Part 3 (Pertemuan di hati yang runtuh)

1000 Kata
................. Luntur sudah topeng kokoh yang menutupi wajahnya. Sambil mengendarai mobilnya, Ziyan tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi dia tahan "Ayah..." bisiknya parau. Nama itu terasa begitu berat. Ibunya sudah lama meninggalkan Ziyan dan Ayahnya dalam kesepian. Ayahnya adalah satu-satunya kebahagiaan Ziyan, pernikahan Ziyan, adalah hal yang membuat mata tua Ayahnya bersinar lagi. Ziyan ingat setiap akting Arga yang sigap memijat kaki Ayah yang sakit setelah pensiun dan Arga yang selalu berkata dengan lembut, "Ziyan adalah segalanya bagiku, Yah. Aku akan menjaganya seperti permata." Ayahnya begitu percaya. Ia bahkan sering berkata pada Ziyan, "Arga adalah anugerah setelah kepergian Ibumu, Nak. Jangan pernah sakiti dia." Mengingat itu, Ziyan langsung menangis kencang. "Kenapa aku percaya kalau kamu akan berubah ,Mas..hiksss...." "Kamu memang bodoh ,Ziyan .Hikss...." "Kamu memang naif .Hiksss...." teriaknya, suaranya pecah. "Tidak. Aku tidak bisa menghancurkan Ayah,aku akan mencoba sekuatku untuk bertahan .Sebentar lagi ..." putusnya. Sekarang dia menjadi lebih kuat dan membalaskan rasa sakit di hatinya ini , tapi ia harus melakukannya dengan diam. Ia memilih untuk menanggung rasa sakit sendirian, membiarkan Ayahnya tetap hidup dalam ilusi pernikahan bahagia, daripada menanggung kehancuran hati Ayahnya. Mobilnya melaju kencang, menembus malam. Ia kini sendirian, seorang wanita yang bukan hanya kehilangan suami dan cintanya, tapi juga kehilangan alasan untuk bahagia,dan demi menjaga kebahagiaan palsu satu-satunya orang yang tersisa di hidupnya. Setelah memarkirkan mobilnya di basement ,Ziyan segera keluar dari mobil dan berjalan menuju ke apartemen nya . Dia memutuskan untuk beberapa waktu, lebih baik tinggal di apartemennya untuk menenangkan pikirannya. Ziyan berjalan santay di lorong gedung apartemen yang menuju ke apartemennya , namun tiba-tiba ada seorang pria berkemeja hitam menubruknya dari belakang . Bau alkohol menyeruak dari mulutnya yang tengah meracau tak jelas . Ziyan tersentak kaget. Tangan pria itu—yang terasa berat dan dingin—menahan tubuh Ziyan agar tidak jatuh. Bau tajam alkohol menyeruak dari napasnya. Pria itu, yang mengenakan kemeja hitam yang tampak mahal namun kusut, hanya bergumam tidak jelas, kepalanya terkulai di bahu Ziyan. "Sialan," desis Ziyan dalam hati. Tubuhnya refleks menegang, jijik dan sedikit panik. Malam ini sudah terlalu penuh drama baginya, dan bertemu pemabuk di lorong apartemen adalah hal terakhir yang ia butuhkan. "Maaf, Tuan, minggir," ucap Ziyan dingin, berusaha melepaskan diri dari dekapan yang lebih terasa seperti beban. Pria itu bukannya mundur, malah berpegangan erat pada Ziyan. "Diam... Jangan pergi... Aku bayar.. berapapun." gumamnya parau, nada suaranya berat dan dalam, meski teredam. Ziyan mendengus. Rasa lelah, sakit hati, dan kekecewaan yang sudah memuncak membuatnya kehilangan kesabaran. Ini bukan saatnya bersikap sopan. Bugh! Tanpa pikir panjang, Ziyan menyikut perut pria itu sekuat tenaga. Tubuh besar itu tersentak dan oleng ke belakang, melepaskan Ziyan. "Berani sekali kau!" Ziyan menatapnya tajam, matanya memancarkan amarah yang bercampur air mata yang sudah kering. "Aku bukan barang yang bisa kau bayar! Jangan sentuh aku lagi!" Pria itu terhuyung, bersandar di dinding marmer lorong. Dalam cahaya remang-remang lampu apartemen, Ziyan akhirnya bisa melihat wajahnya.Rahangnya kokoh, namun matanya terpejam. Pria itu menarik napas dalam, berusaha menegakkan diri. Perlahan, mata gelapnya terbuka. Mereka tidak terfokus, namun saat tatapannya bersentuhan dengan tatapan Ziyan, seolah ada percikan listrik singkat yang aneh—sebuah kejutan nyata yang kontras dengan kepalsuan yang baru saja ia tinggalkan. "Aku... aku minta maaf," ucapnya, kali ini lebih jelas, meski suaranya masih serak. Ia memijat pelipisnya. Ziyan masih berdiri siaga, siap menendang jika pria itu maju selangkah lagi. "Jaga dirimu, Tuan. Atau aku akan panggil keamanan." Pria itu tersenyum tipis dan kemudian mengerang kesakitan saat memegang perutnya yang baru saja disikut Ziyan. "Sial, kau... kuat juga. Aku pantas mendapatkannya." ujar pria itu ,lalu dia berjalan terhuyung menuju salah satu pintu di lorong yang sama. Ia kesulitan memasukkan kartu aksesnya ke slot pintu. Melihat itu ,Ziyan pun iba. Dalam ketakutan Ziyan mendekat. "Biar aku bantu." Tanpa menunggu persetujuan, Ziyan mengambil kartu akses dari tangan pria itu. Pria itu menatap Ziyan dengan tatapan yang kini mulai sedikit fokus, seolah baru pertama kali ia benar-benar melihat Ziyan. Tatapan itu dalam, menyelidik, dan anehnya, jujur. "Namaku... Bastian Huntara," bisiknya, suaranya kini terdengar tulus, tanpa ada jejak alkohol dalam nadanya. Ia bahkan mencoba memberikan senyum yang lebih mantap. Ziyan mengabaikan perkenalan itu. Ia hanya fokus pada slot pintu, mencoba memasukkan kartu itu dengan benar. "Aku tidak bertanya," jawab Ziyan datar, berhasil membuka pintu. Ia mendorong pintu itu terbuka dan menyalakan lampu ruang tamu. Apartemen itu gelap, maskulin, dan terasa dingin, seperti pemiliknya. "Tapi aku ingin kau tahu," sahut Tian, sambil melangkah masuk. Ia berhenti di ambang pintu, berbalik menghadap Ziyan, tatapannya kini benar-benar jernih, seolah sikut Ziyan tadi adalah kejutan shock therapy yang paling manjur. "Terima kasih. Dan maaf karena sudah bersikap kurang ajar," ucapnya, membungkuk sedikit, sebuah gestur sopan yang terasa asing setelah kebrutalan awal. Ziyan mengangguk, siap berbalik dan pergi. "Tunggu," panggil Tian, membuat Ziyan kembali menoleh. "Siapa namamu?" Ziyan terdiam. Nama itu, Ziyan, adalah nama seorang istri yang gagal, seorang pendusta ulung demi Ayahnya. Tapi, di depan pria asing yang baru saja ia sikut, nama itu terasa baru dan tidak terbebani. "Maaf ,saya harus segera pergi ," jawabnya pelan. Tian mengangguk,dia tau pasti perempuan di depannya itu tidak akan mengatakan namanya karena cara pertemuan mereka yang salah paham. "Sebaiknya saya permisi dulu .Selamat malam, Tian," ujar Ziyan, mengakhiri interaksi itu sebelum ia larut dalam chemistry yang aneh dan berbahaya ini. "Selamat malam, Nona. Aku harap kita bertemu lagi, dalam keadaan yang lebih... tidak menyakitkan," balas Tian, dengan senyum tipis yang berhasil membuat jantung Ziyan berdetak lebih cepat—detakan yang sudah lama tidak ia rasakan. Senyum itu menjanjikan sesuatu, entah harapan atau masalah. Ziyan berbalik cepat, melangkah menuju apartemennya sendiri. Dia tidak melihat ke belakang, namun ia merasakan tatapan Tian mengikutinya hingga ia masuk ke dalam unitnya. Saat pintu tertutup, Ziyan bersandar di pintu, dadanya naik turun. Jantungnya berdebar. Bukan karena ketakutan, bukan karena kemarahan. "Bastian Huntara," bisiknya. Di tengah reruntuhan pernikahannya, seorang pria asing yang berbau alkohol dan baru saja ia sikut, entah bagaimana, berhasil menghadirkan sensasi yang paling nyata dan hidup yang Ziyan rasakan dalam waktu yang sangat lama. Bersambung........
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN