15. Rumah Genta

1751 Kata
“Gen?” panggilku ketika sambungan telepon terangkat. “Hay sayang!” sahutnya, suara di seberang sana sepi, jadi besar kemungkinan Genta sudah tidak berada di dalam rumah tempat party terselenggara. “Gen, lo di mana? Mau minta tolong.” “Lagi cari makan, minta tolong apa?” “Bisa jemput gue sama Mia? Di tempat party, Gen.” “Hah? Kamu masih di sana? Kamu gak paham rules mereka? Kalo ada yang masih di sana sampe jam 11 bakalan 'dipake', Din!” “Makanya, jemput!” pintaku, suaraku agak sedikit terisak karena aku takut. Takut Irwan tiba-tiba turun, atau Dani, dan mereka membawaku dengan Mia ke atas. Gosh! “Oke, oke, kamu jalan sejauh yang kamu bisa ya? Ini aku jalan Din, tunggu ya?” “Oke Gen!” Panggilan terputus, aku langsung memapah Mia, mengajaknya berjalan menjauhi rumah ini. Sambil jalan, bisa kurasakan Mia perlahan mulai sadar. “Lo ngapain nolongin gue, Din?” tanya Mia. “Gue temen lo, Mi. Sekalipun lo marah, lo gak mau temenen sama gue lagi, tapi gue tetep anggep lo temen. Dan gue tahu, lo akan menyesali apa yang bakal Dani lakuin ke lo,” “Yeah, lo tahu.... gue gak mau jadi cewek SMA bego, apalagi sampe hamil!” serunya, nada suara Mia seperti menyindir. “Mi, lo percaya gue sama Genta? Engga, Mi. Harus berapa kali gue bilang kalau gue sama Genta gak ada apa-apa? Apalagi sampe hamil!” “Tapi barusan lo telefon dia kan? Dia mau jemput lo kan? Apa namanya kalo kalian gak pacaran? Dia terang-terangan kok ke semua orang bilang lo pacarnya!” Aku diam. Melepas rangkulan ku pada Mia. Ia langsung duduk di trotoar, kepalanya ia letakkan di lutut. Aku mengusap wajahku. Bingung dengan keadaan ini. Aku harus apa sih supaya Mia percaya? “Mi, gue gak pacaran sama Genta. Gue gak suka sama dia. Sekalipun gue suka, gue akan lebih memilih persahabatan kita Mi.” “Kita udah gak sahabatan, lo sana aja kalo mau ngembat Genta!” Aku menelan ludah. Kemudian, dari ujung jalan kulihat sebuah lampu kendaraaan, makin lama makin mendekat dan aku lega ketika motor yang mendekat ke arah kami adalah motornya Genta. “Thanks Gen, udah dateng.” kataku tulus. “Ayok, kalian gue anter balik!” “Ehhh, gue gak bisa balik ke rumah kaya gini.” ujar Mia. “Lha? Terus mau ke mana Mi? Gue juga gak bisa bawa lo ke rumah kalo begini, lo tahu bokap-nyokap gue kan? Apalagi kalo mereka sampe ngadu sama Adam.” kataku. “Dah, kalian di rumah gue aja. Nyokap gue lagi di luar kota. Aman. Cuma ada satpam sama ART!” ujar Genta. “Boleh, Gen?” tanyaku. Genta mengangguk. “Mi, lo naik duluan ayok!” titahku, Mia langsung melirik kesal padaku. “Lo mau gue naik duluan? Terus lo di belakang? Mi, lo lagi begitu, bisa ngejedak ke belakang lo nanti.” omelku, kesal. “Iyee, bawel!” Kubantu Mia berdiri, lalu ia naik ke boncengannya Genta. Setelah itu, baru aku yang naik, dapet duduk dikit banget di belakang. “Udah?” tanya Genta. “Udah Gen,” jawabku. Kemudian Genta pun menjalankan motornya, gak kenceng untungnya, aku ngeri merosot ke belakang aja ini sih. Sekian puluh menit boncengan bertiga begini, akhirnya kami sampai dan pintu gerbang Genta langsung dibukakan. Begitu motor berhenti, aku langsung turun. Astaga, pantatku. “Heh? Mia? Turun lu!” terdengar seruan Genta. Aku menoleh, ternyata Mia tertidur, dan ia menempel di punggungnya Genta. “Mi? Bangun, sampe nih!” kataku. Aku menarik Mia pelan, dan ia pun akhirnya terbangun. “Heu? Di mana nih?” “Di rumah Genta, Mi.” jawabku pelan. “Ih, lo jangan pegang-pegang gue!” seru Mia menepis tanganku yang ada di pundaknya. Lalu, Mia turun dari motor, Genta pun melakukan hal yang sama. “Ayok masuk!” Seru Genta. Kubiarkan Mia berjalan duluan, Genta mengarahkan kami masuk lewat pintu samping, sama seperti waktu itu. “Nih, kamar tamu, kalian boleh tidur di sini malem ini.” Genta membukakan pintu yang ada di dekat ruang tamu yang gelap. “Gue gak mau tidur satu kamar sama Andin!” seru Mia, ia masuk kamar itu dan menutupnya keras sekali. Aku sampai bengong. Astaga... segitunya dia? “Gue tidur di mana Gen?” tanyaku. “Kamar tamu cuma satu, di atas ada kamar aku, terus kamar Mama. Kalo kamu mau, kamu bisa tidur di kamar aku, Din.” Aku diam. Ini aku tidur di kamar Genta, dia gak tidur di situ juga kan? Gimana sih maksudnya? “Aku... aku pulang aja deh.” “Udah malem Din, aku capek. Nginep sini aja, biar besok pagi Mia juga ada temennya. Nanti baru aku anter kalian berdua balik. Yuk!” Genta meraih tanganku, ia membawaku naik ke lantai dua. Entah kenapa ini seperti deja vu, tadi kan pas party juga gini. Ngeri aku. Menaiki tangga, walaupun sudah gelap aku bisa melihat ruang keluarga yang cukup luas mendominasi lantai dua ini. Lalu, Genta menarikku ke arah kiri, membuka pintu berwarna putih, lalu menekan saklar lampu, membuat kamar ini langsung terang. Kamar Genta sangat nyaman, rapi untuk ukuran cowok. Kasurnya berukuran sedang, dengan sprei motif kotak-kotak. Lalu, ada meja belajar dengan rak buku sampai menyentuh ke bagian langit-langit, tersusun rapi. Ada juga lemari besar yang di pintunya menempel ring basket. Di samping meja belajar, dan meja TV yang bisa kulihat di bawahnya terdapat PS dan Xbox sekaligus. Buset, biasanya kan orang milih salah satu ya? Lha dia langsung dua. Ngaco emang. “Mau ganti?” tawar Genta, menyadarkanku. “Eh iya, boleh dong.” “Wait.” Genta masuk ke dalam, membuka lemari bajunya lalu mengeluarkan beberapa lembar pakaian. “Nih, kamar mandi ada di samping ruang keluarga. Sini deh, aku anter.” katanya sembari mengulurkan pakaian tersebut. Genta berjalan duluan, lalu ia menyalakan lampu ruang keluarga dan terlihat dua pintu cokelat di sana. “Yang kiri ya, yang kanan ruang kerja Mama.” katanya. Aku mengangguk lalu masuk ke pintu yang ditunjuk Genta. Di dalam kamar mandi aku langsung berganti pakaian. Melipat bajuku biar besok bisa tetep rapi kalau mau dipakai lagi. Setelah itu baru aku keluar. Ketika keluar, kulihat Genta duduk di sofa ruang keluarga, sudah berganti juga. Pakaiannya sama sepertiku. Kaus dan celana pendek. “Yuk!” katanya. “Yuk kemana?” “Mau tidur gak?” Mataku melirik kiri-kanan, menemukan jam dinding, sudah menunjukan pukul 12 lebih 20. Menelan ludah, aku berjalan ke arah kamar Genta dan kurasakan ia mengikuti di belakang. Di dalam kamar Genta, kuletakkan bajuku di atas meja belajarnya. Genta sendiri ikut masuk ke kamar dan ia menutup pintu kamar dari dalam. “Eh? Lo... lo tidur di sini juga?” tanyaku tegang. Kulihat Genta tersenyum. “Tenang aja, aku capek, gak bakal macem-macem juga, kamu mau di pojok deket dinding apa di pinggir?” tanyanya. Lagi-lagi aku menelan ludah. Ku lirik kasur Genta yang ukurannya lumayan itu. Emm, muat sih kayaknya buat dua orang. Tapi.... dempet banget juga itu pasti. Dan, aku jadi kepikiran. Aku kalo tidur petakilan gak ya? Ngorok gak ya? Ngigau gak ya? “Din?” panggil Genta ketika aku diam saja. “Pojok aja.” akhirnya aku menjawab. Genta mengangguk, ia tersenyum lalu memberikan isyarat agar aku naik duluan ke kasur. Aku naik ke kasur, langsung menempati bagian pojok, mengambil satu bantal agar posisinya pas di kepala kemudian baru aku merebahkan diri. Kulihat Genta tersenyum, ia pun langsung menyusulku, naik ke atas kasur. “Tidur kamu Din,” katanya pelan, ia bergerak menggeser posisi jadi menyamping menghadapku. “Lo aja sana tidur duluan.” kataku. Aku sih yakin, aku gak bisa tidur nih pasti. Ini kali pertama aku tidur sama cowok selain Papa ataupun Kak Adam. “Jangan marah-marah mulu coba, nanti aku gemes sendiri, soalnya kamu kalo marah makin cantik.” Aku merinding mendengar itu. Hiyyyy~ “Gen, lo tinggal cuma sama Ibu lo?” tanyaku. Asli, aku capek, tapi aku juga gak bisa tidur, takut. “Iya, soalnya Papa selingkuh, jadi aku sama Mama pindah ke sini.” jelasnya tanpa aba-aba, bikin aku kaget sekaligus prihatin. “Serius?” “Dah, tidur gih, aku gak mau jawab pertanyaan kamu lagi malem ini. Tidur, Din. Capek.” katanya. Aku melirik ke samping, dan ya... Genta sudah memejamkan matanya. Suasana kamar jadi hening, yang bisa kudengar hanyalah hembusan napas Genta yang teratur dan suara detik jam yang entah berada di mana. Mataku terus terbuka, aku gak bisa tidur. Lalu, aku kaget karena matanya Genta mendadak terbuka, dan ia tersenyum. “Tidur, Andin.” katanya lembut. “Gak bisa.” “Terus maunya apa?” tanya Genta. “Gak tahu, gue takut.” kataku. “Takut kenapa?” “Ya takut aja.” “Takut sama aku?” tanyanya dan aku pun mengangguk kecil. “Tenang aja, gak apa-apa kok, serius aku janji aku gak bakalan ngapa-ngapain.” “Gen, di depan orang banyak aja kamu bisa bohong, apalagi kaya gini?” aku sudah mulai serius kali ini. Makanya ngomongnya aku-kamu juga, biar Genta tahu. “Aku gak peduli Din sama orang banyak. Aku pedulinya sama kamu.” “Kalau kamu peduli sama aku, kenapa bisa kamu bikin berita yang jelek-jelekin aku Gen? Aku jadi gak punya temen. Bahkan sampai Irwan aja nganggep aku sok jual mahal karena dia kemakan sama gosip kamu, Gen.” “Hidup kamu bakal jadi lebih mudah kalo kita emang beneran pacaran. Kenapa sih gak mau? Toh Mia juga udah begitu kan sama kamu?” Aku diam. Memilih berbalik ke tembok memunggungi Genta. Kudengar Genta menghembuskan napas panjang. Lalu terasa ia mendekat dan sebuah pelukan dari belakang mengurungku. Gosh! “Gen, apaan sih?!” Aku sedikit protes tapi begonya, aku gak mendorong dia mundur. Entah kenapa. “Tidur Din seriusan, aku janji gak bakal ngapa-ngapain kamu langsung, aku masih takut sama Kak Adam,” bisiknya di belakang telingaku. Aku diam, tak menyahuti ucapannya tentu saja. Genta akhirnya diam, lalu tak lama kurasakan napasnya teratur, dan suara dengkur pelan yang menandakan ia sudah tertidur. Pelan-pelan, kulepaskan tangannya yang memelukku ini. Karena dingin, dan aku hanya memakai celana pendek, ku tarik selimut yang berada ujung kasur dengan kakiku, lalu membentangkannya agar menutupi tubuh kami berdua. Aku tetap tak bisa tidur, aku takut. Jadi, sebisa mungkin kutahan rasa ngantukku, aku akan terjaga malam ini, harus.... aku gak boleh tidur malem ini. Aku gak mau ngasih kesempatan buat Genta macem-macemin aku. Ya, karena gak bisa pulang, aku memilih untuk tidak tidur. Semoga, aku kuat terjaga sampai pagi. Ya, semoga. ****** Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN