PART 9
.-"*"-.
Cakka menyadari punggung Shilla yang menegang dibalik blazer hitamnya.
"Rio?" Suara itu membuat kening Cakka berkerut. Rio? Siapa Rio? Tamu Shilla?
Perlahan ia berjalan mendekat kearah gadis itu, dan tatapannya teralih pada seorang cowo pemuda dihadapan Shilla.
"Gue baru aja mau jemput lo buat janji makan siang kita, tapi kalau lo sibuk, gue ngerti," ucap orang yang Shilla panggil dengan Rio itu.
Tapi... janji makan siang katanya? Oh, jadi selama Cakka di Medan, ini yang membuat Shilla tidak merindukannya? Ini alasan Shilla tidak menghubunginya?
"Gue, kalau lo nggak keberatan, emm, gimana kalau kita makan siang bertiga?" putus Shilla, Cakka baru saja ingin buka suara tapi suara Rio menyelanya.
"Oke gue nggak keberatan," Shilla menganggukkan kepalanya dan beralih pada Cakka.
"Tapi kalau kamu masih lelah kamu bisa tidur dulu disini, nanti aku bawain makan siang," ucap Shilla pada Cakka, betapa pengertiannya gadis itu, setidaknya dimata Rio.
"Nggak," balas Cakka cepat-terlalu cepat- untuk menolak saran Shilla.
"Aku setuju kita makan siang bertiga,"
"Kita bisa makan direstoran tempat biasa,"
'Restoran tempat biasa' tebakan Cakka sepertinya tidak meleset, mereka -Rio dan Shilla- sudah sering makan siang bersama.
"Oke."
--
Shilla memutar bola matanya malas ketika para pelayan direstoran tempat mereka makan siang, meminta foto bersama Cakka, gadis-gadis di meja sebelah juga asik berbisik-bisik tentang 'betapa beruntungnya gadis itu di apit dua pemuda ganteng'.
"Makasih mas Cakka," ujar pelayan itu lalu membawa buku menu dan kertas berisi pesanan mereka. Cakka hanya tersenyum tipis lalu kembali duduk disamping kursi Shilla.
"Sebelumnya kita belum kenalan, gue Cakka pacarnya Shilla," ucap Cakka, ia mengulurkan tangannya ke arah Rio.
"Gue Rio," balas Rio ketika menyambut uluran tangan Cakka.
Mendadak suasana diantara mereka jadi tidak bersahabat.
"Lo bisa ajak Cakka ke acara gue," ucap Rio pada Shilla setelah melepaskan tautan tangannya dari Cakka.
"Lo nggak keberatan?"
"Tentu aja enggak, lo bebas bawa pendamping,"
"Ok, gue pasti dateng,"
Cakka memandang keduanya dengan tatapan kesal, mereka bicara seolah orang yang mereka bicarakan sedang tidak ada didekat mereka.
Arah pembicaraan Rio dan Shilla mulai menyeret kearah bisnis, Cakka tersenyum masam, faktanya dia tidak tau apapun tentang dunia bisnis yang Rio dan Shilla bicarakan.
Pesanan mereka datang, nafsu makan Cakka hilang melihat Rio dan Shilla, mendadak perutnya kenyang padahal sejak pagi tadi ia hanya minum kopi yang dibelinya di bandara, tapi efek kedua orang dihadapannya membuat perutnya bergejolak tidak ingin menerima apapun.
"Kenapa nggak dimakan?" tanya Shilla ketika menyadari kalau Cakka sama sekali tidak menyentuh beef bourguignon pesanannya.
"Nggak napsu," jawab Cakka cuek, Shilla mengerutkan keningnya melihat tingkah Cakka.
"Kalau nggak minat makan kenapa dipesan?" Shilla menggeser piring Cakka hingga berada tepat disamping piringnya.
Shilla mengambil garpu dan pisau makan, dipotongnya daging menu Prancis itu dan ia sodorkan kearah Cakka, persis seperti seorang Ibu yang sedang menyuapi anaknya.
"Makan." perintahnya.
"Hah?"
"Makan Cakka, aku tau kamu belum makan apapun sejak turun dari pesawat," sudut bibir Cakka terangkat keatas, ternyata aksi 'tak nafsu makan'nya berbuah manis, ia memang tidak sempat makan karena buru-buru kekantor Shilla, tentu saja untuk bertemu Shilla, dengan gerakan pelan dan kalem ia membuka mulutnya dan mengunyah potongan daging sapi yang disuapi Shilla.
Dilain sisi Rio hanya tersenyum kecil melihat dua sejoli dihadapannya.
Pasangan serasi, Rio membatin.
--
Shilla menggerutu ketika membaca ulang laporan yang Angel berikan padanya sore tadi sebelum pulang, masalahnya ia sudah membaca laporan itu tiga kali dan tak ada satu paragraf pun yang nyangkut diotaknya, Shilla tidak pernah seperti ini, tentu saja, ia selalu berhasil fokus dengan pekerjaannya.
Shilla mengamati kalimat-kalimat itu, astaga, bagaimana bisa ia fokus kalau pikirannya melayang kemana-mana, Shilla menutup map biru itu dan beranjak merebahkan punggungnya disofa ruang tengah rumahnya, diliriknya jam dinding yang tergantung diatas televisi.
Jam 7 lewat 20 menit, masih kurang pukul delapan malam tapi, kenapa Shilla merasa kalau ini sudah sangat larut? Tinggal dirumah yang besar yang ditinggali hanya dua orang membuatnya merasa kesepian, bahkan empat pembantu pun tidak benar-benar membuat rumah Shilla terlihat ramai dan hangat, Shilla menghela nafas panjang.
Mungkin Shilla bisa kerumah Cakka, tapi sepertinya pemuda itu masih kelelahan, atau Shilla bisa kerumah Ify, Oh no, Shilla tidak akan suka bertemu adik Ify yang cukup banyak, baiklah Sivia bisa jadi pilihan terakhir. Shilla merogoh saku piyama tidurnya, mengeluarkan ponselnya untuk menelfon Sivia.
"Ya Shill?" Suara Sivia terdengar setelah panggilan kedua.
"Lo lagi sibuk?"
"Nggak sibuk juga sih, cuma gue lagi dinner diluar aja sama keluarga besar bokap gue,"
"Gitu ya, yaudah deh,"
"Emang kenapa? Tumbenan banget lo nelfon gue,"
"Tadinya gue berencana mau kerumah lo,"
"Yah, sorry banget Shill, lo ke rumah Ify dulu deh malem ini,"
"ok, bye Via,"
Shilla mendengus, dia akan kerumah Cakka, keputusannya sudah bulat, ia sendirikan yang menawarkan diri untuk jadi pelariannya, alih-alih dari pada Shilla ke club? Shilla tersenyum puas sebelum beranjak dari sofa menuju kamarnya.
Hanya butuh beberapa menit untuk berganti pakaian, Shilla mengenakan kemeja lengan pendek berwarna fuschia yang dilapisinya cardigan hitam yang dipadukannya jins putih sedikit menggantung diatas mata kaki, dan benar-benar terlihat santai dengan sendal jepit berwarna pink dengan hak wedges 5 centi.
Shilla keluar dari rumahnya bertepatan ketika Marvel hendak masuk ke dalam rumah.
Seperti sadar kalau Shilla tidak akan mengalah dengan mundur dan membiarkan Marvel masuk, lelaki itu pun menggeser tubuhnya agar putri semata wayangnya itu dapat lewat.
"Kamu mau kemana, Shilla?" tanya Marvel, kedengaran sangat wajar jika seorang Ayah menanyakan hal itu pada putrinya tapi menurut Shilla tidak, Papanya adalah pengecualian.
"Bukannya sebelumnya Papa nggak peduli aku mau kemana? Aku tidur dimana, aku pulang atau enggak, aku tidur sama laki-laki manapun papa gak akan peduli? Jadi angin apa yang buat Papa tiba-tiba nanya itu?" ucap Shilla sinis.
"Papa ini orang tua kamu Shilla, seharusnya kamu bisa lebih bersikap sopan sama Papa,"
"Sopan? Sejak kapan Papa ngerti definisi sopan yang sebenarnya? Sejak Papa bawa p*****r sinting itu kesini? Atau sejak Papa mabuk di rumah? Sopan sekali,"
"Shilla jaga ucapan kamu!" emosi Marvel mulai terpancing mendengar ucapan Shilla, begitupun Shilla, ia sudah maju beberapa langkah dan akan ia lanjutkan sampai selesai.
"Itu yang Papa anggap sopan? Mempertontonkan aku adegan m***m Papa dengan p*****r murahan secara live? Seperti itu sopan yang papa maksud?" tanya Shilla berapi-api.
Matanya mulai panas, tidak, jangan sekarang, batinnya berteriak untuk tidak menangis.
"Kamu nggak akan ngerti Shilla,"
"Papa yang gak akan ngerti, aku hidup cuma untuk diri aku sendiri, aku berjuang hidup bukan untuk banggain Papa atau Mama, sial, bahkan aku nggak pernah kenal sosok Mama," dan tanpa bisa ditahan lagi sesuatu yang hangat mengalir dari sudut mata Shilla. Shilla menyeka air matanya, secepat yang ia bisa, Shilla berlari masuk kedalam mobilnya dan berlalu tanpa menoleh sedikitpun.
Sementara itu ditempatnya Marvel hanya dapat merenung, Shilla tidak pernah menangis dihadapannya sebelumnya.
Lelaki paruh baya itu menydari, bahwa uang saja tak cukup untuk membahagiakan Shilla, kemudian Marvel menyadari lagi, fakta yang lebih menyakitkan, Shilla sama sekali tidak pernah menyentuh uangnya, Shilla bekerja sendiri, kuliah, memenuhi segala kebutuhannya dan itu ia lakukan bukan untuk membuat Marvel bangga, Shilla melakukannya untuk dirinya sendiri, hanya untuk dirinya sendiri.
Marvel meremas dadanya yang terasa sakit, mungkin ia memang bukan Papa yang baik buat Shilla.
--
"Mas Cakka," suara Bi Rani dan ketukan dipintu kamarnya membuat Cakka membuka matanya.
Dengan gerakan malas karena tidurnya terganggu Cakka pun beranjak dari tempat tidurnya.
"Kenapa sih Bi?" tanya Cakka sesudah membuka pintu.
"Shilla?" ucapnya ketika melihat siapa yang berada disamping Bi Rani.
"Yaudah Bibi tinggal dulu ya mbak Shilla," Bi Rani pun beranjak dari tempatnya berdiri, sementara Cakka mengerjapkan matanya masih belum sadar sepenuhnya.
"Lo kenapa?" tanyanya setelah beberapa detik hening.
Mata Shilla sembab seperti baru selesai menangis, dan detik berikutnya Shilla memeluk Cakka, gadis itu tidak meraung-raung seperti difilm-film tapi Cakka tau ada sesuatu yang terjadi pada Shilla. Cakka menahan lengan Shilla dan membawanya masuk kekamarnya, "Shilla, lo baik-baik aja kan?" tanya Cakka lagi.
Shilla melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah.
"Yeah," jawab Shilla, dan Cakka tau, Shilla berbohong.
Cowok itu hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lagi pada Shilla, kalau Shilla ingin, ia pasti akan menceritakan masalahnya, Cakka tidak masalah kalau Shilla tidak mengatakan apapun, walaupun sebenarnya dia penasaran setengah mati.
"Lo udah makan malam?" tanya Cakka mengalihkan pembicaraan, juga untuk mencairkan suasana kaku yang mereka ciptakan.
Shilla masih memalingkan wajahnya, Cakka sudah siap berdiri dan mengambilkan makanan untuk Shilla, lalu gerakannya terhenti ketika Shilla buka suara.
"Orang-orang bilang gue adalah putri kecil cantik yang beruntung, punya kehidupan sempurna bak putri dinegeri dongeng," ucap Shilla, Cakka bergeming dan ia masih tetap berdiri tepat disamping Shilla, mendengarkan gadis itu.
"Gue juga berpikir begitu, awalnya. Tapi ternyata, gue disadarkan nggak ada kehidupan negeri dongen didunia nyata," Ada jeda beberapa detik.
"Ten years have passed, this life's so unpredictable,"
1 detik.
5 detik.
10 detik.
Shilla menghela nafas panjang, "Orang tua gue bercerai ketika gue umur 12 tahun, dan sejak hari itu gue kehilangan sosok orang tua di hidup gue, gue kehilangan tempat menopang, sejak itu gue nggak mau jadi yang terlemah, hanya ada tembok tinggi, gue membatasi orang-orang yang ingin mendekati gue, mereka nggak akan pernah benar-benar masuk dalam kehidupan gue," Shilla ikut berdiri hingga ia berhadapan dengan Cakka.
Hening!
"Terkadang ada hal dalam rumah tangga yang nggak akan bisa lo mengerti sebelum lo benar-benar dewasa," ucap Cakka memecah keheningan, Shilla mendongak sesaat mata mereka bertemu.
"Tapi sekarang tembok yang menjulang tinggi itu runtuh, dan lo lah satu-satunya yang gue perbolehkan masuk," Shilla sama sekali tidak menanggapi ucapan Cakka, ia belum selesai bicara dan Cakka sudah menyelanya.
Tumit Shilla tidak lagi berpijak dikeramik putih itu, untuk kedua kalinya, bibir Shilla menyatu dengan bibir Cakka.
--
Shilla sadar dengan apa yang diperbuatnya, dengan nekat mencium Cakka? Benar-benar mencium dalam arti sebenarnya. Bibir mereka saling bertemu, sementara Cakka mengeratkan tangannya dipinggang Shilla.
Hingga Shilla mulai terengah dan melepaskan pagutan bibir mereka. Keduanya saling memandang lalu Shilla berbisik, "Kiss me till you're drunk,"
Cakka berkedip sekali dan bibir itu kembali menyatu, Shilla membiarkan Cakka menjelajah seluruh bibir hingga mulutnya, mencecap setiap sudut bibirnya tanpa ada yang tersisa.
Beberapa menit berlalu, Shilla mundur selangkah dan akhirnya jatuh di atas kasur dengan Cakka menindihnya, bibir Cakka tetap memagut bibirnya.
Hingga ia mulai terengah-engah dan Cakka beralih menjilat rahangnya, ia sadar seratus persen ketika tangan Cakka menyentuh kancing kemeja teratasnya, namun yang ia lakukan bukannya melarang Cakka untuk membukanya malah memberikan akses untuk Cakka meloloskan kancing sialan itu, otaknya tidak singkron, berlawanan dengan hatinya yang siap ingin memberhentikan permainan bodoh ini.
Tubuh Shilla menggelinjang ketika bibir Cakka beralih ke lehernya, tangan Cakka meremas buah dadanya yang tertutup bra hitamnya, Shilla melenguh ketika merasakan sensasi itu, seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang diperutnya.
Shilla tidak tau sejauh apa mereka sekarang, kapan jins dan kemejanya terlepas juga kaus Cakka yang sudah entah kemana, ia nyaris telanjang hanya meninggalkan setelan dalamannya yang berwarna hitam. Shilla dapat merasakan sesuatu dibalik celana jins Cakka yang mengeras menggesek pahanya.
Sial! Shilla mengumpat dalam hati, ia meremas rambut hitam pekat Cakka dan mencium pemuda itu, mengimbangi permainan Cakka yang seharusnya tidak Shilla lanjutkan.
"Berhenti sekarang atau gue akan memperkosa lo," bisik Cakka serak, matanya berkabut oleh gairah yang menyiksa.
Shilla menyentuh lengan Cakka yang menopang tubuhnya agar tidak menimpah Shilla.
"Gue gak bisa sekarang, gue mohon," lirihnya, Cakka menghempaskan tubuhnya disamping Shilla, menggertakkan giginya sebelum berdiri dan bergegas masuk kedalam kamar mandi.
Shilla memejamkan matanya dan menghela nafas panjang, seandainya Cakka tidak bertanya dan tetap melanjutkan pergulatan mereka tadi, Shilla tidak yakin tidak akan ada yang terjadi malam ini. 15 menit kemudian pintu kamar mandi terbuka Shilla sudah mengenakan pakaiannya kembali, tinggal mengancingkan kancing teratas kemejanya, Cakka kelihatan segar, sepertinya cowok itu baru selesai mandi, rambutnya masih basah dan ia hanya mengenakan piyama tidur berwarna hitam berbahan satin.
"Lo mandi malem-malem?" tanyanya mengerutkan kening, pipi Shilla merona membayangkan betapa panasnya mereka sesaat lalu.
"Lo pikir gue baik-baik aja setelah apa yang terjadi? Gue butuh air dingin buat jernihin otak,"
Shilla terkekeh sarkasme, "itu yang lo maksud 'bukan tipe lo dan lo nggak suka cewek berdada rata kayak gue'?"
Cakka menaikan alisnya mendengar nada sindiran itu, "tapi kayaknya gue salah, ternyata sesuatu dibalik kemeja kerja lo selama ini gak sedatar yang gue pikirkan," ujarnya ikut terkekeh.
"WHAT?" Shilla melotot, dengan kesal ia berjalan keluar dari kamar Cakka, membuat Cakka terkekeh melihat Shilla yang tiba-tiba merasa malu.
--
Cakka masih terkekeh ketika punggung Shilla hilang dibalik pintu. Ia berdehem, "dan kayaknya tipe gue udah berubah," gumam Cakka.
Cakka keluar dari kamarnya setelah memakai piyama tidurnya, sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman ketika melihat Shilla tertidur di sofa ruang tengah.
Dua hari lagi, ia akan berangkat ke New York, sekarang Cakka mengerti bagaimana rasanya merindukan seseorang ketika kita dan orang itu jauh.
Bahkan sebelum perang pun ia sudah kalah lebih dulu.
Cakka sedikit menundukkan tubuhnya, tangannya ia selipkan diantara paha dan betis juga leher Shilla, gerakannya lembut ketika menggendong tubuh Shilla, bukannya merasa terganggu Shilla malah mengeratkan pelukannya dileher Cakka.
Cakka terkekeh ketika menyadari kalau Shilla belum benar-benar terlelap.
Digendongnya Shilla hingga sampai ke kamarnya, biarkan saja besok pagi gadis itu marah-marah karena tau tidur satu ranjang dengan Cakka. Cakka membaringkan tubuh Shilla diatas kasurnya, gerakannya pelan dan hati-hati berusaha membuat Shilla tetap nyaman dengan posisinya.
Cakka menarik bedcovernya sampai menutupi kaki hingga pinggang Shilla.
Diselipkannya rambut Shilla yang menutupi wajahnya dibalik telinga gadis itu, Cakka tersenyum tipis melihat pemandangan dihadapannya, Cakka akui diluar sifat angkuh Shilla, gadis itu terlihat cantik, sepenuhnya cantik.
Mungkin sekarang Cakka mengerti kenapa Shilla selalu memasang topeng dihadapan semua orang, masalah perceraian orang tua memang tak jauh-jauh dari perkembangan anak, bagaimana kerusakan rumah tangga membawa efek buat si anak.
Tapi Cakka akan mengubah pandangan Shilla bahwa perceraian bukanlah hal yang sangat buruk untuk membuka diri.
Lalu Cakka teringat ketika pertama kali ia bertemu Shilla, ia merasa terganggu dengan sifat Shilla, dan juga tertarik diwaktu bersamaan.
Ia bahkan mulai meletakkan kepentingan gadis itu di atas kepentingannya sendiri, bagaimana ia meluangkan waktu kerjanya yang padat hanya untuk bertemu Shilla ketika gadis itu mengatakan kalau ia dan kedua temannya akan datang kerumah Cakka, bagaimana ia merelakan dirinya menjadi pelarian Shilla alih-alih dari pada gadis itu pergi ke club, atau bagaimana ia mendengarkan perintah Shilla tanpa menyela sedikitpun.
Dia tidak akan mengakuinya sekarang, sungguh, tapi hati kecil Cakka tidak dapat berbohong, bagaimana mungkin ia bisa jatuh cinta pada gadis se angkuh Shilla? Lalu kenyataan kalau ia sudah mencintai Shilla membuatnya merasa terganggu.
Cakka menyerah, dia sudah kalah bahkan sebelum gadis itu melakukan apapun.
--
Shilla menggeliat dari tidurnya, beberapa kali ia mengerjapkan matanya menetralkan cahaya matahari yang menusuk retina matanya.
Langit-langit kamar yang begitu asing membuatnya buru-buru duduk, Shilla tersentak mendapati dirinya tidak tidur dikamarnya, pandangannya teralih kesisi kiri tempat tidur itu, dan bibirnya hampir saja menyumpahi orang yang sedang terlelap disana.
"Cakka," panggilnya sambil menggoyang-goyangkan lengan Cakka.
Tapi yang dipanggil masih saja terlelap, Shilla menelan ludahnya, mungkin ia bisa menitip pesan pada Bi Rani untuk mengatakan kalau dirinya sudah pulang.
Perlahan Shilla turun dari tempat tidur, dan bergegas keluar kamar.
Didapur ia melihat bi Rani yang sedang memasak, dihampirinya wanita paruh baya itu.
"Bi, Cakka masih tidur kalau nanti dia bangun kasih tau kalau aku udah pulang," ucap Shilla.
Bi Rani masih terperengah melihat Shilla, dia pikir pacar majikannya ini sudah pulang semalam. Bahkan ia masih tidak percaya kalau Shilla dan Cakka 'tidur bersama'.
"Iya mbak Shilla," jawabnya tanpa membantah, rasanya tidak sopan saja jika ia berkomentar panjang lebar.
Sementara Shilla dapat melihat kecurigaan dimata Bi Rani, ia terkekeh pelan.
"Aku gak ngapa-ngapain kok bi sama Cakka, cuma semalem aku ketiduran," ucapnya mencoba meluruskan pikiran Bi Rani.
Bi Rani tersenyum, "iya Mbak Shilla, Bibi ngerti, Mbak Shilla nggak sarapan dulu?"
"Aku harus segera ke kantor, mungkin lain kali, kalau gitu aku pulang dulu ya Bi." Setelah berpamitan, Shilla pun meninggalkan rumah Cakka.
Didalam mobil Shilla mengetikan pesan di ponselnya.
To : Cakka.
'Jemput gue jam 7 malam atau gue berangkat sendiri ke acara Rio.'
Send.
--
Cakka menoleh kearah Shilla yang turun dari lantai dua rumahnya dengan terburu-buru, pemuda itu menggeleng pelan melihat Shilla berjalan dengan terburu-buru, seandainya itu bukan Shilla, Cakka tidak yakin ada yang berani melangkah seperti itu ditangga dengan heels 10 centi.
"Ayo," ujarnya, Cakka bergeming membuat Shilla mengerutkan kening.
Cakka menundukkan tubuhnya, berjongkok tepat di kaki Shilla.
Shilla memekik, "apa ya..." teriakannya terhenti ketika melihat Cakka menyentuh perekat stilettonya dan memperbaikinya.
"Beruntung lo gak jatuh gara-gara itu," ucapnya setelah berdiri.
Shilla mengerjap, pipinya sudah ia oleskan blush on, tapi sepertinya pipinya semakin memerah sekarang.
Cakka menggandeng tangan Shilla, tepat di ambang pintu ruang utama, langkah Cakka terhenti.
Pemuda itu menatap Shilla intens.
"Kenapa?" tanya Shilla.
"s**t," Cakka mengumpat, ia menyentuh lengan Shilla.
"I guess, now's the perfect time for me to taste your lip gloss," ucapnya.
Sebelum akhirnya ia merengkuh pinggang Shilla dan menciumnya. Mencecap setiap sudut bibir gadis itu seolah tak ada hari esok lagi untuk melakukannya.
Shilla terengah membuat Cakka melepaskan ciumannya, jarak mereka hanya beberapa centi, Cakka bahkan dapat mencium aroma gadis itu.
Shilla menyentuh bibir Cakka dengan ibu jarinya, diusapnya bibir yang baru saja menyentuh bibirnya itu.
"You ruin my lip gloss," ucap Shilla, suaranya tenang dan pelan, tidak ada nada marah didalamnya.
Cakka mengangkat alisnya lalu terkekeh, "sorry, i can't wait to kiss you."
--