hanya aku yang memberikan respon dengan senyuman.
“Boleh bagi nomor lo?” tanyanya.
Aku mengangguk, menerima ponsel Kak Irwan yang ia ulurkan padaku, lalu memasukan nomorku di ponselnya itu.
“Ini, Kak. Belum di-save.”
“Sipp, Andin XI aja ya gue namain?”
“Bebas Kak!”
“Eh iya, minggu depan party, ikut yuk?”
Aku menelan ludah. Ingat betul apa yang dikatakan Kak Adam soal party. Tapi... aku juga pengin tahu gimana rasanya ikutan party sebagai anak kelas 2, bukan sebagai penyelenggara acara saat kelas 3 nanti.
“Boleh Kak!”
“Sip,”
Lagi, aku tersenyum, dan bersamaan dengan itu bel tanda masuk kelas sudah berbunyi kembali.
“Ayok, lo gue anter ke kelas.”
“Eh, gak usah kak!”
“Yailah, kelas gue di lantai 3, biar sekalian.” ucapnya.
“Yaudah, oke, kak.”
Lalu, kami pun berjalan bersisian. Syukurlah Kak Irwan udah gak pegang tangan aku kaya tadi. Jadi kita jalan nyantai aja gitu, padahal aku yakin pasti Pak Rohim udah ada di kelas nih, kan Pak Rohim tuh on-time banget.
“Rumah di mana, Din?”
“Deket halte distrik 9, Kak.” Kataku, nah pembagian wilayah di kotaku tuh pakai distrik gitu, sesuai nomor haltenya.
“Naik bus?”
“Iya Kak, tapi kalo berangkat sih dianter Papa.” jelasku.
Ketika kami sudah berada di lorong koridor lantai dua, terlihat sudah mulai sepi juga, tapi jalan kami masih lambat aja.
“Balik bareng yuk?” ajak Kak Irwan.
Aku menelan ludah kembali, lalu meliriknya yang tersenyum menunggu jawaban.
“Boleh, Kak. Naik bus?” tanyaku.
“Gak, gue bawa motor kok.”
Aku mengangguk.
Ketika kami berjalan, aku sempat berhenti karena mataku terganggu sosok di ujung sana, di depan kelas XI-IPA3 ada seseorang yang mematung, melihat kami yang sedang berjalan.
Genta, melihatku dan Kak Irwan dengan tatapan marah. Tapi, asli sih, aku gak peduli sama dia.
“Kak, sampe nih.” Kataku saat di depan kelas. Bisa kurasakan dari punggungku kalau Genta masih memperhatikan kami.
“Oke, nanti janjian di depan aula ya? Kita bareng!”
“Siap Kak!”
“Bye!” Kak Irwan berbalik, agak sedikit berlari melalui jalan yang kami lewati tadi, menuju tangga dekat IPA5.
Tanpa menoleh, aku masuk ke dalam kelas. Berhasil juga nih aku dapet satu cowok. Mana terkenal juga.
Hehehehe!
*****
TBC