Ketika aku melewati gerbang sekolah, kulihat banyak siswa berkerumun di sekitar mading, entah ada pengumuman apa hari ini sampai beberapa dari mereka rela berdesak-desakan untuk melihat pengumuman tersebut.
Karena tangga ke lantai dua dekat dengan mading, aku berusaha mencari tahu ada apa, dan anehnya ketika aku berjalan mendekat, kerumunan itu bubar, seperti menjaga jarak dariku.
Penasaran, aku langsung melihat mading, dan kaget saat melihat sebuah pengumuman yang menyertakan namaku di dalamnya.
Mulai hari ini siapapun yang menggangu, bergosip atau apapun yang gak jelas tentang IKRAMINA ANDINI GLADRI akan mendapat hukuman parah dari para alumni.
Ttd
Bobby Kemala Nugraha
Aku melongo, ini Kak Kemal yang bikin beginian? Astaga! Biar apa??
“Sok spesial banget emang, lama-lama jadi cringe!” kudengar ada seseorang berkata seperti itu di belakangmu, namun aku sengaja tak menoleh ataupun menyahuti orang tersebut, karena yang dia ucapkan itu benar.
Karena mading digembok, aku jadi gak bisa merobek pengumuman itu. Sebel banget! Sumpah!
Aku langsung berlari menuju tangga, menaiki anak tangga langsung dua-dua sekaligus, dan saat aku berada di koridor menuju kelas, banyak sekali mata yang mengikuti gerak-gerikku.
Tuhan, aku gak nyaman banget kaya begini!
Membuka ponselku, aku langsung mengetik pesan pada Kak Adam.
Me:
Kak
Temen Kakak bikin aku malu
Kukirim pesan tersebut tapi sayangnya tidak langsung dibaca oleh Kak Adam. Tuhan, aku merasa semakin hari semakin gak jelas aja hidup ini.
Kata orang-orang, masa-masa SMA itu akan jadi masa terindah selama hidup kita, tapi... kok aku merasa hidupku ini gak ada indah-indahnya?
Ada cowok psycho kaya Genta tuh gak nyenengin tau gak. Aneh, bikin takut.
Terus cowok sok kaya Irwan juga gak banget. Emmm, oke sih awalnya keliatan cool, tapi... cowok tuh sok berkuasa banget, baru cium sekali langsung merasa punya hubungan. Dih!
Sekarang Kak Kemal, setelah perlakuannya kemarin yang mendadak manis, eh hari ini malah bikin huru-hara di mading sekolah.
Huh!
Masalah ini selesai gak sih kalau aku pindah sekolah?
Bel tanda masuk kelas berbunyi, kelasku juga sudah ramai, sebisa mungkin aku berusaha tidak mendengar bisik-bisik teman kelasku. Aku tahu, mereka semua pasti sudah melihat pengumuman gak jelas yang dibuat oleh Kak Kemal.
Pak Yogi yang harusnya mengajar di jam pelajaran pertama belum juga masuk, jadi aku membuka ponselku. Ada satu pesan masuk, dari Kak Adam.
Adam❤:
Kemal?
Ngapain dia?
Bukannya tu anak gue suruh bantuin elu ya?
Menarik napas kesal, aku membalas pesan Kak Adam.
Me:
Bikin pengumuman di mading
Malu-maluin ih
Ada nama aku full
Tak lama, pesan tersebut langsung dibaca oleh Kak Adam, aku melihat notifikasi bahwa ia sedang mengetik balasan.
Adam❤:
Bagus dong?
Gak ada yang gangguin lo lagi?
Aku mendecak kesal membaca pesan itu. Enak banget Kak Adam bilang begitu?
Me:
Kak?
Kakak lupa apa rasanya jadi anak SMA?
Kaya begitu makin aja aku diomongin di belakang
Tadi aku denger ada yang bilang cringe
Balasan dari Kak Adam cepat dan singkat.
Adam❤:
Siapa?
Langsung saja kubalas bahwa itu tidak penting karena apa yang disebutkan oleh orang itu fakta. Aku setuju, aku pun merasa demikian.
Adam❤:
Nanti kita bahas ya
Gue ada kelas dulu nih
Bye!
Belajar yang bener Dek!
Aku menghembuskan napas panjang, mencoba mengendalikan kekesalanku pada Kak Adam, well... ke Kak Kemal juga.
Pak Yogi yang terlambat akhirnya masuk kelas dengan terburu-buru, beliau lalu mengulang materi minggu kemarin sedikit sebelum memberikan kami sepuluh soal yang harus dikumpulkan hari ini.
Dari yang kuamati, sepertinya Pak Yogi ada masalah. Terlihat dari ia yang selalu fokus pada ponselnya. Juga keringat yang mengucur sebesar butir-butir jagung.
Fokus pada soal yang diberikan, kukerjakan satu demi satu soal matematika ini, tadi Pak Yogi sudah menjelaskan materinya, beserta rumus-rumusnya, jadi gampang saja buatku mengerjakan sepulu soal yang diberikan.
Kelas mulai ramai, aku yakin anak-anak ada yang sudah selesai mengerjakan soal karena memang gak terlalu sulit. Melirik Pak Yogi, beliau masih sibuk dengan ponselnya. Entah apa masalahnya sampai ia tak memarahi anak-anak yang ribut di kelas padahal ada guru.
Ketika bel pergantian pelajaran berbunyi, ku lihat Pak Yogi tersentak, lalu menyuruh kami semua untuk mengumpulkan buku di meja guru.
“Andin? Mana Andin?!” Pak Yogi menyerukan namaku, aku sedikit bingung, namun mengacungkan tangan kanan ke atas.
“Saya Pak?” ucapku.
“Kamu bawa buku ini semua ke meja saya ya?” titahnya, aku mengangguk patuh.
Lalu, ketika Pak Yogi keluar kelas, aku beranjak dari kursi belajarku, berjalan pelan ke depan kelas dengan tatapan penuh dari anak-anak.
Kutumpuk semua buku tersebut, lalu membawanya, keluar dari kelas, berjalan pelan-pelan menuruni tangga.
Ruang guru itu, seperti yang sudah ku jelaskan, letaknya agak sedikit ke belakang, dekat dengan koperasi tempat si Agus berjaga.
Ketika aku sampai, ruang guru kosong, eh ada Pak Abdul deng, yang lagi sibuk.
“Din? Buku apaan tuh?” tanya Pak Abdul, beliau terlihat berdiri, siap-siap mengajar kelas berikutnya sepertinya.
“Matematika, Pak. Punya Pak Yogi,”
“Itu tuh, mejanya yang ada tempat pensil biru,”
Aku mengangguk, aku sudah tahu letak meja Pak Yogi, tapi tetap mengucapkan terima kasih pada Pak Abdul yang pamit keluar.
Ketika semua buku sudah kuletakkan di meja, aku berbalik dan melihat Pak Yogi yang tampangnya masih pucat seperti tadi memasuki kelas.
“Udah, Din?” tanyanya.
“Udah Pak, itu di meja Bapak, ya.” kataku pelan.
Pak Yogi mengangguk, kemudian tersenyum tipis. Entah kenapa, aku nih pengin nanya Pak Yogi kenapa. Tapi kok kaya gak sopan? Tapi.... Pak Yogi tuh orangnya santai, seperti Pak Andi sang Guru Olahraga, Pada Yogi termasuk kumpulan guru yang masih muda, single dan akrab dengan siswa.
“Pak, are you okay?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku, padahal aku tinggal melangkah keluar ruangan, eh malah berbalik buat nanya itu ke Pak Yogi.
“Kenapa? Keliatan ya?”
Aku tersenyum kecil.
“Bapak, kenapa?” tanyaku ulang.
“Duduk dulu deh, Din!” Pak Yogi yang sudah duduk di tempatnya menunjuk satu bangku kosong yang ada di depan mejanya.
Aku mendekat, lalu duduk di hadapan Pak Yogi. Biarin deh, telat masuk kelas Bu Suci, ini kayaknya seru. Udah lama aku gak interaksi sama orang.
“Sebenernya saya sengaja nyuruh kamu yang bawa buku, bukannya Fahrul yang notabene-nya ketua kelas. Ada yang mau saya tanyain sama kamu,” ucap Pak Yogi, suaranya sangat pelan sampai aku sedikit memajukan badanku agar mendengar ucapannya.
“Apa Pak? Ma-mau tanya apa?” aku jadi kikuk sendiri mendengar itu.
“Saya sempet denger rumor, soal kamu yang hamil dan melakukan aborsi,”
“Pak! Itu bohong!” seruku memotong ucapan Pak Yogi,
“Gak, saya gak mau judge kamu, gak mau bilang pergaulan anak jaman sekarang bla-bla-bla, waktu saya muda, kasus kaya gitu juga udah ada kok,”
Aku diam, bingung dengan arah pembicaraan Pak Yogi ini. Segala bilang waktu dia muda. Padahal yang aku tahu, Pak Yogi dan Pak Andi itu umurnya masih 26 tahun, itungannya masih muda dong ya? Karena kebanyakan guru di sekolah ini suah berkeluarga, punya anak, bahkan ada yang mau pensiun.
“Terus Pak?” tanyaku,
“Saya punya masalah, saya pengin nanya sama kamu, waktu itu aborsi di mana? Atau beli obat apa?”
Aku melongo. Astaga, jadi ini niatnya nyuruh aku bawa buku tugas? Mau nanya beginian? Dan... salah alamat atulah! Aku gak pernah aborsi, gosip murahan itu kan disebar oleh Genta tanpa bukti apapun.
“Sa-saya gak tahu, Pak! Sumpah demi Tuhan, saya gak tahu! Dan emang gak pernah aborsi juga Pak, itu gosip doangan,” kataku, bahkan sampai guru aja percaya dengan gosip yang dibuat Genta. Sedih banget aku.
“Bener? Saya gak mau marahin kamu kok, saya cuma lagi butuh aja,”
“Pak? Siapa yang hamil? Pacar Pak Yohi?” tanyaku, dan dengan berat hati ku lihat Pak Yogi mengangguk.
“Bapak kan udah cukup umur buat nikah, ya dinikahin aja sih Pak, pacarnya. Aborsi buat apa? Jahat tahu itu Pak, masa bapak gak sayang sama anak sendiri? Gak sayang sama pacar bapak?”
“Saya emang mau nikah sama pacar saya Din, tapi.... ini bukan anak saya. Di-dia diperkosa sama pamannya!”
Makin-makin aku melongo denger itu. Ya Tuhan, ama sodara sendiri? Apa rasanya? Sakit banget itu pasti!
“Ya laporin dong, Pak!” seruku kesal.
“Pacar saya gak mau, takut nama keluarganya jelek, takut hubungan keluarganya berantakan, dan... takut orang tua saya gak jadi merestui kami,”
“Pak, astaga.... bilang sama pacar bapak, gak usah takut! Yang harusnya takut itu si Paman Bejad itu, bukan pacarnya Pak Yogi!” seruku berapi-api, sumpah sih, kalau pacarnya Pak Yogi orang yang aku kenal, udah aku tarik dia ke kantor polisi buat bikin pengaduan.
“Gak segampang itu, Din. Banyak yang harus kami pikirkan,”
“Ya aborsi juga gak segampang itu Pak Yogi!” seruku kesal.
Pak Yogi masih terlihat pucat, kelihatan sekali kepalanya saat ini sedang sibuk memikirkan segala hal.
“Kalau emang Pak Yogi sayang sama pacarnya, kenapa gak akuin aja itu sebagai anak Pak Yogi?” bisikku pelan, entah Pak Yogi dengar atau tidak.
Pak Yogi tidak bereaksi. Ia masih melamun tak jelas. Aku kasihan sih liat tampangnya, tapi ya mau gimana coba?
“Tapi kalau Pak Yogi beneran mau aborsi, coba tanya Genta, Pak! Dia tahu kayaknya soal kaya gitu. Genta XI-IPA5,”
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku bangkit dari kursi yang kududuki, lalu keluar dari ruang guru. Sudah lima belas menit aku ketinggalan pelajaran ke dua. Bukannya masuk kelas aku malah menuju koperasi untuk membeli teh kotak.
“Heh! Belum istirahat juga!” Agus menegurku.
“Belum istirahat juga tetep lo layanin kan kalo ada yang jajan?” ledekku, Agus nyengir.
Setelah membayar, aku berjalan ke arah belakang sekolah, ketika melihat Lab-Biologi sepi, ku dorong pintunya dan masuk ke sana untuk menyendiri.
Aku diam, termenung, berdiri sambil memandang kosong ke tengkorak yang merupakan alat peraga untuk praktikum alat gerak tubuh.
Aku masih syok dengan cerita Pak Yogi. Masalah yang ia hadapi benar-benar masalah hidup yang sebenarnya. Dibandingkan masalah beliau, masalah aku ini ecek-ecek parah sih.
Ku tarik napas panjang-panjang, berusaha menguatkan diri sendiri. Dan sedikit membuat janji, bahwa aku gak bakal sakit lagi oleh semua gosip yang Genta buat.
Kalau bisa, aku akan melakukan rencana Kak Kemal. Kalau kemarin aku bingung siapa yang harus aku deketin. Kali ini aku tahu.
Sasaran ku harus yang lebih dari Genta. Lebih cakep, lebih tinggi, dan lebih segala.
Kandidat utama dan satu-satunya, tak lain dan tak bukan adalah orang yang mengusulkan rencana itu.
Orang yang namanya saat ini tertera di Mading sebagai orang yang akan membelaku.
Bobby Kemala Nugraha!
****
TBC~