Saat ini Amierra hendak berangkat ke kampus, dan seperti biasanya Djavier akan sudah ada untuk menjemputnya.
“Ayah, apa sekarang Ayah memperkerjakan Paman itu untuk menjadi sopir pribadiku?” tanya Amierra pada sang Ayah yang sedang teh dan membaca korannya.
“Jaga ucapan kamu, Amie!” peringatannya.
“Bukankah yang aku katakan itu benar adanya. Sudah seminggu ini dia datang menjemputku. Kurang kerjaan sekali,” gerutu Amierra membuat sang Ayah menghela nafasnya. “Bunda, Amie berangkat dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,”
Djavier berpamitan kepada kedua orangtua Amierra dan beranjak mengikuti Amierra menuju mobilnya. Amierra sudah bersidekap tanpa mengatakan apapun, ia fokus dengan iphonenya.
“Amierra, seatbeltnya!” ucap Djavier.
Amierra seakan tidak memperdulikan ucapan Djavier membuat Djavier memasangkan seatbelt Amierra. “Eh mau ngapain kamu?” pekik Amierra saat Djavier hendak memasangkan seatbelt itu. “Dasar Om om m***m, mau nikam aku kan. Mau meluk dan cium cium aku! Hayo ngaku?” todong Amierra.
Djavier menghela nafasnya dan kembali ke posisi duduknya. “Pakai seatbelt kamu,” ucap Djavier dan memakai seatbeltnya.
Astaga aku sudah salah paham, aku pikir nih Paman mau lecehin aku di dalam mobil. Kan serem! pikirnya seraya memasang seatbeltnya.
“Eh Paman, Ngomong-ngomong kamu tidak ada pekerjaan lain selain mengantar jemputku?” tanya Amierra.
“Memangnya kenapa?”
“Ya untuk memastikan saja kalau kamu bukan seorang pengangguran,” ucapnya tanpa malu.
“Saya bukan pengangguran, saya mengajar di pesantren.” Djavier menoleh sekilas ke arah Amierra.
“Tapi kan di pesantren itu ikhlas tanpa bayaran. Aku tidak mau makan angin saat nanti kita menikah. Bisa-bisa perutku kembung, orang lain menyangka aku hamil padahal kenyataannya busung lapar.” Djavier terkekeh kecil mendengar penuturan Amierra itu.
“Insya Allah kamu tidak akan makan angin,” ucap Djavier.
“Tapi aku juga tidak mau di kasih makan sama mertua atau orangtuaku. Aku tidak mau saat sudah menikah masih bergantung pada mereka.”
“Hmm,”
“Paman serius gak sih nikahin aku, atau cuma main-main saja?” pekik Amierra kesal dengan jawaban Djavier yang tampak acuh.
“Apa ini berarti kamu sudah menerima lamaran saya?” tanya Djavier menatap Amierra dengan tatapan intimidasinya membuat Amierra mendadak salting dan gugup.
Sebenarnya ada apa denganku, kenapa aku langsung gugup dan dag dig dug saat dia menatapku seperti itu. pikir Amierra menghembuskan nafasnya. “Belum,”
“Baiklah, kita tunggu saja sampai kamu menerima pernikahan ini,” ucap Djavier, tidak ingin menikah, tetapi sibuk mengurusi undangan dan acara resepsi. batin Djavier. Amierra memang gadis yang lucu dan unik.
“Kenapa senyum senyum, pasti mikir jorok?” tuduh Amierra menatap Djavier penuh curiga.
“Tidak, saya hanya teringat sesuatu yang lucu,” jawab Djavier dengan santainya dan masih fokus menyetir mobilnya.
“Saya kerja di bidang keamanan,” ucap Djavier setelah keduanya terdiam cukup lama membuat Amierra menoleh.
“Apa sebagai Satpam?” pekik Amierra dan Djavier hanya mengedikkan bahunya.
Ya Tuhan Satpam? Ayah kenapa jodohin aku sama ini sih, padahal jelas-jelas pacarku calon Dokter. batinnya sedikit kesal.
Tak lama mobilpun berhenti di depan kampus Amierra, dan ia langsung menuruni mobil tanpa mengatakan apapun pada Djavier.
Amierra baru saja pulang dari kampus, ia bersyukur karena Djavier tidak menjemputnya kali ini.
“Amie, ke sini sebentar Nak.” Panggil Ayahnya membuat Amierra beranjak menuju ke ruang keluarga.
Amierra harus meralat ucapannya tadi, tidak jadi bersyukur karena ternyata pria itu sekarang sedang ada di sini bersama Ayah dan Bundanya. “Aku cape, mau tidur.” Amierra beranjak menuju kamarnya.
“Amierra sebentar Nak, kemarilah dulu.” Ayahnya terdengar menekan ucapannya membuat Amierra mau tidak mau berjalan mendekati mereka dan duduk di sofa single yang ada di antara mereka. “Ini nak Djavier sudah menyiapkan beberapa surat pra nikah. Kamu harus tanda tangan di sini, dan besok kalian harus di foto bersama untuk prewedding juga untuk di sertakan pada persyaratan ini. Bukan begitu nak Djavier?”
“Iya Om,”
“Ini nikah kontrak atau apaan sih, kok aku perlu tanda tangan di atas materai?” pekiknya,
“Hus kalau ngomong, tidak ada nikah kontrak Sayang,” ucap Bunda menegur anaknya yang kelewat ceplas ceplos.
“Itu persyaratan menikah dengan seorang Abdi Negara,” ucap Ayah.
“Astaga hanya sebagai Satpam saja ribet bener pake persyaratan begini,” gerutunya.
“Siapa yang Satpam?” tanya Ayah membuat Amierra mengernyitkan dahinya.
“Lah Ayah gak tau kerjaan Paman ini? Kalau begitu kenapa main jodohin saja? Paman ini seorang Satpam, Ayah!” ucap Amierra menggebu-gebu seakan memiliki alasan untuk membatalkan perjodohan ini.
“Kamu salah paham Nak, coba baca surat itu.” Amierrapun membuka berkas itu dan membaca isinya.
Kapten Inf Djavier Ahmad Baldhawi, S.Sos
Ternyata Paman ini seorang tentara, kenapa kemarin bilangnya Satpam, dasar penipu! Batin Amierra.
“Sudah bacanya,” tanya Ayah.
“Hmm, dimana nih harus tanda tangan?” Amierra mengambil pulpennya, Djavier memberitahu dimana ia harus membubuhkan tanda tangannya. “Sudah, apa ada lagi yang harus di tanda tangan?”
“Tidak, sudah cukup itu saja. Lusa kita ke Serang - Banten untuk bertemu dengan Brigjen Group 1. Selain itu juga kamu harus menjalani tes kesehatan dan tes keperawanan di sana.”
“Ribet amat mau nikah aja,” gerutu Amierra.
“Sudah prosedurenya seperti itu, Amierra,” ucap Ayah.
“Iya kamu ini protes terus,” tegur Bunda membuat Amierra mencibir kesal.
“Apa prosesnya akan lama?” tanya Ayah.
“Insa Allah tidak Om, hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk keluar tesnya. Nanti terakhir kami akan melakukan sidang, setelahnya selesai.”
“Hah ribet amat,” keluh Amierra.
“Kamu harus siapkan kondisi kamu, Sayang.” ucap Bunda.
“Bagaimana kalau aku punya penyakit mematikan?” ucapan Amierra membuat semuanya melongo kaget.
“Apa kamu?” Bundanya sudah berkaca-kaca melihat ke arah putrinya.
“Bunda jangan nangis dulu, Amierra sehat walafiat kok. Maksud Amierra kan siapa tau.” Ucapan Amierra membuat Djavier dan Ayahnya bernafas lega.
“Jaga omongan kamu, Amie. Tidak pantas kamu berbicara seperti itu,” tegur sang Ayah.
“Kan siapa tau,” ucap Amierra.
“Kamu akan sehat sehat saja, Sayang. Bunda yakin,” ucap Bunda penuh keyakinan. Amierrapun akhirnya terdiam membisu, memikirkan apalagi alasan untuk membatalkan pernikahan ini.
Keesokan harinya, Amierra dan Djavier melakukan pemotretan di studio Foto dengan Djavier yang memakai seragam kebesarannya baret merah adalah seragam khas TNI AD Kopassus membuat Amierra tak hentinya melirik Djavier yang terlihat tampan dan gagah dengan seragamnya.
“Apa ada yang salah dengan saya?” tanya Djavier yang merasa heran dengan tatapan Amierra.
“Tidak,” Amierra memalingkan wajahnya ke arah lain seraya bercermin merapihkan dandanannya. Ia sedikit merapihkan rambutnya yang di gelung ke atas hingga memperlihatkan leher jenjangnya, ia harus memakai baju ibu persit berwarna hijau tosca yang melekat indah di tubuhnya.
Setelah beberapa kali melakukan sesi foto, kini mereka berada di dalam mobil menuju ke tempat makan. Amierra terlihat sibuk melepaskan tatanan rambutnya. “Paman, aku kan sudah bilang kalau aku sudah tidak perawan. Memang nanti Paman gak akan malu saat di tes keperawanan?” tanya Amierra seraya menyisir rambutnya.
“Tidak,” jawab Djavier.
“Lah kenapa?” pekik Amierra, “Sebaiknya kita batalkan dari sekarang, aku tidak mau Ayah dan Bunda tau kalau aku sudah tidak perawan.”
“Saya malah sangat ingin melakukan tes itu,” ujar Djavier dengan santai membuat Amierra mencibir kesal.
“Kamu sengaja ingin mempermalukanku, iyakan?” pekiknya,
“Tidak, saya hanya ingin kamu tau kalau kamu masih perawan.”
“Eh?”
Djavier menoleh ke arah Amierra dengan senyuman khasnya. “Aku tau kamu masih perawan.”
“Ta-tau dari mana?” Amierra masih memasang wajah santainya, walau dia sudah salting karena ketahuan.
“Dari wajahmu, dari bentuk tulang wajahmu,” ucap Djavier membuat Amierra memegang wajahnya secara otomatis.
“Memang bisa melihatnya?” tanya Amierra masih meraba wajahnya. Dan Djavier mengangguk pasti. “Yah susah bohongnya dong,” gerutu Amierra membuat Djavier terkekeh.
“Harus bagaimana lagi membatalkan pernikahan ini?” keluhnya.
“Tidak usah di batalkan,” ucap Djavier membuat Amierra mencibir kesal.
‘My Ozan, kamu dimana sih. Tolong aku...’ batinnya.
Tak lama mereka sampai di sebuah rumah makan, dan keduanya berjalan masuk ke dalam rumah makan itu. Mereka segera memesan makan siang untuk mereka berdua.
Amierra langsung menyantap makanannya dengan lahap karena emosi, sulit sekali membohongi Djavier dan membuatnya ilfeel. “Pelan-pelan makannya, Amierra.” Amierra tak mendengarnya dan ia makan dengan dengan sangat lahap dan sedikit bertingkah arogant.
Oho oho oho
“Saya bilang kan, pelan-pelan.” Djavier menyodorkan minuman ke arah Amierra yang langsung di teguk olehnya hingga tandas. “Tidak baik makan seperti itu,” nasihat Djavier dan Amierra hanya diam saja dan kembali menikmati makanannya.
Djavier tau kalau Amierra sedang kesal dan tidak ingin menikah dengannya. “Apa kamu memiliki kekasih?”
Deg
Amierra mematung di tempat mendengar pertanyaan Djavier barusan. “Kenapa bertanya seperti itu? Apa Paman akan mengejekku karena aku tidak laku?”
“Bukan begitu, kenapa kamu selalu salah paham pada saya. Maksud saya, apa saat ini kamu memiliki kekasih, sampai tidak ingin menikah dengan saya?” tanya Djavier.
Amierra menimbang-nimbang ucapan Djavier, haruskah dia mengakuinya? Bukankah kisahnya dengan Fauzan sudah kandas dari 2 tahun yang lalu. “Ada apa?” tanya Djavier.
“Tidak punya,” jawab Amierra.
“Lalu kenapa kamu menolak perjodohan ini?” tanya Djavier.
“Alasannya karena 1. Aku tidak kenal kamu, Paman. Yah memang dulu saat kamu kuliah, kamu guru ngaji aku. Tetapi itu bukan sebuah pendekatan, setidaknya kita harus saling mengenal seperti pacaran dulu. 2. Karena usia kita terpaut jauh, 10 tahun Paman. Ya Tuhan,” keluhnya. “Dan ketiga aku terbiasa hidup enak dan di manja kedua orangtuaku. Aku tidak mau hidup tidak berkecukupan dan tidak terjamin.”
“Apa hanya itu?” tanya Djavier.
“Sebenarnya masih banyak, tetapi itu yang mungkin masuk akal,” ucap Amierra.
“Saya akan jawabnya, pertama saya tidak pernah berpacaran dengan siapapun selama ini. Saya lebih suka status yang halal daripada haram. Saat ini kita sedang ta’aruf untuk saling mengenal satu sama lainnya, tidak perlu dengan pacaran dulu, karena saat Allah sudah menjodohkan sepasang manusia, maka tanpa saling mengenalpun mereka tetap akan berjodoh,” jelas Djavier. “Saya menawarkan status yang jelas di mata Tuhan, agama dan negara bukan status yang tidak jelas seperti pacaran. Toh setelah menikah kita bisa berpacaran dan saling mengenal satu sama lain.”
Amierra terdiam mendengar penuturan Djavier. Kalau ngomong kok suka bener.
“Yang kedua, Nabi Muhammad SAW menikahi Khadijah di usia 25 tahun dan istrinya Khadijah berusia 40 tahun. Usia mereka terpaut sangat jauh, dan saat beliau menikahi Siti Aisyah, usia mereka terpaut sangat jauh karena Siti Aisyah masih gadis remaja saat itu. Usia bukan masalah saat Allah SWT sudah berkehendak dan menjodohkan dua pasang manusia.”
“Dan yang ketiga, insya allah di saat tubuh saya masih kuat dan Allah mempercayakan cukup rezeki pada kita, saya tidak akan membuatmu hidup susah. Saya akan tetap berusaha bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kita kelak.”
Amierra melongo mendengar jawaban dari Djavier, ia tidak habis pikir kalau Djavier akan menjawab seperti ini dengan sangat masuk akal. “Saya tau kamu belum bisa membuka hati untuk saya, tetapi Insa Allah dengan berjalannya waktu perasaan itu akan Allah tumbuhkan di hati kita. Saya hanya ingin memenuhi amanat Kakek saya. Beliau ingin menyaksikan pernikahan ini sebelum Allah memanggilnya.” Amierra menunduk mendengar penuturan Djavier yang panjang lebar.
Tapi aku tidak mencintainya, Ini sungguh membuatku frustasi, Tuhan.
“Sebaiknya kamu lakukan solat Istikharah setiap malam, untuk beberapa malam ke depan. Insa Allah, kamu akan menemukan jawabannya. Apa yang harus kamu lakukan,” ucap Djavier. “Baiklah begini saja, saya akan undur keberangkatan kita ke Serang Banten hingga hari Senin depan. Dan selama itu kamu pikirkan baik-baik, minta pertolongan pada Allah SWT untuk pilihan kamu. Setelahnya kamu temui saya.” Amierra hanya terdiam membisu mendengar penuturan Djavier barusan.