4. Secuil Kenangan

1100 Kata
"Paman A kenapa ada di sini?" Sosok pria dewasa yang dipanggil paman itu tidak menjawab pertanyaan yang tertuju padanya. Dia malah melangkah mendekati si pemberi pertanyaan dan duduk di sisinya. "Paman tidak sengaja melihatmu di sini," balasnya kemudian. "Ara, Paman pikir Tuan dan Nyonya tidak semiskin itu hingga membiarkan putri tercintanya duduk di pinggir jalan dengan gelas plastik kosong di depannya," imbuhnya sembari melirik gelas di depan Ara. Ya, dua orang yang saling berinteraksi itu Ara juga Andrew alias Paman A. Itu panggilan khusus yang Ara buat untuk bawahan Papanya tersebut. "Paman menuduhku mengemis? Aku tidak sedang mengemis, Paman!" seru Ara, agak sedikit nyolot. "Terus kenapa itu ada di sana?" tanya Andrew sembari menunjuk gelas kosong yang sedari tadi menjadi perhatiannya. "Mana Ara tahu. Mungkin gelas itu yang ikut Ara." "Oh, aku pikir gelas itu sudah ada di sana sebelum kau duduk di sini," ujar Andrew dengan senyum tipis di wajahnya. Pria itu tampak menatap Ara yang menggembungkan kedua pipi sambil menatap kesal ke arahnya. "Kenapa kau menatap Paman begitu?" "Paman membuatku kesal!" teriaknya dan sontak memberi Andrew hadia sebuah pukulan berulang di tangan pria itu. "Tidak." "Ya, Paman mengejekku tadi." Andrew menggeleng kecil. "Tidak Ara, Paman hanya mengatakan yang terlintas dipikiran Paman saja." "Cih, Paman pembohong." Setelahnya Andrew tertawa kecil tapi, itu tidak berlangsung lama. "Paman pikir Ara anak kecil yang bisa dengan mudahnya dibohongi." Ara menekuk kedua lututnya lalu memeluk lutut tersebut. Dagunya ia tumpukan ke atas lutut kemudian bergumam, "Ara sudah dewasa, Paman. Ara sudah tahu semuanya." "Kenapa kalau kau sudah tahu. Kau membenci Papamu?" seketika itu pandangan Ara yang tadinya tertuju pada gelas kosong di depannya beralih ke arah Andrew dengan tidak meninggalkan tumpuan kepalanya pada lututnya. "Ara tidak tahu." "Jangan mencari tahu kalau begitu," balas Andrew cepat. "Paman bukannya tidak menyalahkan Papamu. Tentu perbuatannya salah terhadap Mamamu. Hanya saja, jika bisa dilihat dari sudut kecil di hati Papamu, dia juga tidak ingin melakukannya. Dia hanya tidak berdaya." Ara memalingkan muka, tak lagi menatap Andrew. "Papa tidak bisa mengontrol dirinya." "Itu kelemahan, Papamu." "Kenapa Paman tidak mencegahnya? Paman selalu bersama Papa." Andrew tersenyum tipis. "Sialnya, hari itu bukan Paman yang mendampingi Papamu. Bukan Paman yang ada di dekat Papamu, Ara." Suasana berubah menjadi hening. Baik Ara maupun Andrew kompak menutup mulutnya. Hal tersebut terjadi cukup lama, sampai Andrew memulai obrolan lagi. "Tapi, Ara, waktu berlalu begitu cepat. Sudah hampir tujuh belas tahun lamanya peristiwa tak diinginkan itu terjadi dan hampir sepuluh tahun kau bersama Papamu. Tinggal serumah, bermain, jalan-jalan bersama Papamu. Dia pun menuruti semua keinginanmu tentu atas persetujuan Mamamu." "Dari kenangan sepuluh tahu itu, pernahkah kau melihat Papamu menyakitimu Mamamu lagi?" Ara terkejut, spontan semua kenangannya bersama sang Papa terlintas di kepalanya. Tak hanya bersama Papanya tetapi, seluruh anggota keluarganya juga. "Ara tidak ada manusia suci di dunia ini. Setiap manusia punya kesalahannya masing-masing. Setinggi dan serendah apa porsi kesalahan itu pasti akan ada maaf di sana." Andrew menatap Ara sejenak sebelum mengangkat tangannya mengelus puncak kepala Ara. "Ara, Mamamu sudah berdamai dengan masa lalu. Dia sudah memaafkan Papamu. Papamu pun telah menyesali perbuatannya. Sekarang, selagi masih ada waktu. Papamu gunakan waktunya yang tersisa untuk membahagiakan istri serta anak-anaknya. Dia selalu mengutamakan kalian dibanding dirinya sendiri." "Papa," panggil Ara. Tangisnya pecah. Melihat Ara menangis, Andrew langsung membawa Ara ke dalam pelukannya. "Papamu rindu anak-anaknya. Jadi, bisakah kau maafkan dia, Ara?" "Ara mau Papa, Paman." Ara membuka sepasang matanya. Ia mengerjap sesaat sebelum membalikkan tubuhnya menjadi telentang. Pandangan matanya menerawang kosong pada langit-langit kamar. Bermimpi sesuatu yang pernah terjadi untuk saat ini, sangat menyebalkan bagi dirinya. "Kenapa kau harus datang ke mimpiku? aku membencimu," gumam Ara dan tanpa sadar air mata mengalir diujung matanya. Semalam setelah menangis semalaman Ara ketiduran. Sungguh, Ara tidak mengharapkan sakit hatinya membawa dirinya ke kenangan masa lalu, melalui mimpi dengan sangat jelas. "Sebenci apapun aku, pada akhirnya aku harus merelakanmu." Ara memposisikan dirinya dengan tidur miring seraya menatap jendela kamarnya yang menampakkan cahaya matahari, Ara lalu menarik guling untuk ia peluk. "Biarkan aku menangis untukmu kali ini, nanti setelah kau resmi jadi suami orang, aku tidak akan menangisi mu lagi, Paman." Ara tersenyum miris setelahnya kembali berkata, "Paman, kau pasti senang. Tidak akan ada lagi bocah kecil yang mengganggumu dengan kebawelannya." "Kak Ara, bangun! Kakak harus cepat bersiap. Kita harus segera menuju tempat pernikahan Paman Andrew!" Secepat kilat, Ara menghapus air matanya. "Kakak akan turun, Kal. Tunggulah di bawah." "Baik, Kak." Ara bersyukur, Kalisya tidak banyak bertanya atau mendekat ke arahnya bahkan langsung pergi. Mungkin karena waktu mepet, anak itu perlu bersiap juga. Dengan tubuh lunglai tanpa semangat, Ara menuju kamar mandi. Hari ini akan menjadi hari patah hati nasional miliknya, wajar apabila ia tak bersemangat sekarang. Memakai pakaian yang telah disiapkan oleh ibunya, menata sederhana rambutnya, memakai parfum secukupnya, di tambah kaca mata ukuran sedang dengan lensa agak gelap untuk menutup sepasang matanya yang bengkak, Ara sudah siap turun menemui seluruh keluarganya yang mungkin sudah menunggunya di bawah. Melangkahkan kakinya menuruni tangga, Ara tidak mendengar suara keributan atau pun keluarganya. Rumahnya terasa hening, mungkin keluarganya tengah menunggu di luar rumah. Otak kecil Ara mencoba untuk berpikir positif. Naasnya, begitu sampai di luar rumah, Ara tidak menemukan siapapun selain dua orang berpakaian serba hitam di samping sebuah mobil. Satu orang menggunakan topi hitam, kaca mata hitam, dan jas hitam panjang hingga di bawah lututnya sedangkan satu orang lagi hanya memakai kaca mata juga dengan stelan kemeja hitam. Melihat dirinya keluar rumah, sosok yang memakai topi tersebut masuk ke dalam mobil sementara satu lainnya menghampiri dirinya. "Nona, keluarga anda sudah berangkat lebih dulu. Tuan, menitipkan anda pada kami." "Kenapa?" tanya Ara. Ia cukup heran, bisa-bisanya keluarganya meninggalkannya. "Untuk menghindari macet dan datang tepat waktu, Tuan dan Nyonya memutuskan berangkat lebih dulu." Ara cukup meragukan alasan tersebut tetapi, ia tidak melawan. Mungkin memang benar keluarganya sedang buru-buru, tidak ingin terlambat di hari terpenting orang yang memiliki jasa besar pada keluarganya. "Baiklah." Mengerti, pria berkemeja itu segera membukakan pintu mobil untuk Ara masuk. "Buat diri Anda senyaman mungkin, Nona. Perjalanan jauh menanti anda." Ara mengerutkan dahinya mendengar penuturan pria itu sebelum menutup pintu mobil. Ia sungguh tidak mengerti dan tidak mencoba untuk mengerti. Pikirannya terlalu kalut saat ini. Ia tidak bisa fokus, mana mungkin fokus jika pikirannya pergi entah kemana. Mobil tersebut perlahan keluar dari pekarangan rumah. Meninggalkan rumah keluarga Cudson dan sesosok pria yang termenung di depan rumah menatap mobil itu hingga hilang dari pandangan matanya. "Hanya ini yang bisa aku lakukan." Pria itu kemudian mengacak rambutnya kasar. Sejujurnya, ia bukan seorang pekerja yang bekerja di sini. Ia terpaksa melakukan ini demi seseorang yang telah kehilangan akalnya. "Semoga tidak ada hal buruk terjadi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN