2- Maaf

1302 Kata
2.Maaf Dita duduk di taman tidak jauh dari rumahnya. Dengan pakaian yang masih sama. Dia bahkan belum sempat menggantinya. Dia tidak sempurna, dia paham bahwa itu menjadi kekurangannya. Menikah dengan Firdaus, awalnya membuat Dita senang. Namun lama-lama ibu mertuanya dan Bella semakin mengolok-olok dirinya yang tidak kunjung hamil. Kebencian itu semakin hari semakin bertambah. Dita tidak tahu harus mengeluh kepada siapa. Ibunya di kampung pasti akan merasa sedih mengetahui dirinya seperti ini. Bahkan kepada ibunya, Dita tidak pernah melakukan yang terbaik. Setiap membeli kado, Dita membeli yang termurah. Itu benar-benar menyakiti hatinya. Namun apa yang harus Dita lakukan? Uangnya habis untuk membayar semua isi rumah. Dia dan Firdaus sepakat membeli rumah setelah melangsungkan pernikahan. Suaminya bertanggung jawab atas tanah dan gedung. Lalu dia bertanggung jawab dengan semua isi dari gedung, mulai dari keramik, lemari dan segala jenis furniture yang bahkan dipilihkan oleh ibu mertuanya. Gajinya tidak sebanding dengan Firdaus. Apalagi untuk belanja bulanan, harus Dita yang memutar otak ke sana kemari. Rasanya pernikahan mereka mulai hambar. Dita menghapus jejak air matanya dan menghela nafas panjang. Dia tidak ingin menyerah sampai di sini, biar bagaimanapun juga, Firdaus adalah sosok lelaki yang setia dan layak untuk diperjuangkan. Dita akhirnya pulang, namun tidak menemukan kedua iblis—ya dia menyebutnya begitu—di dalam rumah. Barang-barang mereka juga sudah rapi, dan itu artinya sepertinya mereka sudah pulang. Dita senyum legah, setidaknya malam ini dia tidak akan mendengar ocehan mereka. “Kau puas?” Suara itu menghentikan langkah Dita yang hendak menuju kamar. Dia menatap suaminya tengah duduk di sofa, menatapnya tanpa ekspresi. “Mas, ada apa?” “Aku bertanya, apa kau puas melihat keluargaku tidak berada di rumah ini?” Menghela nafas panjang, Dita berjalan ke arah sang suami berada. “Apakah pernah aku mengatakan hal itu?” Firdaus memijat keningnya kasar. Beberapa menit dia berusaha untuk memendam rasa marahnya. Dia memang tidak tahu masalahnya dimana, tapi menurutnya Dita sudah mulai melunjak dan semakin tidak sopan pada ibu dan adiknya. Tapi daripada menambah beban hidupnya, Firdaus menarik Dita untuk duduk di atas pangkuannya. Memeluk istrinya itu erat, dan meletakkan kepalanya di bahu sang istri. “Maaf.” “hmm?” Dita cukup terkejut sebenarnya. Suaminya itu sudah lama tidak manja padanya. “Tadi aku membentakmu. Aku merasa begitu marah, jadi aku lepas kontrol. Apalagi tadi di rumah sakit Justin menuduhku lagi melakukan kecurangan di vote untuk naik jabatan. Padahal aku sama-sekali tidak melakukannya.” Senyuman di wajah Dita mengembang. Tangannya mengelus rambut suaminya, perasaannya jauh lebih baik sekarang. Dia tahu bahwa suaminya pasti sedang sibuk. “Maaf juga tadi aku membalas pesanmu singkat. Aku tidak bermaksud begitu.” Firdaus menatap Dita dengan sendu. Perminta maafannya memang murni karena dia merasa bersalah. Tadi Firdaus keluar untuk mencari angin, dan tidak sengaja melihat bahwa istrinya sedang menangis di taman. Dia tidak berani mendekat, dan membiarkannya di sana. Firdaus baru kembali setelah Dita lebih baik. “Hey…tidak apa-apa mas. Mungkin aku saja yang terlalu emosional hari ini.” Dita senyum. “Oh iya, perkataan ibu dan Bella tidak usah dimasukkan ke dalam hati. Lain kali aku akan mengingatkan mereka untuk tidak membahas soal anak saat makan atau saat bersamamu. Biar bagaimanapun, aku tahu bahwa kita berdua yang kurang.” Perasaan Dita senang. Dia mengangguk dan memeluk sang suami. Namun merasakan sesuat di balik bajunya, Dita mulai meremang dan merasa geli. Tangan Firdaus sudah kemana-mana. “Mass minta ya malam ini.” “Iya, tapi Dita mandi dulu ya mas. Dari tadi gak sempat mandi gara-gara harus masak.” “Kita mandi bareng aja gimana?” Bak masih ABG, Dita memalingkan wajahnya yang pasti sudah memerah. Dan tanpa menunggu persetujuannya, Firdaus sudah bangkit lebih dulu dan membawanya ke dalam kamar mandi. Dita hanya pasrah, karena suaminya itu pasti menginginkannya malam ini. Begitupun dia. *** “Dita, pasien dari kamar 82 butuh bantuanmu.” Aminah, wanita yang lebih muda 2 tahun dari Dita seenaknya menyuruhnya. Ratna yang kebetulan sedang sibuk tidak bisa membantu Dita. “Oh iya, pasiennya mengeluhkan apa, Nah?” Memutar bola matanya malas, Aminah duduk lebih dulu. “Tadi katanya infus yang baru dipasang agak sakit. Padahalkan memang awalnya sakit, dia saja yang banyak maunya. Dasar wanita tidak tahu diri dia. Aku tidak bisa mendengar teriakan konyolnya, kau saja ya pergi ya.” “Baiklah. Tapi tolong kerjakan laporan medis ini ya, nanti dokter Justin akan menagihnya.” “Ya.” Dita segera bangkit dan pergi menuju lantai 3. Begitu tiba di ruangan itu, Dita ditatap dengan garang oleh seorang wanita yang sepertinya sudah lanjut usia. Membaca catatan medisnya lebih dulu, baru Dita berani menatap wanita tua tadi. “Maaf ibu Sunah, apa yang ibu butuhkan? Apa perasaan ibu ada yang kurang enak?” “Dimana perawat yang tadi? Kenapa jadi kau yang datang? Aku heran dengan rumah sakit ini. Biaya pengobatannya mahal namun tidak sebanding dengan jasa pelayanannya. Panggilkan aku dokter, lebih baik berbicara dengan mereka. Apalagi dengan perawat seperti mu, sudah pasti kau tidak paham perasaanku.” Menghela nafas, Dita tetap tersenyum. Bukan sekali dua kali dia menghadapi pasien yang seperti ini. Tapi sudah berpuluh kali. Jadi dia tidak akan gampang sakit hati. “Ibu…jadwal ibu untuk kunjungan dokter sekitar 1 jam lagi. Sebelum itu, bisakah anda menceritakan apa yang salah?” Dita mendekat, dan memeriksa selang infus. Sunah mendadak merasa bersalah. Padahal dia sudah membentak, namun melihat reaksi Dita, Sunah jadi paham bahwa tidak semua perawat seperti sosok yang tadi dia temui. “Tangan saya pegal karena di infus. Perawat tadi bilang itu wajar, dan pergi begitu saja tanpa menjelaskan kenapa. Saya ingin pelayanan yang tidak sakit, perawat Dita.” Wajah Dita hangat. Dia mengambil tangan Sunah dan mengelusnya. “Ibu sangat kuat bisa bertahan sampai di tahap ini. Tapi apa yang dikatakan perawat tadi memang benar. Akan terasa pegal jika di infus, dan itu normal. Semahal apapun pelayanannya, infus akan tetap terasa sakit bu. Jadi jangan habiskan uang anda untuk infus saja.” Bisik Dita di akhir, tidak lupa dengan senyumannya. Perlahan Sunah melunak. Dia tidak bisa menolak kelembutan sosok di depannya. “Benarkah?” “Ibu tidak percaya?” Dita bangkit, lalu membuka gorden yang menjadi penghalang Sunah dari beberapa pasien lainnya. “Lihatlah mereka, dan jika mau, anda boleh bertanya bagaimana perasaan mereka ketika di infus.” Beberapa wanita lansia tersenyum sambil mengangguk. Mereka memang mendengar suara Dita dengan jelas. “Jadi…bukan hanya saya yang merasa sakit?” “Aish…dasar anak muda. Lihatlah badanku yang sudah rentan ini, awalnya aku juga merasa sakit ketika di infus. Kamu pasti baru kali ini kan di rawat di rumah sakit?” wanita tua di sebelah ranjang Sunah berbicara sambil terkekeh. “Kau masih muda, cantik sekali. Ahhh…aku ingin merasakan masa mudaku dulu.” “Anda bisa saja.” “Dia benar.” Sosok yang berada di depan ranjang Sunah membenarkan. Mata Sunah berkaca-kaca. Ini memang kali pertama dia dirawat di rumah sakit dan menjalani pengobatan. Selama ini dia menyembunyikan penyakitnya dan rasa sakit yang dialami dari keluarganya. “Perawat, terima kasih ya sudah memberikan pengertian. Kau sabar sekali.” “Tidak apa bu, ini kan sudah menjadi tugas saya.” Dita ikut tersenyum. “Kalau begitu, saya keluar dulu ya bu. Masih ada pekerjaan yang harus saya lakukan. Dokternya juga akan segera datang.” “Kenapa bukan kamu yang merawat saya nak?” “Bu, semua sudah diatur oleh sistem. Saya pamit dulu ya.” Sunah mengangguk. Tersenyum menatap punggung Dita yang sudah pergi dari ruangan mereka. “Dia sangat baik, bahkan tidak pernah marah. Aku sangat menyukai perawat itu, dia tidak seperti perawat lain yang sangat sombong.” Pembicaraan itu membuat Sunah sadar dengan kesalahannya tadi. Dari raut wajah Dita, dia bisa merasakan bahwa wanita itu sangat baik dan lembut. Tidak bermuka muda. Semua tindakan wanita itu memang tulus sekali. Perlahan Sunah menghapus jejak air matanya. Dia masih bersyukur karena diberi kesempatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN