Seminggu terakhir ini aku dekat dengan Kak Irwan. Dan... kami selalu pulang bareng. Gak langsung balik malah, ada aja Kak Irwan ngajak aku jalan-jalan, seru deh.
Walaupun aku jadi pulang terlambat dan dimarahin Mama, ya tapi gak apa, aku happy! Ditambah lagi, gosip soal aku dan Genta mereda, baik di kelas, di angkatan dan lain-lainnya. Bagus banget kan, karena itu yang utama.
Irwan XII:
Udah siap?
Kalo udah aku otw
Satu pesan masuk dari Kak Irwan, lalu aku pun langsung membalasnya, mengatakan kalau aku sudah siap.
Izin ke Mama, kubilang kalau aku ada acara di sekolah, aku gak bilang apa-apa soal party, takutnya Kak Adam telefon terus Mama jawab soal party, bisa abis aku dimarahin Kak Adam nanti.
Seperti biasa, aku menunggu di teras rumah. Hanya sekitar 10 menit menunggu, sebuah motor yang sudah kuhafal suaranya berhenti di depan rumah. Jadi langsung saja aku keluar, gak pamit Mama dulu karena tadi kan sudah izin.
“Ayok Kak!”
“Bentar, kamu cantik banget malem ini.” pujinya bikin aku sedikit salah tingkah.
“Dih, kak, apaan sih? Yok deeh.” emang sih, hari ini aku sedikit dandan, pake lipstik warna pink nude, pakai eyeshadow warna natural. Udah, itu aja, tadinya mau pakai blush-on tapi gak jadi.
“Hehehhe, iya iya, ayok!” ajaknya.
Setelah memakai helm, aku naik ke boncengannya, dan seperti biasa, Kak Irwan menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya.
Kami pun membelah jalanan kota yang masih ramai, namun tidak macet. Lampu-lampu kota, lampu pembatas jalan, semua terlihat indah di mataku. Asli sih, jalan-jalan gini malam hari tuh seru menurutku.
Lalu, lampu-lampu jalan mulai tak terlihat, jalanan gelap dan penerangan hanya dari lampu motor ini dan kendaraan lain yang tidak banyak.
“Kak? Ini rumah warisannya di mana sih?”
“Di komplek sepi gitu, biar kalau kita party kan gak kedengeran orang.”
“Ohhhh,”
Jalanan makin gelap, sampai akhirnya di ujung jalan aku melihat rumah yang dihiasi lampu kelap-kelip, dari ini juga bisa terdengar sayup-sayup musik keras yang diputar.
Kami sampai, Kak Irwan langsung menggengam tanganku dan masuk ke dalam rumah.
Suasana dalam rumah di luar dugaanku. Ini bagian dalamnya seperti sudah disulap menjadi club malam. Suer!
Kak Irwan langsung mengajakku ke tempat minuman. Ia mengambil dua buah gelas plastik lalu menuangkan minuman dengan sendok dari bowl besar yang tersedia.
“Ini apa Kak?” tanyaku.
“Fruit punch doang kok, kalo kamu mau yang agak keras, nanti, ini permulaan.”
“Oh, gak apa, aku ini aja.” aku gak punya rencana mabuk malam ini. Well, aku sih belum pernah mabuk yaa.
Setelah masing-masing dari kami menggengam minuman, Kak Irwan mengajakku duduk di sofa, berdempet-dempet dengan orang lain sehingga aku harus dipangku olehnya.
Berusaha mencairkan ketegangan, aku meminum dari gelasku ini. Dan ternyata rasanya enak, kaya jus buah gitu, tapi agak sepet dikit sih. Tapi enak. Gitulah.
Aku melihat sekitar, rumah ini tuh luas banget ternyata dan dua lantai, dari yang aku lihat ini, ada halaman juga di belakang, dan di sana ramai sekali.
“Keluar yuk, Kak!” ajakku karena melihat Ari, dan beberapa temanku di luar, termasuk Mia yang sedang dirangkul oleh salah satu senior.
“Oh mau di luar, yuk!” aku bangkit, begitu juga dengan Kak Irwan, kami berjalan ke arah pintu belakang. Agak syok juga aku liat yang lagi ciuman di dapur. Like.... mereka gak peduli ada banyak orang di tempat ini.
Di luar, Kak Irwan malah ngajak aku naik ke rumah pohon, jadi ya aku nurut aja pas Kak Irwan nyuruh aku menaiki tangganya.
Dari atas rumah pohon ini suara musik di bagian dalam rumah gak terlalu bising, dan di sini juga enak, karena lantai rumah pohon ini dialasi karpet.
“Seru yak, party-nya.” kataku, dari bagian jendela rumah pohon ini aku melihat beberapa anak yang sedang bermain beer-pong.
“Lebih seru lagi di lantai dua.” sahut Kak Irwan.
Dari sini aku langsung menoleh ke jendela lantai dua, dan terlihat ada beberapa orang yang sedang berciuman secara intens.
Kulihat Kak Irwan menatapku tajam, bikin aku sedikit salah tingkah sebenarnya. Lalu, aku refleks memejamkan mata ketika kurasakan wajahnya mendekat.
Ketika bibirnya mendarat di bibirku, aku diam, membiarkan lidahnya bermain sendiri. Ini bukan ciuman pertamaku, tentu saja. Ciuman pertamaku sudah terjadi setahun lalu, ketika aku bersama Gaftan.
Gosh, kok ya bisa aku keingetan Gaftan?
Kedua tangan kak Irwan memeluk pinggangku, kami berdua jadi makin rapat dan ku beranikan diri untuk membalas ciumannya. Lalu kurasakan sebelah tangan Kak Irwan mengusap pipiku.
Membuka mata sedikit, kulihat Kak Irwan juga sedang memejamkan mata. Aku sedikit tersenyum lalu membalas kembali ciumannya.
“Kalian ngapain?!” Kami sama-sama menarik diri ketika seruan itu terdengar.
Buset dah! Bikin jantung mau loncat aja sih!
Ketika menoleh, aku kesal karena yang menggangu ciuman ku dengan Kak Irwan ternyata Genta, ia terlihat marah melihat kami berdua begini.
“Lo ngapain sih? Udah tahu di sini ada orang, masih aja naik!” omel Kak Irwan.
“Yang lo cium itu cewek gue Kak!” ujar Genta.
“Hah?!” seruku dan Kak Irwan bebarengan.
“Beneran Din??” tanya Kak Irwan dan aku langsung menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
“Gen, please deh... udahan, jangan sok-sokan ngaku kita pacaran!” ucapku pada Genta.
“Kamu mau aku laporin Kak Adam kamu ada di sini, Din?” Genta tak menghiraukan ucapanku barusan, ia malah mengancamku.
“Apaan sih Gen, turun lu! Gue juga mau turun!” kataku kesal. Kenapa sih dia selalu jadi pengacau? Mana bawa-bawa Kak Adam pula, aku kan takut.
Genta akhirnya turun, aku pun turun meninggalkan Kak Irwan di atas.
“Gen, please... kita udah bahas ini.” kataku.
“Ya kamu tahu mau aku apaan.”
“Gen, jangan jadi tukang paksa, itu malah bikin gue ilfil sama lo.”
Kulihat Kak Irwan turun juga dari rumah pohon, ia langsung berdiri di sampingku.
“Kamu lebih milih dia Din dari pada aku?” tanya Genta, menunjuk Kak Irwan.
Well, mereka berdua bukan pilihan, tapi untuk saat ini ya mending Kak Irwan, dia gak segila Genta soalnya.
“Iyaa, emang kenapa?” aku balik bertanya.
“Yaudah Din, tinggalin aja cowok gak jelas ini.” Kak Irwan merangkul bahuku, lalu membawaku masuk ke dalam rumah, naik ke lantai dua.
Seketika, jantungku berdetak tak karuan lagi. Gosh!
Bagian lantai dua terlihat luas, namun juga sesak karena banyak orang di atas sini. Dua-dua, berpasangan, ada juga sih yang bertiga dan yang pangku-pangkuan, udah gak jelas deh posisinya. Lalu, dari ruangan lain, aku mendengar suara-suara desahan.
Gosh, aku gak nyangka... mereka semua yang itungannya masih anak SMA bisa melakukan hal seperti ini.
“Kak, sorry.... tapi aku gak nyaman di sini.” kataku jujur.
“Din, kita gak mau lanjutin yang tadi?”
Napasku tertahan sedikit. Kemudian aku menggeleng.
“Buat ukuran cewek yang udah gak perawan lo sok jual mahal juga ya?” suara Kak Irwan berubah, ia seperti merendahkan aku.
Gosh, jangan bilang dia kemakan gosipnya Genta waktu itu?
“Sorry, Kak. Tapi... gue emang gak mau!” kataku, obrolan kami sekarang berubah jadi gue-elu. Lalu, ketika aku hendak turun, Kak Irwan menahan tanganku.
“Lo tuh kelas dua, lo gak punya hak buat nolak!” serunya.
Aku menepis tangannya yang menahanku, lalu menatapnya marah. Tanpa banyak bicara, aku turun ke bawah, di tangga aku melihat Mia seperti di tarik oleh Dani, anak kelas 3 IPS.
“Kak! Berhenti!” aku mencegat keduanya. Kulihat Mia dalam keadaan mabuk dan dia gak sadar kalau sedang ditarik oleh kak Dani.
“Siapa lo?”
“Gue temennya dia, stop! Lo gak bisa manfaatin dia yang lagi kaya gini.”
“Heh! Dia dari tadi sama gue, gak ada tuh elo, ya ini waktunya gue nyenengin dia!” seru Kak Dani.
“Engga! Dia balik, ikut gue!” kulepas tangan Mia yang digenggam Kak Dani, lalu memapahnya turun ke lantai dasar.
Karena Mia sudah tak sadar, kami berdua sedikit terjatuh di tangga bagian bawah. Untungnya aku gak apa-apa.
Aku mencari anak kelas 2, ingin meminta pertolongan. Tapi mereka semua tak terlihat. Ari yang sempat berada di halaman belakang pun sekarang sudah tidak ada.
“Heh? Punya nyali lo dateng ke sini?” aku kaget, rambutku tiba-tiba dijenggut oleh seseorang dari belakang. Ketika aku menoleh, ternyata Jenny dan Orion.
“Kak, aku... aku mau pergi kok.” kataku.
“Gengs!!” Orion berteriak kencang sekali, mengalahkan sound musik. Lalu, salah satu anteknya Orion mematikan musik, membuat semua perhatian sekarang tertuju pada Jenny, Orion, dan aku yang sedang berusaha menyadarkan Mia.
“Nih ada anak yang bikin masa-masa Senior kita yang harusnya berjaya malah jadi culun gaes, sampe harus patungan buat bikin party!” seru Orion, dan terdengar geraman mata dari beberapa anak.
“Berani lu ya dateng ke sini!” seru Jenny, ia mendorongku, sukses membuat Mia jatuh, jadi aku berusaha membuat Mia berdiri lagi.
“Enaknya kita apain nih? Mumpung free night, gengs!” Ricco muncul, berdiri di tengah Jenny dan Orion.
“Heh! Gue gak mau kita makin bermasalah ya!” Sonya, entah muncul dari mana, tiba-tiba berdiri di sampingku.
“Lo gak inget Son, dia bikin kita susah cari kampus!”
“Lo bikin masalah lagi bukan cuma kita susah cari kampus, tapi orang tua kita juga bakalan susah cari duit!” seru Sonya.
Aku menoleh, gak ngerti arah pembicaraannya. Karena setahuku... kak Adam gak seberkuasa itu deh.
“Dah, lo bawa temen lo, dan gak usah dateng lagi ke party ini!” seru Sonya memarahiku.
Aku mengangguk, lalu buru-buru keluar membawa Mia. Di luar, aku berusaha membangunkan Mia, tapi dia beneran udah gak sadar.
“Mi, bangun, Mi! Ini gimana lo balik kalau kaya gini?”
Merogoh ponsel dari kantong, aku menghubungi Ari, tapi nomornya gak aktif. Gosh!
Ku dudukan Mia di trotoar, lalu melihat ke dalam rumah dari luar sini, mencari orang yang kukenal tapi rata-rata hanya anak kelas tiga dan anak kelas dua yang keadaannya nyaris sama seperti Mia.
Membuka ponsel lagi, ku telefon Kak Irwan, ingin meminta bantuannya.
“Kenapa lo?” aku lega ketika ia menjawab panggilan ku.
“Kak, aku ada di luar, mau tolongin aku gak?” tanyaku pelan, tak ingin membuatnya marah.
“Apaan? Ngapain?”
“Anterin aku pulang dong Kak, temenku mabuk, aku mau bawa dia pulang.”
“Oke, tapi lo tidur sama gue, malem ini!” ujarnya.
Aku diam. God, gak... aku belum siap untuk melakukan itu.
“Kak, please jangan itu, apa aja.”
“Gue maunya tidur sama lo! Gue penasaran sama lo! Kalo lo mau, gue tinggalin nih sekarang cewek yang lagi ngemutin gue.”
“Hah?”
“Mau gak?”
Tanpa menjawab, aku langsung mematikan panggilan tersebut. God, aku beneran harus apa ini? Gak mungkin kan aku bawa Mia jalan kaki sampai keluar dari komplek ini? Belum lagi jalan sampai halte terdekat.
Aku berlari ke arah Mia ketika kulihat ia mencoba bangkit, saat tubuhnya kutahan agar ia tidak jatuh, ia muntah, banyak sekali. Aku langsung merapikan rambutnya agar tidak terkena muntahan.
Menarik napas, kurogoh kembali ponsel di saku celanaku. Dengan berat hati, aku menelpon Genta.
*****
TBC