bc

Revenge Of Love

book_age16+
6
IKUTI
1K
BACA
revenge
tragedy
city
office/work place
secrets
self discover
weak to strong
foodie
humiliated
sacrifice
like
intro-logo
Uraian

Rachel, seorang wanita dengan berat mencapai 110 kilogram. Ia menikah dengan Willy karena perjodohan, sikap Willy berubah total semenjak mertuanya meninggal. Ia menjadi tak peduli hingga pandai menyakiti.

Willy mengelola perusahaan milik Rachel, tetapi dirinya tak pernah memperkenalkan Rachel sebagai istri dan malah membawa gadis lain pada setiap acara.

Ketika Rachel mengetahui perselingkuhan Willy, ia ingin membongkar rahasia sang suami agar ia tak bisa menguasai perusahaan bersama dengan selingkuhannya. Akan tetapi, Willy dengan licik membuat Rachel mengalami kecelakaan di tebing karang.

Beruntung, Rachel selamat dan bertemu dengan Tristan. Pemuda itu membantu Rachel untuk menurunkan berat badan dan merubah total penampilannya.

"Akan kurebut apa pun yang menjadi milikku."

Berhasilkah Rachel membalaskan dendamnya pada Willy?

Akankah ia bisa merebut kembali perusahaan ayahnya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Hinakah Diriku?
"Mas, bisa beliin aku baju baru? Semua bajuku sudah tidak kuat," pinta seorang wanita dengan tubuh gemuk. "Rachel, buat apa baju baru? Toh, sebulan lagi semua bajumu tidak akan kuat lagi. Istri macam apa kamu? Badan sudah kaya gentong!" hardik Willy. Degh! Rachel terdiam. Ia tak bisa menjawab perkataan menyakitkan dari suaminya karena semuanya tak sepenuhnya salah. Hatinya terasa teriris oleh perkataan Willy, tak ada seorang istri yang ingin dihardik dengan perkataan menyakitkan. "Pakai saja baju-baju ini, merepotkan!" seru Willy sembari melemparkan tumpukan baju yang ada di lemari pada wanita itu. Tak lama dirinya keluar dari kamar. Rachel hanya bisa terdiam diperlakukan seperti itu. Ia terduduk dengan baju-baju berserakan di hadapannya. "Kamu harus kuat, Rachel," gumamnya sembari menyeka air mata di sudut penglihatannya. Ini bukan pertama kalinya Willy begitu kejam padanya. Namun, Rachel merasa itu semua tak salah karena Rachel merasa bahwa dirinya yang salah sebab terlahir dengan tubuh gemuk dan tidak menarik. Kini, beratnya mencapai angka 110 kilogram dan tiap bulan beratnya kian bertambah. Sudah berbagai macam diet Rachel lakukan, tetapi semuanya sia-sia. "Apa yang harus aku pakai," ucapnya lirih. Tak ada baju bagus yang bisa ia kenakan lagi, yang tersisa hanyalah daster kumal yang biasa ia kenakan sehari-hari. "Rachel! Cepat keluar! Cepat siapkan makanannya!" teriak Vera--Ibu mertua. "Iya, Ma," jawab Rachel sembari cepat memakai daster yang muat di tubuhnya. Wanita itu pun segera keluar dari kamar dan menuju dapur, di sana sudah terlihat Vera dan adik iparnya, Riva. "Kak, bersihin dapurnya, sekalian antar makanan ke ruang tamu," perintah Riva dengan sorot mata licik. "Cepat! Jangan badan aja dibesarkan, tenaga juga!" sahut Vera sembari meninggalkan dapur yang penuh dengan sampah. Rachel menunduk. Selama setahun alih-alih menjadi menantu, ia malah menjadi pembantu di rumah ini. Padahal, rumah ini adalah rumah peninggalan ayahnya. Rachel ingin sekali melawan, tetapi ia takut karena ia hanya seorang diri hidup di dunia ini. "Mama, Papa. Apa yang harus Rachel lakukan?" lirih wanita itu. Rachel hanya bisa mengembuskan napas dengan pelan untuk membuang penat di hatinya. Wanita itu pun memulai pekerjaannya, ia mencuci puluhan piring yang menumpuk. Setelah lama berkutat dengan piring kotor, kini dirinya harus menyiapkan cemilan untuk para tamu arisan Vera di ruang tamu. Peluh bercucuran dari wajah wanita itu, rasa lelah merasuk ke dalam setiap sendi. Seumur hidup, dirinya tak pernah melakukan pekerjaan rumah karena semasa hidup Stefan--ayahnya--selalu memanjakan dirinya. Namun, setelah Stefan meninggal beberapa bulan lalu, Willy semakin semena-mena. Ia menguasai seluruh perusahaan dan aset berharga yang jatuh ke tangan Rachel. "Kamu sedang apa, sih?! Kenapa lama sekali! Teman-teman mama sudah menunggu dari tadi, badan kaya kebo kerja kaya siput!" hardik Vera masuk ke dapur. Rachel pun terkejut. Ia segera menyiapkan makanan ringan di nampan. "Maaf, Ma. Aku bawa sekarang," jawab Rachel tergopoh-gopoh membawa nampan berisi makanan. "Cepetan!" seru Vera kasar. Keduanya pun menuju ke ruang tamu, tawa renyah dari para ibu-ibu sosialita terdengar memenuhi ruangan. Hampir semua orang memakai pakaian serta perhiasaan mewah yang menandakan bahwa semuanya berasal dari keluarga berada. "Maaf, ya, Jeng. Ini camilannya lama," ujar Vera dengan gaya centil sembari mendorong Rachel agar meletakkan camilan di atas meja. "Gak apa-apa, Jeng," jawab seorang wanita dengan riasan wajah tebal. "Ngomong-ngomong, dia siapa, Jeng?" tanyanya sembari menunjuk ke arah Rachel yang masih menyiapkan makanan. "Dia ... dia orang rumah sini," jawab Vera sembari tersenyum memaksa. "Sudah, sana pergi ke dapur, beresin semuanya," perintah Vera sembari mendorong punggung Rachel. "Iya ...," jawabnya seraya berdiri meninggalkan ruang tamu. "Oh, pembantu baru, ya?" tanya ibu-ibu arisan itu lagi. Walau samar, kata-kata itu berhasil menghujam jantung Rachel hingga air matanya tak bisa ia bendung lagi. Jika pelangi akan hadir setelah badai reda, lantas kenapa pelangi itu enggan tiba saat semua cobaan telah menimpa? Rachel kembali mencuci piring yang baru saja ia ambil dari ruang tamu dengan air mata berderai. Tak bisa dipungkiri, bahwa dirinya semakin lama tak akan kuat lagi menerima berbagai macam cacian menyakitkan ini. Tanpa terasa mentari mulai menenggelamkan diri, tetapi Rachel masih terus berkutat dengan apa yang dikerjakannya. Ingin rasanya mengeluh, tetapi ia tak tahu pada siapa dirinya mengeluarkan keluh kesah. Takdir yang harus dihadapinya begitu berat, siapa yang akan menyangka jika dirinya harus berhadapan dengan takdir menyakitkan seperti ini. Suara riuh dari ruang tamu terdengar, para tamu arisan Vera telah berpamitan pulang dengan suara menggelegar. Mereka tampak bahagia menikmati segala kemewahan yang Vera sajikan dari uang Rachel. "Rachel!" Panggilan Vera terdengar menggema. Jika tidak segera datang, maka harus siap dengan segala macam caciannya. Rachel tergopoh-gopoh mendekat dengan tubuh kotor dan berkeringat. "Iya, Ma. Ada apa?" tanyanya terengah-engah. "Dari mana saja kamu?! Lelet sekali! Cepat bersihkan semua ruang tamu ini sebelum makan malam. Kalau belum bersih, kamu tidak boleh makan malam!" perintahnya. Manik mata Rachel menatap ke sekitar. Ruang tamu yang biasanya terlihat elegan dan mewah kini tak lebih seperti tempat sampah. Bungkus makanan berserakan, sedangkan sisa makanan terjatuh di lantai hingga terlihat menjijikkan. "Kenapa diam saja! Cepat bersihkan, lalu masak makan malam yang enak," perintahnya lagi dengan sorot mata tajam layaknya elang. "Baik, Ma," jawab Rachel tak bisa menolak. Senyum sinis terlihat dari sudut bibir Vera. Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas dirinya menganggap bahwa ia adalah nyonya besar di rumah ini. Padahal, dirinya tak lebih seperti benalu. Vera dengan sengaja menabrak pundak Rachel saat berjalan hingga membuat wanita itu mundur beberapa langkah. "Cepat bersihkan, jangan diam saja," perintahnya sembari meninggalkan Rachel. Embusan napas Rachel terdengar sangat berat. Rasa lelah di tubuhnya belum juga hilang, tetapi kini pekerjaan berat telah menanti di hadapannya. Tak ingin mengeluh, dirinya segera memulai membersihkan seluruh ruang tamu. Tentu saja, itu tak membutuhkan waktu yang sedikit, setidaknya Rachel membutuhkan waktu satu jam untuk membereskan semua sampai bersih. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, sudah hampir waktunya untuk makan malam. "Aku harus siap-siap untuk memasak, pasti Mas Willy akan segera pulang," ucap Rachel seraya mengusap peluh di wajahnya. Terlepas dari semua hal menyakitkan yang ia alami hari ini, ada sebuah harapan di dalam hatinya. Ya, hari ini adalah tepat setahun sudah ia menikah dengan Willy. Dengan harapan yang dimilikinya, ia berharap jika Willy akan bersikap lebih baik dan dapat menerimanya kembali seperti sedia kala. Setelah ruang tamu menjadi rapi dan bersih kembali, Rachel bergegas untuk memasak makanan kesukaan suaminya. Ia meracik semua bumbu dengan semangat, di pikirannya terlintas senyum indah Willy saat dulu ia menikmati masakan Rachel. "Semoga dengan masakan ini, kamu dapat kembali padaku, Mas." Wanita itu bergumam, sembari sesekali mengusap peluh di keningnya. Cukup lama Rachel berkutat dengan bahan masakan di dapur. Ia terlalu bersemangat malam ini, harapannya merekah tanpa berpikiran buruk. "Kak, sudah matang belum? Aku lapar, nih." Riva datang dengan rambut berantakan, sepertinya ia baru saja bangun dari tidur. "Sebentar lagi siap, kok," jawab Rachel. "Cepetan," ucapnya tak sabar. Rachel hanya mengangguk, ia segera menyiapkan seluruh masakannya malam ini di meja makan. Sementara itu, Riva dan Vera sudah duduk dengan sorot mata yang tak terlepas dari layar ponsel. Berbagai macam hidangan memenuhi meja makan, bahkan hidangan terakhir pun telah tersaji dengan rapi. Tanpa kata, Vera mengambil berbagai macam lauk di hadapannya, begitu juga dengan Riva yang tampak kelaparan. Namun, Rachel masih terdiam, ia memandang mertua dan adik iparnya yang tampak lahap memakan masakan darinya. Mereka tak ayal seperti orang yang kelaparan, hingga mengambil makanan tanpa memikirkan orang lain. Rachel sudah berusaha keras untuk membuat semua ini demi suaminya, tetapi akan sangat disayangkan jika Willy tak dapat memakan masakannya karena dihabiskan oleh Vera dan Riva. Ia menunggu kepulangan Willy dengan gelisah, sehingga memutuskan untuk menelpon sang suami. Namun, satu pun panggilannya tak dijawab. "Apa yang terjadi denganmu, Mas? Semoga kamu baik-baik saja," gumam Rachel cemas. Tak ingin putus harapan, Rachel pun menghubungi nomor sekretaris kantor. Akan tetapi, jawaban dari sekretaris itu membuat Rachel terkejut. Willy hari ini tak datang ke kantor, bahkan ia menunda semua rapat penting. Rasa khawatir itu semakin jelas. Rachel pun mendekat ke arah Vera yang masih menikmati makanannya dengan lahap. "Ma ...." Rachel memangil dengan pelan. "Apa?! Kamu tidak lihat, mama sedang makan? Pergi sana," hardiknya. "Ta-tapi ... Ma. Mas Willy belum juga pulang, dia juga tidak datang ke kantor, padahal ini hari anniversary kami," jawab Rachel. Vera tertawa dengan keras mendengar jawaban dari Rachel. "Memangnya kenapa kalau dia tidak pulang? Apa yang kamu harapkan dari dia, hah? Lihat saja badanmu itu, mana sudi Willy menyentuhmu dengan tubuh penuh lemak seperti itu." Manik mata Rachel berkaca-kaca, hatinya terasa sangat sakit mendengar cacian itu lagi. "Aku ... aku berhak tau dia di mana, aku istrinya, Ma ...." "Istri? Kamu tidak pantas menjadi istri untuk Willy, dia itu terlalu sempurna untukmu. Jika bukan karena ayahmu, pasti tak akan ada yang mau menikah denganmu," jawab Vera. Setetes air mata terjatuh di pelupuk mata Rachel. Rasanya semakin sakit, kian hari harga dirinya terinjak-injak. "Sudahlah, Kak. Gak usah mikir Kak Willy ada di mana, urus saja badan Kakak biar gak makin bengkak," sahut Riva yang telah selesai menyantap makan malamnya. Tak ada gunanya menangis di hadapan dua iblis itu. Rachel memutuskan untuk pergi ke dalam kamarnya, ia tak menghiraukan ketika Vera memerintahkan untuk membereskan meja makan dengan suara yang keras. Brak! Rachel menutup pintunya dengan keras. Ia jatuh terduduk dengan air mata berderai. "Kenapa Mama dan Papa ninggalin aku sendirian? Kenapa?!" tangisnya. Seluruh tubuhnya bergetar, napasnya sesak hingga ia sesegukan. "Mama ... Papa ... aku ingin ikut kalian, di sini terlalu menyakitkan ...."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook