3. Kejam

1230 Kata
Ara menuruni tangga dengan tergesa-gesa agaknya ia sedikit berlari menuju ke luar rumah. Sungguh, di saat ia sedang terburu-buru begini, ia tidak ingin berhadapan dengan keluarganya. Ara merasa tidak butuh ditanya-tanya di saat seperti ini. Syukurnya, Tuhan mendengar keinginannya. Ia bisa keluar rumah tanpa bertemu salah satu anggota keluarganya bahkan bisa melewati pagar dengan bebas tanpa ada satpam yang menjaga rumahnya. Tuhan seakan memperlancar jalannya untuk bertemu pria itu, seseorang yang ia cintai. "Paman!" teriak Ara, ia tidak peduli jika suaranya mengganggu para tetangganya yang ia inginkan pria itu tidak pergi. Ara mempercepat laju larinya kala melihat pria yang jauh di sana menghentikan gerakan tangan membuka pintu mobil dan berbalik menatap dirinya. "Nona Ara," gumam pria itu kala Ara berhasil berdiri di depannya dengan sedikit membungkuk juga nafas yang tidak teratur. Pria yang Ara panggil Paman itu, menatap sosok nona muda di depannya atas ke bawah. Raut wajahnya tampak khawatir kala ia melihat ke arah kaki. "Kenapa nona keluar rumah tidak memakai alas kaki?" tanyanya dengan cepat. Ara kemudian menegakkan tubuhnya lalu melihat ke arah kakinya sendiri. Benar, ia lupa memakai alas kaki. Tergesa-gesa membuatnya lupa segalanya. "Aku tidak apa-apa, Paman." Ara menunjukkan telapak kakinya yang baik-baik saja. "Tidak ada apa-apa di sini, hanya sedikit kotor," imbuhnya dengan ringisan pelan. Lebih ke arah malu karena menunjukkan kakinya yang kotor. "Tetap saja Nona Ara tidak boleh begini. Hari ini Nona baik-baik saja, bagaimana lain kali? coba Nona pikir, andai beberapa saat lalu kaki Nona mengenai benda tajam, apa Nona berpikir akan ada lain kali?" omelnya dengan sangat panjang, sepanjang kereta yang di naiki Ara tadi sore. Tawa kecil meluncur dari bibir Ara. Di matanya sosok pria di depannya ini sangat lucu. Sangat tidak sebanding dengan wajahnya yang terlihat dingin dan tampan. "Kenapa Nona Ara tertawa? saya mengkhawatirkan Nona." Ara tidak menjawab, tawanya malah dibuat semakin keras bahkan lebih keras dari tadi di tambah air mata yang kini tengah menggenang di matanya ikut bergabung dan sedetik kemudian mengalir membuat jejak panjang di pipi. Ini bukan air mata karena tertawa. "Paman A lucu, aku pasti merindukan omelan Paman padaku nanti." Kekhawatiran di wajah orang yang Ara panggil Paman A alias Andrew orang yang selalu di temuinya sejak kecil, tangan kanan sang Papa yang sering kali menjaganya. Dialah orang yang ada di hati Ara dari beberapa tahun lalu. Sosok pria yang Ara cintai. "Nona Ara ..." "Ara, Paman. Namaku Ara. Tolong hilangkan kata Nona itu," pinta Ara dengan sedikit tegas. Andrew sendiri menatap Ara dengan tatapan yang sulit diartikan. "Tapi--" "Tapi kenapa, Paman? Kenapa?" Ara mendekat ke arah Andrew, ia persempit jaraknya dengan pria itu. Dan ya, Air mata bukan karena tawa itu masih setia mengalir di pipi Ara. "Katanya Paman tidak akan pernah menikah?" tanya Ara sembari menatap sepasang mata Andrew yang sempat membesar tadi akibat terkejut karena pertanyaan yang keluar dari mulutnya. "Paman ingat janji itu?" "Paman juga berjanji akan terus di sampingku sampai aku dewasa, sampai akhir hidupku?" "Bukankah Paman berjanji akan selalu menjagaku?" "Kemana perginya semua janji-janji itu, Paman?!" seru Ara sembari mencengkeram erat kemeja depan Andrew membuat Andrew semakin dekat dengannya. "Paman pun berjanji tidak akan membiarkan orang-orang menyakiti Ara tapi, ternyata apa? justru Paman lah orang yang menorehkan luka paling dalam di hati Ara?!" Ara melampiaskan sakit hatinya dengan memukuli d**a Andrew menggunakan satu tangan sedang tangan yang lain masih mencengkeram bagian depan kemeja hitam yang pria itu kenakan. "Apa salah Ara ke Paman sehingga Paman setega itu sama Ara?" "Nona Ara sebaiknya pulang." Andrew melepas tangan Ara pada kemejanya. "Tuan dan Nyonya akan khawatir pada Nona nanti." "Pulang?" Ara menatap Andrew tidak percaya. "Setelah aku menangis di depanmu begini tanpa perasaan sama sekali kau menyuruhku pulang?" tangis Ara semakin deras. Jelas sudah, Andrew mulai membangun tembok antara ia dan pria itu sendiri. "Kau tidak tahu apapun, Ara," balas Andree dengan menghilangkan keformalan antara majikan dan bawahannya. "Kau yang tidak tahu apapun, Andrew! kau! bukan aku!" teriak Ara tepat di depan wajah Andrew. Ara tampak ngos-ngosan, kentara sekali sakit hati yang telah berubah menjadi emosi ini begitu banyak menguras tenaganya. Sadar itu salah, Ara mencoba menstabilkan nafasnya dan menenangkan dirinya. "Paman A," panggil Ara pelan. Saat ini ia tidak asal menyebut Andrew yang memang lebih tua darinya dengan nama saja. "Bisa kau tidak menikahinya. Bisa kau batalkan pernikahan besok?" Andrew tersentak begitu mendengar permintaan Ara. "Aku tidak ingin kau menikah, Paman. Aku juga tidak mau kau meninggalkan ku." Ara menyentuh kedua tangan Andrew. "Aku mohon, Paman. Jangan menikah. Tolong jawab aku, Paman. Kau tidak boleh diam saja." Andrew tetap tidak bergeming tapi, ia tidak melepaskan genggaman tangan Ara di kedua tangannya. "Kalau kau tidak mau membatalkannya begini saja. Bagaimana jika kau pergi denganku sekarang? malam ini juga. Kita pergi ke tempat jauh tanpa ada seorang pun yang mengenal kita. Kita bisa bersama-sama di sana, tanpa ada yang mengganggu, tanpa mempedulikan kasta juga. Aku mau hidup bersamamu apapun keadaannya." "Nona tolong jangan berkata sembarangan. Lebih baik Nona Ara pulang saja." Kali Andrew melepaskan Ara sembari mundur menjauh, menjauhi gadis muda itu. Kesekian kalinya, hati Ara tergores sesuatu yang tak kasat mata, ia ditolak dengan sangat jelas. Tubuhnya lemas seketika. Ara lalu membuang pandangannya dari Andrew ke jalan yang dipijaknya. "Paman ... apa kau mencintai wanita itu?" tanya Ara dengan suara pelan. "Kau mencintai wanita yang akan jadi istrimu, besok?" ulangnya. Andrew menutup sepasang matanya seraya mengepalkan kedua tangannya sebelum ia memberi jawaban pada Ara. "Ya." Tubuh Ara terguncang terlihat dari bahunya yang bergerak. Ara tengah menangis sembari tertawa. Lagi-lagi hatinya tergores, ini lebih dalam dari sebelumnya. Tak ingin terlalu lama di sini hanya untuk mendapat rasa sakit di hatinya, Ara menegakkan kepalanya, ia tatap Andrew seraya menghapus air matanya. Dan dengan gerakan tiba-tiba Ara meraih leher belakang Andrew meskipun sedikit susah karena perbedaan tinggi badan tapi, ia berhasil. Berhasil memberi kecupan ringan dibibir Andrew. "Aku mencintaimu, Paman. Semoga kau bahagia dengan pilihanmu itu." Setelah itu, Ara berlari menjauh dari Andrew. Ia kembali ke rumahnya tanpa menoleh ke belakang lagi. Berakhir sudah, cintanya sudah berakhir bahkan sebelum ia memulai. Pengorbanan kecilnya ternyata sia-sia. Pada akhirnya ia harus merelakan. Ara menjatuhkan dirinya ke atas kasur dengan kondisi telungkup. Ia menutup wajahnya di atas bantal. Lagi dan lagi gadis kecil yang telah tumbuh itu meluapkan sakit hatinya dengan menangis. Malam kemarin hingga ia sampai di rumah, ia dapat menahan air matanya dengan sangat baik tetapi, di depan pria itu air matanya runtuh. Ia tak berdaya di depan orang yang ia cintai. Ya, kenyataan yang ia dengar secara langsung dari mulut pelaku utama jauh lebih menyakitkan dibandingkan. mendengar dari mulut orang lain. Segala pertanyaan pun muncul di pikiran Ara di tengah tangisnya. Kapan Paman A bertemu wanita itu? Seperti apa rupa wanita itu? lebih cantik dari dirinya kah? Kenapa Paman A mencintai wanita itu? Dan sejak kapan mereka berhubungan? Berapa lama? Semua pertanyaan itu pastinya hanya sekedar pertanyaan belaka tanpa ada jawaban. Rasa penasarannya kalah dengan kekecewaan yang Ara rasakan. Ara merasa ia tidak perlu tahu supaya tidak sakit lebih dalam lagi. Ara menghentikan tangisnya begitu mendengar pintu kamarnya terbuka. "Yah, kak Ara sudah tidur. Kakak pasti kelelahan. Tak apa, besok kita bisa tidur bersama," ujar seseorang di belakang Ara. Orang tersebut juga mengelus rambut Ara sebentar sebelum pergi. "Tidur yang nyenyak, Kak." Begitu pintu kamarnya tertutup, Ara kembali pada tangisnya. Air mata dari matanya tak kunjung berhenti meski ia mencoba untuk menghentikannya. Sakit hati dan kecewa, ternyata sesakit itu memang. Hah, kejam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN