19. PDKT

1699 Kata
Me: Kak? Di mana? Aku sengaja mengirim pesan ke Kak Kemal, biarin agresif, toh emang niatku mau deketin dia kok. Syukur-syukur rencana ini berjalan dengan baik. Enak juga aku, bisa terbebas dari Genta si psikopat! Tersenyum sendiri, aku senang ketika ponselku bergetar dan sebuah pesan masuk. Kak Kemal: Di kostan, Din Kenapa? Entah kenapa senyumku makin melebar, jadi langsung saja aku membalas chat tersebut. Me: Lha? Kok ngekost? Kan masih tinggal di kota yang sama Pesanku terkirim, langsung terbaca juga, tapi gak ada keterangan Kak Kemal bales. Yaah, bete kali ya dia sama aku? Tak berapa lama, ponselku kembali bergetar, bukan pesan yang masuk, tapi panggilan, dari orang yang sama. Tanpa basa-basi, aku langsung mengangkat panggilan tersebut. “Hallo, Kak!” sapaku, senang. “Hay, Din! Kenapa? Ada masalah kamu?” tanya Kak Kemal terdengar peduli. “Engga Kak, aku tuh mau bilang makasih, gara-gara Kak Kemal, gak ada yang gangguin aku lagi deh,” “Aman berarti dari si Genta?” tanyanya. “Insya Allah aman!” seruku, “Syukurlah!” “Kak Kemal lagi apa?” tanyaku, ingin percakapan ini makin panjang, biar teleponnya gak keburu ditutup. “Abis kelarin tugas, nih Din,” “Malem minggu? Nugas?” “Hahahaha kesannya ngenes banget ya?” kudengar tawa renyah di kejauhan sana, gak tahu kenapa aku malah jadi senyum-senyum sendiri. “Engga sih, cuma yaa kalau liat Kak Kemal gimana, terus denger lagi bikin tugas, kok kayaknya gak masuk gitu loh, Kak,” jawabku sambil tertawa kecil. “Astaga, dah lah, emang udah khatam aku dicap anak bandel gara-gara tampang. Aku masuk kampus ini bukan cuma karena tampang loh, Din.” “Hehehe tau, Kak Adam pernah bilang kalau Kak Kemal pinter. A smartass kalo kata dia sih,” “Kampret juga si Adam,” “Hehehehehe!” aku hanya tertawa kecil. “Gak main Din?” tanya Kak Kemal. “Engga Kak, di rumah aja nih aku,” jawabku pelan. “Main yuk? Baru jam 8 nih, boleh keluar gak sama Papa?” “Emmm kayaknya boleh sih,” “Yaudah aku otw ya Din?” “Iya Kak okay, aku siap-siap, tahu kan Kak rumahnya?” “Ya tahu lah, masa rumah sahabat sendiri gak tahu, ada-ada aja,” “Heheheh kan nanya,” “Okay aku otw yaa, see you!” Panggilan telepon pun terputus. Aku tersenyum senang karena rencanaku berhasil. Loncat dari kasur, aku langsung berganti pakaian, yang simple aja tapi rapi gitu. Setelah itu, aku beralih ke meja belajar, di meja belajar ku ada sedikit peralatan make-up, jadi ya aku dandan dikit lah yaa, pake lip-balm juga biar bibir gak kering. Selesai, aku mengambil tas, memasukkan dompet dan ponsel ke dalamnya, lalu keluar dari kamar. Di ruang keluarga, ku lihat Papa sedang asik menonton pertandingan bola. “Pa? Andin keluar ya?” aku duduk di samping Papa, izin tentu saja. “Eh? Udah malem, mau kemana?” “Main bentar, sama Kak Kemal,” jelasku. “Kemal? Kemal temennya Adam?” tanya Papa, dan kujawab dengan sedikit anggukan kepala. “Yaudah, tapi jam 11 harus udah di rumah ya? Gak ada tuh nginep rumah temen, apalagi kamu mainnya sama cowok! Lebih tua pula, hati-hati!” Papa memberi wejangan tentu saja. “Siap Boss, bakal terus hati-hati. Kalo ada apa-apa langsung telepon Papa, Mama atau Kak Adam!!” seruku menambahkan, biar Papa tenang dan gak khawatir. “Oke deh kalo gitu, ini kamu nunggu Kemal dateng?” “Iya, Pa. Tadi sih bilang udah otw,” kataku, sesuai dengan ucapan Kak Kemal. Papa mengangguk, kemudian fokus kembali pada tayangan bola. Sekian menit aku duduk bersama Papa sampai ku dengar sebuah panggilan dari luar. “Andin?!” seru sebuah suara dari luar. Suara Kak Kemal. “Pa, itu Kak Kemal! Andin pamit ya?” “Bentar, Papa ikutan!” Papa bangkit berdiri, dan kami berdua pun berjalan menuju pintu keluar. Di luar, sudah ada Kak Kemal berdiri di depan pagar. Kami saling tersenyum ketika tatap beradu. “Malem, Om!” seru Kak Kemal dengan sapaan yang terdengar akrab. “Kemal, ayok sini masuk!” ujar Papa sambil membukakan pintu pagar. “Iya Om, makasi,” sahut Kak Kemal, ia lalu masuk ke halaman rumah, mendekat ke arah teras. Aku yang masih diam di depan pintu tersenyum manis padanya. “Mau ke mana kalian?” tanya Papa ketika sudah berdiri di sampingku. “Jalan-jalan aja sih Om, mumpung cuaca bagus, atau paling kalau Andin mau jajan ya cari jajanan,” jawab Kak Kemal santai. “Yaudah, tapi jam 11 malem harus udah di rumah ya Mal?” ujar Papa lembut. “Siap Om kalau itu!” seru Kak Kemal. “Yaudah, hati-hati yaa!” seru Papa. “Pamit Pa!” aku yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Mengambil tangan kanan Papa, aku langsung mencium punggung tangannya, salim. Kak Kemal melakukam hal yang sama, lalu kami pun pamit keluar rumah, di depan rumah sudah menunggu motor Kak Kemal. “Pake helm ya, Din!” ujar Kak Kemal, ia memberikanku helm yang biasanya dia pakai, ia sendiri gak tahu deh pake helm siapa, gak pernah lihat Kak Kemal pakai helm hitam. Biasanya sih ya ini, helm putih yang saat ini sudah nyantol di kepalaku. Kemudian kami berangkat, motor Kak Kemal membelah jalanan kota di malam hari. Tadi sore tuh kan turun hujan yaa, jadi suasana kotaku ini jadi lebih syahdu. Sinaran lampu jalanan aja bahkan terlihat sangat romantis. Belum lagi bola pembatas jalan yang bersinar karena terpantul cahaya, makin-makin bikin suasana uhuy banget. “Kamu mau sesuatu gak Din?” tanya Kak Kemal ketika motor berhenti di lampu merah. “Emmm, apa ya? Katanya deket kampus Kakak jajanannya enak-enak, rekomen dong?” “Pempek mau?” tawarnya. “Boleh deh, setengah porsi aja tapi ehehehe aku udah makan malem,” jawabku. “Okee deh, kamu pegangan ya!” ucapnya dengan nada yang lembut. Aku senyum-senyum sendiri mendengar itu, tapi ya nurut, aku pegangan ke bagian pinggir baju Kak Kemal ketika motor kembali berjalan. Kak Kemal mengarahkan motornya ke pinggiran kota, daerah kabupaten lebih tepatnya, tempat kampusnya berada. Aku sendiri sangat menikmati perjalanan ini, jadi terbawa suasana dan tanpa sadar menyandarkan kepalaku ke punggungnya Kak Kemal. Lalu, aku agak sediiit kaget saat Kak Kemal menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya. Kami gak ada yang bicara, aku terlalu malu, sedangkan Kak Kemal? Entah lah. Aku gak tahu. Sekian belas menit di jalan, akhirnya kami sampai. Kak Kemal memarkirkan motornya di lahan parkir yang tersedia. “Ayok Din!” ajak Kak Kemal, lalu ketika aku turun dari motor, ia membantuku melepas kaitan helm yang kukenakan ini. Bikin aku jadi deg-degan. “Wihh, rame banget!” seruku sambil menatap lokasi tempat jajanan yang tersedia. Seperti yang sudah pernah aku bilang. Penataan daerah tempat tinggalku ini rapi sekali. Tidak ada warung tenda dadakan di pinggir jalan, ataupun semacamnya. Semua sudah disediakan tempat untuk berjualan, lengkap dengan tempat parkirnya agar kendaraan tidak berantakan selama kita berwisata kuliner. “Yok! Kamu mau apa aja ada, tapi yang paling juara sih pempek-nya, Din!” ujar Kak Kemal. “Okay!” Karena lokasinya agak sedikit menyebrang jalan, Kak Kemal menggandeng tanganku ketika kami akan menyeberang dan masuk ke kawasan pujasera. Dan tahu apa? Di udara malam yang dingin ini, bisa kurasakan telapak tangan Kak Kemal keringetan. “Pesen pempek-nya boleh setengah porsi kan Kak?” tanyaku memastikan, setelah melihat banyaknya penjual makanan yang keliatannya enak-enak, aku bakal makan banyak nih roman-romannya. “Boleh? Emang kamu mau pesen apa aja? Bingung pasti ya?” “Iya Kak, banyak banget, ehehehe! Dulu pernah diajak Kak Adam ke sini, tapi gak serame ini.” “Emang baru diperluas sih tempatnya, sebelumnya kan agak berantakan di bagian belakang, banyak ilalang, sekarang udah dibikin rapi, dipasang paving-block, dikasih tanaman yang asri per berapa meter,” jelas Kak Kemal. “Bener, pantes jadi bagus banget, dan rame banget!” seruku antusias. “Ayok! Kamu mau pesen apa?” tanya Kak kemal. “Bingung aku Kak, emm pempek sih udah pasti, abis Kakak bilang enak sih,” “Gini aja, kalo mau makan banyak, kita pesen satu porsi aja, jadi makannya berdua. Biag gak terlalu kenyang, dan gak jadi mubazir kalau pesen sendiri-sendiri terus masih sisa,” usul Kak Kemal. “Boleh tuuh!” “Kamu anaknya gak jijik-an, kan?” “Tenang Kak, aku tuh Kak Adam, cuma versi cewek aja!” sahutku. “Oke mantap, yuk, dari yang paling ujung!” Bener aja dong, kami menyisir satu per satu kedai penjual makanan yang ada. Mulai dari takoyaki, martabak mini, roti kukus, sampe bakso bakwan, dan tentu saja, pempek yang kata Kak Kemal enak. Meja kami penuh oleh makanan, aku dan Kak Kemal duduk bersisian, gak berseberangan biar makannya bareng dan gak ribet. “Save the best for the last, apa gimana nih?” tanya Kak Kemal. “Emmm, iya pempek terakhir aja. Kalo enak dimakan duluan nanti ekspektasi kita ketinggian ke makanan yang lainnya,” “Pinter!” Mendorong sedikit piring berisi pempek, aku menarik mangkuk bakso bakwan, biar dimakan pertaka deh yaa, pas kuahnya masih anget. Kalau nanti dingin kan jadi gak enak. Aku dan Kak Kemal sudah siap dengan sendok masing-masing, dan tanpa aba-aba kami pun menerjang mangkok bakso di depan kami. Asli sih, baksonya enak, bakwan, pangsit dan komdimen lainnya tuh pas. Kuahnya juga angetnya enak, gurihnya pas, dan gak keliatan berminyak. Sumpah sih, enak! Ini bakso bakwan terenak yang pernah aku makan. Kalah dah bakso abang-abang yang suka lewat depan rumahku. “Enak Kak baksonya!” “Iya, emang ini bakso bakwannya terkenal kok!” sahut Kak Kemal. “Pantes lah, enak! Dia buka dari jam berapa sampe jam berapa?” tanyaku. “Emmm, kalo gak salah sih dari siang sampe malem, tapi gak tahu tuh kalo malemnya jam berapa,” “Okeh! Entar kapan-kapan aku mau ke sini ahh!” “Kalo mau bilang aja, nanti aku temenin, Din. Atau kalau mager keluar rumah, ya aku bawain ke rumah,” asli, Kak Kemal baik amat ya? Aku tersenyum menanggapi ucapannya, lalu mengangguk kecil. Dalam hati, aku tersenyum senang, sedikit berdoa supaya Kak Kemal beneran naksir aku. Biar aku bisa merdeka dari Genta. Please, please, please Kak Kemal, suka dongs sama aku! Heheheheheh. *** Tbc~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN