2. Masih sama

1260 Kata
Ara tidak tidur semalaman, ia terus berpikir antara pulang atau tidak besok. Memang hanya butuh beberapa jam perjalanan. Tapi tetap saja ia harus berpikir. Datang dengan do'a tulus untuk kedua calon pengantin atau tidak datang atau mengumpati kedua calon pengantin. Ah, ia bingung. Ah, sudah seharusnya ia melakukan ketiganya. Bukankah itu lebih melegakan? Ya, sepertinya begitu lebih cocok. Tidak, itu salah. Tidak boleh seperti itu. Tolong hapus bagian tidak datang dan mengumpati. Mereka tidak salah, justru yang harus disalahkan adalah dirinya. Salah karena mencintai dalam diam. Ara pikir, ia tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Cinta dalam diamnya akan aman-aman saja karena satu kalimat yang terucap dalam mulut pria itu. Nyatanya, tidak. Tak hanya merpati bahkan seekor gagak pun bisa ingkar. Waktu sudah memasuki sore hari, langit tampak mendung di luar sana. Ara pun telah satu jam duduk di kereta. Ia dalam perjalanan seorang diri menuju rumah keluarganya. Tinggal satu jam lagi, ia akan sampai. Jika ada yang menanyakan perasaannya sekarang, rasanya tidak tentu. Waktu mendengar kabar tersebut, semalaman ia tidak bisa tidur. Di malam yang cerah itu mendadak turun hujan. Ya, alam seakan mengerti perasaannya. "Turun hujan lagi," gumam Ara. Gadis cantik itu sedari tadi menatap jendela luar kereta dengan menopangkan kepalanya di tangan yang bersandar apik di pinggir jendela kereta. Ara tidak pernah memalingkan wajahnya dari pemandangan luar di sana. Anak tersebut memilih diam untuk merenungkan nasibnya yang jauh dari kata beruntung. Cinta hadir dalam diri seseorang bukanlah sebuah kesalahan. Toh, tidak ada satupun orang di dunia ini yang bisa menentukan kapan akan jatuh cinta dan kapan akan patah hati. Bahagia saja tak tahu kapan datangnya. Bahagia mungkin bisa tercipta tetapi, tidak ada yang bisa menjamin akan bertahan lama. Ara pikir memantaskan diri untuk cintanya akan membawanya pada pria yang dicintainya. Ternyata, memantaskan diri yang ia pilih justru malah menjauhkan dirinya pada cintanya. Bersama pria itu, Ara tahu jalannya tidak mudah. Restu orang tua akan menghalanginya tapi, bagaimana jika restu yang ia dapat berasal dari hadiah karena prestasinya? bukankah agak sedikit lebih mudah. Namun, Ara melupakan satu hal. Satu hal yang luput dari rencananya. Ara masih belum memastikan cinta pria itu tertuju pada siapa. Sehingga kabar yang datang padanya malam itu cukup mengejutkan dan di luar rencananya. Harusnya sebelum bertindak, ia harus tahu dulu pantas tidaknya memperjuangkan orang itu. Hah, pembuktian mandiri dan berprestasi sekarang, rasanya percuma. "Akankah aku bisa menerimanya," bisik lirih Ara sebelum menutup kedua matanya. Ara memilih tidur sejenak sebelum menghadapi orang yang tanpa sengaja menorehkan luka di hatinya. Layaknya seorang pemahat patung, Ara mencoba mengukir senyumannya sendiri di wajah cantiknya. Orang lain terutama dia, tidak boleh tahu patah hati yang ia rasakan saat ini. "Dia tidak menjemput ku seperti biasanya." Ara tersenyum miris. Biasanya, setiap seminggu sekali Ara kembali ke rumah orang tuanya pria itu sudah berdiri tepat di depan pintu masuk dan keluar kereta gerbong yang ia tempati untuk menjemputnya kembali ke rumah. Sekarang, pria itu tergantikan oleh orang lain. "Nona Ara, saya ditugaskan menjemput anda." Ara memunculkan kembali senyumnya yang sempat pudar berganti kecewa sesaat tadi. "Terima kasih, Pak." Hanya itu yang bisa Ara ucapkan, ia tidak memiliki niat untuk mengobrol. Kekecewaannya belum hilang. Ya, semudah itu dirinya digantikan oleh orang lain tanpa diprioritaskan lagi. Setelah beberapa lama kemudian, kendaraan jemputan Ara sudah berhenti di sebuah rumah yang Ara sangat ingat dengan jelas. Rumah di mana ia telah tumbuh selama hampir empat tahun ini. Rumah yang Papanya beli usai sang Mama setuju untuk pindah dari kediaman Papa Marcel. Tentang Papa Marcel, tidak ada satu pun dalam keluarganya yang melupakan sosok yang satu itu bahkan Kalisya sebagai anak terakhir yang tidak tahu apa-apa pun tahu. Bagaimana pun Papa Marcel memiliki tempat sendiri dan tidak terlupakan, salah satu sosok yang berjasa, sosok Papa yang sangat membanggakan. Mengingat Papa Marcel, Ara jadi rindu. Ara menatap langit malam begitu turun dari mobil. Serindu-rindunya, Papa Marcel sudah bahagia. Pastinya sudah membangun istana yang megah di surga sana. Ara tersenyum tipis begitu melihat bintang paling terang di langit. Rasanya bintang itu sangat dekat, bersinar sangat terang seakan-akan tahu kesedihannya sehingga memberinya sedikit hiburan. Papa Marcel, terima kasih. "Ara!" seruan itu jelas Ara tahu dari siapa. Siapa lagi kalau bukan sang Mama tercinta. Ara mengalihkan pandangannya dari langit berganti menuju ke arah keluarganya yang baru saja keluar dari rumah. Satu hal yang Ara patut syukuri lahir di tengah keluarga ini meski rumit di awal adalah sambutan dan kehangatan yang tak pernah tergantikan. Lihat, seluruh keluarganya keluar rumah bersama-sama hanya untuk menyambutnya. Papa Andrean, Mama Marsha yang sudah semakin tua tapi, tetap tampak dan cantik. Kakak tertuanya Acio yang masih sama keren, tampan dan pendiam, Badil yang sudah tumbuh besar dengan wajah yang hampir serupa Papa kandungnya--Papa Marcel ya meskipun ada perbedaan sifat. Badil yang akan beranjak remaja ini tampak pemalu. Terakhir ada Kalisya yang cantik dan ceria seperti biasanya. "Kakak Ara!" Orang yang pertama kali memeluk Ara bisa kalian tebak dari panggilannya, tidak mungkin Badil yang pemalu. Tentu saja Kalisya. Anak itu berlari mendahului semua orang. "Kak Ara, Kal rindu!" "Sama, Kakak juga rindu, Kal," balas Ara sambil mengelus rambut Kalisya. "Nak, kamu terlalu bersemangat kali. Berlari begitu, untung saja tidak jatuh," omel Marsha. Layaknya seorang ibu lainnya, omelannya hadir agar anaknya tidak terluka. Melihat anak terluka bagi seorang ibu pastinya sesuatu yang tidak ingin terlihat. Sakitnya akan dirasa juga. "Lepas kakakmu, Mama juga mau peluk." "Ye, Mama. Mau peluk aja marah dulu," ejek Kalisya. "Terserah, Mama. Lagipula Mama tidak marah. Perasaan kamu aja itu," jawab Marsha yang mengelak akan tuduhan terhadapnya. Mendengar penuturan sang Mama, Kalisya merenggut lucu. Di rumah ini Mamanya selalu benar, ingat itu. "Sudah sebulan, Mama rindu kamu, Nak." Marsha mengeratkan pelukannya pada Ara. "Ara juga, Ma." Andrean tersenyum melihat anak dan istrinya. Kesulitan yang lalu kini telah berganti senyuman. Keluarganya berkumpul di sini menyambut putri ke dua dan anak ke empat keluarga Cudson. Walaupun Leandra tak lagi memakai namanya saat usianya tujuh belas tahun. Bagi Andrean Lea tetaplah putri pertama keluarga Cudson. Mengingat Lea, Andrean jadi mengingat putranya yang nakal itu. Hah, semoga keadaan mereka baik di sana. "Pa, Ara rindu." Kata rindu itu, serasa deja vu. "Papa juga, Ara." setelah memeluk Andrean, Ara kemudian menarik Badil dan Acio dalam pelukannya secara bersamaan. "Kak Cio, Badil, Aku pulang." "Ya, Ara." "Selamat datang, Kak Ara." Begitulah pertemuan harmonis keluarga Cudson setelah satu bulan tidak bertemu. Sebelumnya momen itu terjadi seminggu sekali. Sekarang, sebulan baru bisa bertemu karena rutinitas Ara yang kian padat di kampus. Usai makan malam bersama keluarganya ditambah mengobrol singkat. Ara pun kembali ke kamarnya. Malam ini ia akan tidur bersama Kalisya, adik bungsunya itu memintanya dan Ara sama sekali tidak keberatan. Masih belum terlalu malam, Ara pikir ia perlu merebahkan diri sebentar sebelum nanti pergi ke kamar Kalisya, janji Ara pada Kalisya pukul sembilan tepat. Masih ada waktu, rebahan sebentar asal tidak tidur, tidak jadi masalah. Lagipula, ia perlu mandi juga berganti baju nanti, tidak mungkin bila ia akan langsung tertidur. Namun, niatnya untuk rebahan sebentar berubah kala melihat kamarnya yang gelap di terangi cahaya bulan dari luar. Melihat itu, Ara tidak jadi menyalakan lampu. Entah kenapa, kakinya berjalan menuju cahaya itu. Seolah ada magnet yang menariknya ke sana. Dari jendela kaca besar pembatas balkon ini, Ara dapat melihat bulan yang tengah bersinar terang dan bulat sempurna. Bulan itu, tampak indah dipandang, lebih indah dari biasanya. Ara tersenyum melihatnya. "Sungguh indah," gumam Ara. Puas memandangi bulan tersebut, Ara mengalihkan pandangannya ke arah lain sesaat setelah ia merasa ditatap oleh seseorang. Dugaan Ara benar, ia sungguh tidak menyangka. Pria itu ... dia ada di bawah sana dan tengah menatap ke arah dirinya. Ternyata, masih sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN