Bab 1. Pertemuan Pertama
“Lepaskan! Siapa kalian? Mau dibawa ke mana saya?” tanya Naura dengan nada gemetar.
Sesaat lalu ia mengangkat panggilan dari ponsel yang ditemukannya. Namun, ternyata semua berdampak fatal. Tangannya dicengkeram kuat oleh dua orang asing yang tidak dikenal.
“Lepaskan! Kalian siapa?” Naura kembali mengulang pertanyaan yang sama. Ia berusaha untuk memberontak, tapi tenaganya tidak kuat melawan orang yang menariknya.
Wanita cantik berambut panjang itu dipaksa untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa penjelasan, tanpa sepatah kata pun terucap.
“Ini di mana? Mau kalian apa?” tanya Naura dengan ketakutan, rasanya ingin sekali berteriak, tapi mulutnya terperangkat dengan seulas kain menutup mulutnya. Matanya pun ditutup layaknya tahanan, lalu dibuka di tempat yang entah sama sekali tidak dikenali oleh wanita berhidung mancung tersebut.
Pria yang membawanya itu ke luar. Lalu disusul dua wanita berparas elok yang masuk ke dalam ruangan. Penampilannya rapi dengan rambut yang disanggul indah.
“Kalian mau apa?” tanya Naura bingung. Matanya melirik ke setiap sudut ruangan yang tidak ia kenal. Degup jantungnya begitu cepat, tak bisa dikontrol.
“Kami menjalankan tugas saja, Cah Ayu. Mohon kerja samanya.” Salah satu wanita itu menyeringai tipis pada Naura.
Awalnya Naura menolak ketika hendak didandani. Ia memberontak ketika kuas hendak disapukan ke wajahnya.
“Mohon kerja samanya, Cah Ayu. Kami hanya bekerja. Kami bisa dihukum jika tidak menjalankan tugas,” pinta wanita itu tegas.
Mendengar penjelasan seperti itu, Naura mendengkus kesal, dan akhirnya menurut. Ia pasrah ketika wajah polosnya disapu oleh make up tebal di wajahnya. Meskipun ia tidak tahu untuk apa ia diperlakukan seperti itu, Naura tetap menurut, walau gerakan tubuhnya ingin menyingkap semua peralatan make up yang ada di hadapannya.
Waktu terus berjalan, dua perias itu pun telah meninggalkan ruangan. Hanya ia seorang diri dengan pakaian yang sedikit terbuka. Ya, dua perias tadi memintanya untuk mengenakan pakaian seksi terebut.
“Sungguh menjijikkan baju ini!” gumam Naura kesal.
Suara pintu berderit. Disusul dengan seorang pria berpenampilan rapi masuk ke dalam kamarnya. Naura mendongakkan wajahnya, lantas terbelalak saat melihat sosok pria itu. Jantungnya semakin berdegup begitu keras, aliran darahnya mengalir begitu kencang. Apalagi ketika pria itu mengunci pintu dan melonggarkan dasi yang dikenakan.
“Maaf, Anda siapa? Ada perlu apa?” tanya Naura ketakutan. Ia yang tadinya duduk di bibir ranjang kini berdiri dan mundur, menghindar dari pria yang terus mendekat.
“Jangan sok suci!” Pria itu berseru, dengan sudut bibirnya tersenyum miring.
Mata Naura semakin awas, tubuhnya berusaha untuk bergerak. “Maaf, maksud Anda apa?” Naura terkunci. Di belakangnya hanya ada tembok, sedang di depannya ada pria asing dengan mata memerah. Napasnya terasa dari jarak beberapa inci tubuhnya, tercium bau alkohol yang menguar.
“Lakukan tugasmu dan kita akan selesai.”
Naura mengernyitkan keningnya. Ia bingung dengan penjelasan pria tersebut.
“Maksudnya —” Belum sempat Naura melanjutkan kalimatnya, tubuhnya tersentak. Pria yang tidak ia kenal membabi buta, dan terus menyalurkan hasratnya padanya. Air matanya pun luruh di ujung mata wanita itu, mahkota yang selama ini ia jaga telah ternoda oleh pria yang tak dikenalnya. Lalu pergi meninggalkan Naura begitu saja dengan keadaan kacau balau.
“Jaga janinku, akan aku beri kekurangannya setelah ia lahir.” Pria itu memberikan sebuah koper besar sebelum meninggalkan ruangan.
Naura terisak. Ia bingung dengan apa yang terjadi padanya. Semua berlalu begitu cepat. Bahkan, beberapa kali lengannya dicubit sendiri untuk memastikan kalau semua ini adalah mimpi.
“Pria b***t, pria berengsek, pria tidak tahu diri!” umpatan itu ke luar begitu saja dari mulutnya bersamaan dengan air mata yang membasahi pipinya. “Awas saja kalau kita ketemu lagi, aku habisi kamu!” pekik Naura lagi untuk mengungkapkan kekesalannya. Di menit-menit berikutnya ia terus menangis meratapi nasibnya.
“Enggak, ini enggak boleh terjadi, enak saja dia ambil mahkotaku dan membuang aku begitu saja. Aku harus lapor polisi.” Naura bermonolog sambil menyeka air matanya yang terjatuh. Dengan hatinya yang hancur, tubuhnya yang sakit, ia mengenakan pakaian seksinya kembali dan menutupnya dengan jas pria tadi. Ya, saat ini hanya itulah yang dia miliki. Tas beserta isinya dibawa oleh dua pria yang menculiknya ke tempat ini, sedangkan pakaian yang dipakainya diambil oleh perias tadi, dan digantinya dengan baju minim bahan.
Sesampai di halaman kantor polisi, langkah kakinya terhenti. Naura baru teringat, kalau dia sama sekali tidak mengenal pria yang merenggut kesuciannya. Bahkan, namanya pun tidak tahu. Bagaimana ia bisa melakukan pelaporan, yang ada justru namanya’lah yang dipertaruhkan. Bisa jadi ia dikeluarkan oleh universitas karena mencoreng nama baik kampus.
***
Dua bulan telah berlalu. Namun, trauma Naura belum juga mereda. Masih tergambar jelas bagaimana sakitnya ia diperlakukan seperti itu oleh pria yang tidak dikenalnya. Setiap pagi, ia terus menangis meratapi nasibnya.
Naura memegang perut, lalu berlari dari kamar kos menuju kamar mandi. Ia memang mengambil tempat hunian yang lebih murah, sehingga kamar mandi terpisah dari kamarnya. Hanya sebuah ruang kecil yang sudah sesak dipenuhi oleh kasur busa dan almari plastik di sudutnya.
Perutnya seperti dipelintir-pelintir, rasanya tidak karuan, sensasi itu tidak pernah ia temukan terkecuali tiga harian ini.
“Sepertinya aku masuk angin. Aku terlalu banyak aktivitas hari ini.”
Wanita cantik bermata coklat itu memang mengambil kerjaan sampingan setelah jam kelasnya usai. Semua dilakukan untuk memenuhi kehidupannya di kota. Kedua orang tuanya telah meninggal, selama ini ia tinggal di desa bersama neneknya. Hingga empat bulanan lalu, ia mengambil peruntungan dengan ikut beasiswa di universitas ternama.
Balsem dioles ke perut. Namun, sensasi itu tak kunjung mereda. Hingga akhirnya dia tersadar dengan tamu bulanannya yang juga belum tiba.
“Mungkinkah, aku ….” Naura tidak berani melanjutkan. Ia ketakutan jika apa yang dipikirkannya itu memang terjadi.
Beberapa hari berlalu, rasa mual itu terus bertambah. Bahkan, dua hari ini ia sudah ijin dari mata kuliah dan kerjaannya. Hingga akhirnya, Naura memberanikan diri untuk membeli tespack.
“Please, negative, negative,” ucapnya sambil menunggu hasil tes urin pagi itu.
Jantungnya berdegup kencang, dunia serasa mau berhenti berputar. Dipegangnya tes tersebut hingga gambar garis dua terlihat jelas.
“ Ya Tuhan,” ucapnya dengan nada pilu. Tangannya memegang d**a, di mana jantung seakan hendak berhenti memompa aliran darah, tulang-tulangnya seperti tak kuat untuk menyangga hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemas di kamar mandi.
“Buruan woy! Gantian! Yang mau mandi gak cuman kamu saja.” Gedoran pintu dari luar terdengar. Seakan tidak memberi waktu lebih untuknya menata hati.
“Ada orang di dalam tidak? Aku dobrak nih.” Suara itu semakin meninggi.
“Iya, sebentar,” ucap Naura lirih. Wanita cantik itu mencoba bangkit dengan semua sisa tenaganya, membuka pintu dan hendak berlalu.
“Naura, tunggu!”
Langkah kaki Naura terhenti ketika Widya teman kosnya memanggil.
“Ini tespack.” Widya menarik cepat barang yang ada dalam genggamannya. “Positif?” imbuhnya lagi dengan mata yang melotot.