16. Pagi Hari

1854 Kata
Ketika mataku terbuka, aku langsung terbelalak kaget. Ya, kaget karena ternyata aku ketiduran juga akhirnya. Sial. Aku berbalik untuk melihat Genta, untungnya dia masih tidur. Kubuka selimut yang menutupi tubuh kami. Aman, aku masih pakai baju, demikian pula dengan Genta. Syukurlah, dia benar-benar memegang ucapannya. Buru-buru aku berbalik kembali biar gak hadep-hadepan gini, tapi tiba-tiba sebuah tangan menahanku. Ketika aku melirik, Genta langsung tersenyum meskipun matanya masih terpejam. “Ciye ke-gep liatin aku tidur nihh!” serunya. “Apaan sih?” aku berusaha melepas tangannya, tapi ia tetap menahanku, malahan ia menarikku mendekat ke arah tubuhnya dan langsung saja ia memelukku. “Gen? Apaan sih?” aku berusaha menolak tapi ia memelukku erat. “Bentar doang elah!” katanya kemudian terasa bibirnya menyentuh rambutku. Aduhh, ini kok malah jadi begini yaaa? Aku diam dalam pelukan Genta ini, biarin aja nunggu dia capek sendiri, tapi... dia malah menyilangkan kaki kami dan pelan-pelan mengelus kakiku dengan kakinya. “Gen bisa diem gak?” kataku dengan nada ngambek. Bukannya bersyukur ya? Aku gak protes dia peluk begini. “Heheh, oke-oke!” serunya, dan gerakan kakinya pun berhenti, tapi ia malah mempererat pelukan ini. “Gak bisa napas nanti gue, Gen.” kataku protes. “Nanti aku kasih napas buatan.” sahutnya asal. Aku mendengus kesal, lalu dengan sengaja menghembuskan napas pendek, biar dia sadar aku bosen kaya begini. “Serius mau nanya Din, kamu udah pernah belum?” tanya Genta, suaranya pelan serupa bisikan, namun langsung di telingaku, bikin aku merinding. “Udah pernah apaan?” aku balik bertanya karena aku gak ngerti dia ngomong apa. “Belum berarti,” katanya bikin aku bingung ini pembahasan lagi ke arah mana. “Udah ah Gen,” aku mencoba melepaskan diri dari pelukkannya tapi ia menahanku, dan tanpa di duga, Genta malah menunduk dan bibirnya mendarat begitu saja di bibirku. Aku syok tentu saja, jadi cuma bisa diam saat Genta melumat bibirku, mengecapnya dan menciumnya hingga basah. “Genta!” Kami berdua langsung menarik diri, aku menelan ludah, dan Genta sendiri langsung terlonjak, duduk di kasur. Mamanya Genta berdiri di ambang pintu yang terbuka, gosh! Kenapa harus ada kejadian begini sih? Please, aku mau ngilang aja bisa gak sih? “Ada temen kamu di bawah, Gen! Cepet turun!” hanya itu yang dikatakan Mamanya, beliau lalu keluar sambil menutup pintu. “Lo gila! Sumpah lo gila!” seruku panik. “Ganti baju gih, Din. Kita ke bawah, sekalian anter kamu sama Mia balik,” ucapnya tenang, seolah kami tidak sedang berada di dalam situasi bahaya. Gila aja, aku ada di kamar Genta, pake baju dan celananya dia. Udah gitu, yang Mamanya liat tadi pasti kita lagi ciuman kan? Bukannya Genta yang nyosor menciumku. Gosh! “Cepet ganti, Din,” ucap Genta ketika aku tak bereaksi apa-apa. “Ya lo keluar sana!” “Aku di sini, madep belakang, udah cepet ganti.” “Ihh gak mau,” “Din, cepet!” serunya dengan nada tegas. Lagi, aku menelan ludah, turun dari kasur lalu mengambil bajuku yang ada di meja belajar Genta. Menoleh ke belakang, kulihat Genta duduk menghadap tembok, ia bahkan menutupi tubuhnya dengan selimut. Jadi dengan cepat kubuka baju yang ku kenakan kemudian berganti dengan bajuku sendiri. “Udah!” kataku ketika selesai, menggantungkan baju Genta yang tadi kupakai di sandaran kursi belajarnya. “Ayo ke bawah!” ajaknya. Genta turun dari kasurnya, berjalan menuju pintu dan menunggu aku menyusulnya. Kami berdua berjalan bersisian menuju lantai bawah, terdengar suara orang mengobrol, Mia dan Mamanya Genta, dan entah kenapa jantungku langsung berdetak tak karuan. “Pagi, Ma. Kok Mama gak bilang pulang hari ini?” tanya Genta, ia menarik satu kursi makan, lalu menarik tanganku agar aku duduk di situ, lalu ia juga menarik kursi di sebelahnya untuk duduk. “Ya emang lebih cepet, Gen.” “Gen aku mau pulang!” seru Mia, kulihat Mamanya Genta langsung tersenyum. “Kamu anterin gih Mia balik, Andin di sini dulu aja.” Lagi-lagi, aku menelan ludah. Ini sih roman-romannya aku bakal disidang nih. “Bareng aja sih, Ma,” ucap Genta. “Udah sana pake celana yang bener, kependekan itu Gen, terus anterin Mia. Pake motor aja, mobil kamu mau dibawa ke bengkel, aki-nya rusak kan?” “Oh iya,” Genta beranjak dari kursinya naik lagi ke lantai dua, mungkin untuk berganti celana, sesuai perintah mama-nya. “Mia sama Andin satu kelas?” “Iya tante, kita berdua satu kelas, tetanggaan sama kelasnya Genta,” jawab Mia. Bagus lah, aku gak punya nyali untuk bersuara nih rasanya. “Oh gitu, bagus dong yaa Genta berarti, dapet temennya dari luar kelas,” Aku hanya mengangguk, dan Mia tersenyum manis. Tak lama, Genta turun dari lantai dua, sudah berganti, memakai celana jeans hitam dan sweater hoodie berwarna senada. Sumpah yaa, ini kalo aku belum kenal dia orangnya macem apa, kayaknya aku naksir, dia ganteng banget dandan begitu. “Ayok Mi!” ajak Genta dengan nada tak semangat. “Tante aku pulang yaa, makasi sarapannya,” ucap Mia lembut sembari mencium punggung tangan Mamanya Genta. “Iyaa, hati-hati kalian ya. Gen, langsung pulang ya?” “Iya lah Ma, minggu pagi, mau kemane?” Keduanya kemudian keluar dari rumah lewat pintu samping. Aku sendiri masih duduk diam di kursi meja makan, berharap menyatu aja nih sama kursi, biar Mamanya Genta gak sadar aku ada di sini dan melupakan kejadian ciuman tadi. Hening sejenak, ku lihat Mamanya Genta merapikan piring bekas sarapannya Mia, lalu membawanya ke dapur. Ya Tuhan, ini aku harus apa ini? Cukup lama Mamanya Genta di dapur sampai akhirnya kembali membawa dua piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya. “Makan Din, atau mau nunggu Genta?” “Ehh, emmm, nunggu Genta aja, Tante,” jawabku kikuk. “Okee deh, kalo gitu,” sahut Mamanya Genta, santai, lalu duduk kembali di tempatnya tadi. “Waktu pertama kamu ke sini, Genta bilang kamu pacarnya, tapi kamu bilang bukan. Apa sekarang udah berubah statusnya?” tanya Mamanya Genta. Lagi, aku menelan ludah. Bingung mau jawab apa, dan... gimana jelasinnya? “Emm, gimana ya Tante, it's complicated,” “Okee, tante cuma mau nasehatin kamu aja, boleh?” nada suara Mamanya Genta terdengar lembut, seperti tidak ada emosi, atau kemarahan apapun. Dan, caranya mengajakku bicara begini juga seperti seorang teman, bukan orang tua. “Emm, iya Tante, boleh, dong,” “Tante tahu pergaulan anak jaman sekarang kaya apa. Genta di rumah lamanya juga bandel banget, apalagi dia kan dulu sekolahnya di sekolah khusus laki-laki ya? Jadi kalau liat cewek tuh norak, hehehehe!” Aku tersenyum, tetap diam, berusaha mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh Mamanya Genta padaku. “Dan... ya, dia emang bandel. Tapi syukurnya dia gak pernah berurusan sama pihak yang berwajib. Dan gak pernah ada cewek yang dateng ke rumah ngaku hamil. Thank God!” suara Mamanya Genta terdengar sangat bersyukur kalau anaknya memang gak sebandel itu. “Tante cuma mau bilang, kamu hati-hati ya? Kejadian tadi... kalau tante gak sela kalian berdua, bakal berujung ke mana?” Aku menelan ludah, gak bisa jawab. “Kalian masih muda, jangan ngelakuin hal yang bikin masa depan kalian hancur ya sayang ya?” suara Mamanya Genta terdengar lembut sekali, bahkan kata sayang yang diucapkan terasa sangat tulus. “Emm, sebenernya Tante, Andin gak pacaran sama Genta. Tapi, gimana ya? Genta tuh di sekolah ngaku-ngaku kita pacaran, padahal awalnya tuh Mia yang suka sama Genta, makanya Andin dimusuhin Tan sama temen sekelas. Terus, Genta juga pernah bikin gosip kalau Andin hamil, padahal sumpah Demi Tuhan, Tan! Andin belum pernah berhubungan seksual! Dan yang tadi Tante liat, itu... itu Genta tiba-tiba nyamber, Tan,” aku sedikit lega ketika bisa menjelaskan semuanya ke Mamanya Genta. Sambil berdoa, semoga dengan bilang ke Mamanya ini, Genta bisa gak ganggu aku lagi. Ku lihat Mamanya Genta seperti berfikir, dan raut wajahnya terlihat sedih. “Sebelumnya Tante mau minta maaf karena Genta menyusahkan kamu ya, Din? Maaf banget. Tante gak tahu Genta lagi ada di proses apa sekarang ini. Satu yang Tante tahu pasti, dia berubah sejak Tante sama Papanya cerai,” ucap Mamanya Genta dengan nada sedih, dan aku hanya mengangguk kecil sebagai respon. “Genta cerita soal Papanya yang selingkuh,” kataku pelan. “Dia cerita sama kamu?” tanya Mamanya Genta terdengar terkejut mendengar ucapanku tadi. “Emm? Iya, tapi cuma itu doang,” “Dia gak pernah mau bahas ini, pas Tante cerai, Tante berusaha ajak dia ngobrol tapi dia gak mau. Kakaknya, Giandra bahkan memilih pindah ke luar negeri akibat perceraian ini. Tante kadang ngerasa bersalah sama mereka,” “Tan, tante gak salah kali, menyelamatkan diri dari orang yang udah khianati tante,” kataku pelan. Kulihat Mamanya Genta mengangguk, ia sebisa mungkin menghilangkan wajah sedihnya. “Balik lagi ke kamu sama Genta, kalau ada apa-apa, bilang tante ya Din? Kalau akhirnya mau mau pacaran sama Genta pun, tante gak masalah, atau kamu gak mau juga itu sepenuhnya gak kamu. Tante cuma mau kalian berdua hati-hati ya? Jangan lakuin hal yang merugikan diri kalian sendiri,” Aku mengangguk. Baru ketika Mamanya Genta akan bicara lagi, di luar terdengar suara motor yang memasuki halaman, dan gak lama Genta muncul dari pintu belakang. “Macet banget! Ada yang lagi pada olahraga, bikin penuh jalan,” keluhnya ketika bergabung bersama kami di meja makan. “Ini buat aku, Ma?” tanya Genta menunjuk piring di depannya yang berisi nasi goreng. “Iya, makan gih, Andin juga, tadi kan bilangnya mau makan bareng Genta kan?” ujar Mamanya, suaranya sekarang sudah berubah ceria. “Makan Din!” seru Genta, aku mengangguk. “Yaudah, mama tinggalin kalian berdua ya!” Mamanya Genta langsung beranjak dari kursi yang diduduki lalu naik ke lantai dua. Genta sendiri sudah mulai makan, jadi aku pun ikut makan juga, laper sih emang. “Mama ada bilang apa sama kamu, Din?” tanya Genta di sela-sela kunyahannya, membuatku berhenti sebentar. “Gak ada bilang apa-apa,” “Bohong!” “Kok bohong?” aku balik bertanya. “Ya gak mungkin aja Mama gak freak liat aku sama cewek di kamar,” “Ya emang engga, cuma dibilangin harus hati-hati aja,” “Good, itu tandanya kita direstuin, Din!” “Dih?” “Sampe kapan sih mau ngelak mulu? Aku tuh tahu loh, kamu suka juga sama aku,” “Itu sih kamu sok tahu yaa, bukan tahu!” seruku kesal, lanjut memakan nasi goreng ini, soalnya enak banget, sumpah! “Ya emang bener kok, kamu aja tidur manggil-manggil nama aku kok,” “Hah? Jangan ngarang!” “Serius! Aku kira kamu semalem kebangun Din, manggil aku, eh taunya kaga hahahahaha untung aku punya rekamannya!” Aku melongo, masa iya aku ngelindur manggil nama Genta? Aneh amat. Apa itu refleksi dari perasaan benci aku ke dia ya? “Sekarang aku makin aja punya bukti kalau kita emang beneran pacaran!” serunya dengan nada jahil. “Engga ya Gen! Engga!! Aku nggak pernah meng-iyakan apapun jenis hubungan kita berdua!” seruku marah. “Emmm, aku gak peduli,” Aku menahan emosiku, sumpah kenapa sih aku harus berurusan sama anak senyebelin dia? Kenapa ya Tuhan? Punya dosa apa aku nih? Tolong! *** Tbc~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN