1- Nyonya Lim dan Bella
Anindita, sudah selesai dengan pekerjaan kantornya dan bersiap untuk pulang. Hari ini dia kedapatan shift pagi, jadi bisa pulang lebih awal. Sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada suaminya. Namun jawaban singkat lagi-lagi harus membuatnya kecewa.
Apa aku ke ruangannya saja? Dita membantin.
“Dit, kamu belum pulang?”
“Ini mau pulang mbak, ada apa ya?”
Dita mengerutkan keningnya saat sosok sesama perawat di depannya tidak memberikan jawaban. Namun dari raut wajahnya, Ratna seperti ingin mengatakan sesuatu padanya. Dita mencoba menebak apa yang sekiranya membuat Ratna bengong di hadapannya.
“Boleh ikut saya ke taman belakang tidak? Sebentar saja, tidak lama kok.”
“Sebenarnya ada apa sih mbak? Kok kayaknya mbak ketakutan banget?” Dita tidak enak hati untuk menolak. Akhirnya dia mengikuti Ratna.
Tidak ada pikiran negatif, karena Ratna adalah temannya sudah lebih dari 3 tahun. Lebih tepatnya sejak dia diterima bekerja di rumah sakit itu. Wanita itu sudah berkepala tiga, dan punya 3 anak laki-laki yang menggemaskan.
Gerak gerik Ratna sedikit membuat Dita ragu.
“Dit, sini cepet.”
“Ada apa sih mbak?”
“Sini…lihat ini. Kamu sudah tahu kabar ini belum?”
Segera setelah mereka tiba di taman belakang, dan Ratna memastikan bahwa keadaan baik-baik saja. Barulah dia mengeluarkan ponselnya, dan sebuah gambar berada di sana.
Itu adalah gambar dari Firdaus—suami Dita, yang tengah bersama dengan Dokter Lady. Salah satu dokter yang berpengaruh besar di rumah sakit. Dokter Lady adalah putri manajer umum rumah sakit, itulah sebabnya Ratna tidak mau membicarakannya di lobby padahal bisa saja. Namun dia masih memikirkan dirinya sendiri, dan juga Dita.
Jika foto itu tidak mengandung unsur kecurigaan, Ratna tidak akan peduli. Namun kali ini dia sedikit curiga.
“Lihat, suami kamu memegang tangan dokter Lady. Apa kamu masih diam saja melihat ini?”
Dita diam. Foto itu menunjukkan bahwa suaminya tengah memegang tangan dokter Lady. Terlihat keduanya baru keluar dari coffee shop.
“Mbak, mungkin itu kebetulan doang kali. Atau pas mbak Lady hampir jatuh jadi suami saya ga sengaja megang.”
Terdengar decakan kesal dari Ratna. Inilah yang dia benci dari seorang Anindita. Pemikiran wanita satu itu terlalu positive, di saat sudah ada bukti yang jelas. Bukan hanya sekali dua kali Ratna mendengar anak-anak perawat lain membicarakan bahwa Firdaus dan Lady sedang menjalin hubungan. Tapi sudah berkali-kali. Namun selama ini, tidak ada respon dari Dita—sang istri sah.
Itu membuat Ratna merasa marah. Dia mengenal Dita dengan baik, dan dia tidak akan membiarkan Dita diam saja.
“Kamu ini gimana sih, Dit? Mbak mau nanya, apa hubungan kamu dengan Firdaus baik-baik saja?”
Dita mengangguk. “Baik kok mbak. Udah deh mbak, ga usah ditanggapi desas-desus itu. Lagian mas Firdaus orangnya juga setia kok. Kami itu loh mbak udah nikah 5 tahun lebih, tapi Firdaus gak pernah selingkuh dari aku.”
“Ini lah yang mbak gak suka dari kamu, Dita. Ucapan lelaki itu tidak bisa dipercaya. Mereka mah pas ada maunya aja langsung keluarin kata-kata manis. Dasar buaya. Gini loh ya, mbak udah mewanti-wanti kamu dari sekarang, jadi sebisa mungkin kamu itu harus cari tahu berita itu benar atau enggak. Mustahil ada berita tanpa ada kejadian. Jadi…demi kebaikan kamu, sebaiknya bicarakan hal ini baik-baik dengan suami kamu lebih dulu.”
“Iya mbakku yang cantik.” Dita tersenyum tulus. Tidak ada raut wajah kebencian di matanya.
“Kan, jadi buat mbak salah tingkah lagi kamu puji begitu. Sudah ya, mbak mau pulang duluan. Kalo perawat yang lain minta tolong sama kamu. Tolak aja. Jam kerja kamu sudah selesai.”
Nyatanya Dita tetap membantu ketika salah satu perawat meminta bantuannya. Ratna yang kebetulan masih menunggu grabnya di lobby jadi geram. Di satu sisi, dia merasa kasihan dengan Dita. Wanita itu sebenarnya cantik, bahkan bisa menjadi wanita tercantik jika berdandan sekali saja.
Baginya, Dita seperti adiknya sendiri. Dita itu kurang percaya diri, dan sangat baik. Orang lain sering menyalah gunakan kebaikan Dita untuk kesenangan mereka pribadi.
Tidak tahan dengan situasi itu, akhirnya Ratna kembali menghampiri Dita.
“Dita. Ada yang menunggu kamu di depan, kayanya ini urgent. Ayo cepat, bawa tas kamu juga.”
Sosok perawat yang tadi menyuruh Dita langsung memutar bola mata malas. Dia tahu jika itu hanyalah akal-akalan Ratna seorang.
“Siapa ya, mbak?”
“Sudah, ayo saja.”
Tidak membuang waktu, Ratna menarik Dita keluar dari sana. Setibanya di depan lobby, Dita mencari siapa sosok yang mencarinya. Namun tidak ada sama-sekali. Dia akhirnya paham bahwa itu hanyalah alasan Ratna untuk membawanya keluar dari sana.
Hati Dita sedikit menghangat, Ratna memang seperhatian itu padanya.
“Mbak, makasih ya.”
“Sudah mbak bilang, kamu harus berani bilang ‘TIDAK’ dan ‘GAK DULU’. Jangan iya-iya aja semua. Grab mbak sudah datang, duluan ya. Mbak udah pesen juga buat kamu.”
Dita tersenyum dan melambaikan tangannya. Dia akhirnya bisa pulang. Namun bagi Dita, lebih baik jika dia lebih lama di rumah sakit. Tujuan awalnya adalah untuk menunggu suaminya, agar mereka bisa pulang bersama. Tapi sepertinya dia tidak ada kesempatan hari ini juga.
Selama menikah, Dita menyadari bahwa dia dan Firdaus seperti orang asing di tempat kerja. Padahal rumah sakit tidak melarang hubungan romansa. Suaminya itu saja yang mengatakan untuk membatasi hubungan mereka.
Bahkan hanya beberapa orang saja yang tahu jika Firdaus adalah suaminya.
Terkadang bahkan dia ditertawakan, dianggap menghalu terlalu parah.
***
Dita tiba di apartemen. Lampu sudah menyala, itu artinya ibu mertuanya sudah ada di dalam. Perasaannya semakin tidak enak. Begitu dia masuk, pemandangan memakan hati sudah ada di depan matanya.
Ibu mertuanya—Nyonya Lim, dia menyuruh Dita memanggilnya begitu—sedang duduk di sofa sambil menikmati kuaci. Lalu adik iparnya—Bella, juga sudah di sana. Keduanya menatap Dita dengan wajah judes. Bella segera bangkit dari sofa, dan pergi ke dapur.
“Kenapa pulang lama sekali? Apa kamu tidak tahu waktu dan sengaja huh? Ini sudah sore, dan tidak ada makanan sama-sekali. Bagaimana bisa Firdaus memiliki istri seperti kamu?”
Menelan ludahnya kasar, Dita menundukkan wajahnya. “Maaf Nyonya Lim, tadi pekerjaan saya di rumah sakit sedikit padat.”
“Halah, alasan aja itu, ma. Bilang aja kakak ipar tidak mau memasak untuk kita kan? Seharusnya abang tidak menikahi wanita cacat itu.” Dengan sarkasnya Bella mengolok Dita.
Nyonya Lim jadinya ikut tersulit emosi. Dia membanting remot. Hampir saja mengenai Dita jika wanita itu tidak menghindar. Buru-buru Dita memungut remote itu dan memberikannya kembali. Segera melepas tasnya dan pergi ke dapur.
Bella mengamati dengan tidak suka. Sejak awal dia tidak setuju abangnya menikah dengan Dita. Terlebih sekarang telah terbukti bahwa Dita itu tidak subur. Sudah jelek, tidak bisa punya anak lagi. Dia merasa kehidupan abangnya sia-sia. Selain itu, jabatan Dita juga lebih rendah dari abangnya.
“Dasar mandul.” Guman Bella dan melengos lagi dari dapur. Sama-sekali tidak membantu.
Tangan Dita mengerat. Rumahnya terasa seperti neraka. Ibu mertua dan adik iparnya selalu datang setiap hari dengan alasan ingin menjenguk Firdaus. Lalu ketika suaminya itu tidak ada, disitulah dia merasa dirinya sama-sekali tidak memiliki harga diri. Jika bukan karena Firdaus, Dita tidak bisa tinggal diam. Air matanya menetes karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Segera dia memasak dan berusaha kuat.
Makanan Dita sudah dia sajikan di meja makan. Namun lagi-lagi dia harus makan hati karena ibu mertuanya sudah lebih dulu memesan makanan dari luar.
“Nyonya Lim, ini saya sudah selesai masak.”
“Buang saja makanan kamu itu, benar-benar tidak bisa dimakan. Kau pikir kami ini anjing?”
Prang
Bella melempar piring itu. Bersamaan dengan pintu yang baru saja terbuka. Firdaus dengan wajah lelahnya terkejut, lalu menatap ketiga orang yang sepertinya lagi-lagi sedang berseteru. Dia menghela nafas, dan menatap Dita. Yakin sekali bahwa yang memulai gara-gara adalah istrinya itu.
“Nak? Ya Tuhan, duduklah. Kamu pasti sudah lelah bekerja seharian. Ibu membeli makanan dari luar, istrimu sejak tadi marah karena ibu memintanya memasak. Bahkan dia membanting makanan itu, lihatlah.”
Dita benar-benar menghela nafas kasar. Dia mengepalkan tangannya, dia sekarang mendapat penghinaan?
“Iya…aduh kakak ipar, kalo tidak tulus memasak, tidak usah memaksakan. Sini, biar Bella yang mengurus kepingannya.” ujar Bella dan segera memungut pecahan kaca itu.
Emosi Firdaus sudah di ubun-ubun. Dia menarik Bella agar menjauh dari pecahan kaca itu. Lalu memastikan bahwa tangan adiknya itu tidak ada yang tergores. Lalu dia berbalik dan menatap Dita dengan kesal.
Tidak ada yang dia katakan, selain membersihkan serpihan piring kaca itu. Bella dan nyonya Lim menatap Dita dengan tatapan membunuh.
Acara makan malam sudah berlangsung. Di bawah perintah dari Firdaus, akhirnya Dita ikut bergabung di meja makan. Wajahnya memerah, menahan tangis. Dia ingin sekali mengatakan bahwa ibu mertuanya itu sudah kelewatan di depan suaminya.
“Nak, kalo memang kalian tidak senang ibu dan Bella ada disini, tidak usah sungkan untuk mengatakan hal itu pada ibu. Datang ke rumah anak ibu, membuat ibu tidak enak hati. Apalagi sekarang kan kamu sudah berkeluarga. Jadi….”
“Siapa yang berkata begitu, bu? Rumah Firdaus rumah ibu juga. Jangan pernah sungkan untuk datang kemari. Dan kau Dita, tolong, aku memohon padamu. Bisakah kau memperlakukan ibuku seperti orang tuamu?”
Situasi di meja makan mulai menegang. Dita sedari tadi tidak berani mengangkat wajahnya.
“Sudah…sudah, tidak usah memperpanjang masalah.”
“Tidak bu, aku tidak bisa membiarkan istriku bertindak sopan pada ibu.”
“Mas…” Dita menelan ludahnya kasar, matanya sudah memerah karena menahan tangis. Sejak tadi, dia menjadi sasaran empuk dari mertua dan adik iparnya. Kepalanya panas, dan emosinya semakin meledak-ledak. “bukannya tidak bermaksud begitu. Aku paham jika kita belum punya anak, dan anda Nyonya Lim, selalu mengolok saya. Bahkan memutar balikkan fakta, siapa yang melempar….”
“CUKUP.” Firdaus berteriak marah.
Dita kembali menunduk, dan air matanya sudah mengalir. “Jangan pernah berkata begitu lain kali.”
Tanpa menghabiskan makannya, Firdaus pergi dari sana. Nyonya Lim dan Bella kembali menatap Dita dengan tatapan marah. Mengabaikan keduanya, Dita lekas pergi ke luar sambil membawa ponselnya. Dia butuh udara segar agar tetap waras dan tidak bertindak bodoh.
Suaminya pasti akan lebih pro terhadap mertuanya. Jadi apapun pembelaan yang dia lakukan, akan terasa sia-sia. Inilah alasan Dita selalu meminta pada Firdaus agar mengganti pin rumah. Namun suaminya itu langsung berburuk sangka padanya. Dia hanya tidak suka mertuanya itu sudah ada di rumahnya sehabis dia pulang bekerja.
Ini benar-benar tidak adil baginya.