Hari ini adalah hari di mana Laura Smith memutuskan untuk resign dari Newton Group. Napas berat bergemuruh di dadanya. Tangan bergetar memegang amplop surat resign. Terasa berat melakukan itu, namun Laura tidak ada pilihan lain selain terpaksa resign.
Laura terdiam memandangi sejenak ruangan kerjanya. Ia bernostalgia dengan kenangan selama bekerja di Newton. 5 tahun Laura membangun karirnya sebagai sekretaris. Namun, hidupnya seketika berubah 180 derajat ketika mengetahui dirinya berbadan dua.
Air mata menetes di wajah cantiknya mengingat semua kenangan di kantor. Bahkan keputusannya untuk resign tidak ada yang tahu selain dirinya.
Barang-barang sudah ia bereskan di kotak box. Laura meletakkan amplop putih di meja kerjanya.
"Selamat tinggal Newton."
Laura menenteng box dan berlalu meninggalkan ruangan seraya menyeka wajahnya.
Laura melangkah kakinya dengan cepat agar tidak ada yang mengetahui dirinya meninggal Newton. Ia sengaja datang jam 7 pagi agar bisa mengepaki barang-barang.
Laura keluar dari gedung Newton Inc dan memanggil taksi. Taksi datang, Laura masuk ke dalam taksi meninggalkan Newton Group selamanya.
"Kenapa aku seperti maling di kantorku sendiri?" Laura membuang napas dalam-dalam.
Melelahkan rasanya seperti orang ketakutan yang mengendap-endap di rumah orang. Untung saja satpam kantor tidak banyak bertanya ketik melihatnya ke kantor pada pagi buta
Laura turun dari taksi dan masuk ke apartemennya. Setiba di apartemen Laura langsung beristirahat di kasur empuk miliknya dan tidur hingga sore.
****
Sore hari, pukul 16.00
"Apa aku harus ke dokter kandungan ya?"
Laura mondar-mandir kebingungan, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Ia memang sudah mengecek kehamilan dengan alat testpack. Namun, masih ada rasa penasaran dan tidak tenang.
Laura ingin memastikan berapa usia kandungannya saat ini.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan.
"Ya! Aku harus tau berapa usia kehamilanku sekarang."
Laura mengambil tas selempang mininya di meja. Ia keluar dari apartemen dan pergi ke klinik kandungan dengan taksi.
Setiba di klinik, Laura langsung mendaftar di bagian administrasi dan menunggu giliran antrian masuk.
Ia memandangi sekeliling nampak iri melihat ibu-ibu didampingi oleh para suaminya. Sedangkan dirinya hanya tersenyum kecut sambil menunggu namanya dipanggil.
"Halo," seorang wanita menyapa Laura usia sekitaran kepala 3.
Laura tersenyum kecil dengan wanita tersebut.
"Apa ini anak pertama?" tanya wanita itu menebak-nebak.
"Iya Bu."Laura bersikap ramah seraya tersenyum.
"Wah, selamat ya. Saya dulu waktu anak pertama parnoan loh. Tapi kamu gak usah khawatir, itu sudah biasa buat wanita. Semua dilewatin dengan rasa bahagia."
Wanita tersebut mengoceh membaca kegelisahan di wajah Laura dan seperti tahu apa yang dirasakan Laura saat ini.
Laura hanya mendengarkan wanita di sampingnya itu dan membalas senyum kecil. Ia tidak tahu harus berbicara apa selain diam.
"Oh ya suami kamu di mana?"
Wajah Laura seketika berubah tidak suka dengan pertanyaan tersebut.
"Saya hanya sendiri." Laura menjawab singkat.
"Pasti suami kamu sibuk ya? Padahal peran suami itu dibutuhkan selama kehamilan."
Laura rasanya ingin berteriak pada wanita di hadapannya ini. Apa dia tidak mengerti dengan suasana hatinya sekarang yang sedang kacau?
"Bahkan aku saja tidak tau dia mau mengakui anak ini atau tidak."
Laura malas menanggapi Ibu-ibu menyebalkan disampingnya ini. Laura diam dengan wajah yang dingin, hingga suami wanita tersebut menghampiri dan pamit pulang bersama suaminya.
Akhirnya perawat wanita keluar dan ternyata nama Laura yang dipanggil masuk ke ruang dokter.
Laura pun masuk ke dalam dan duduk
"Selamat sore Ibu Laura."
"Selamat sore Dok."
"Saya Sandra. Bagaimana hari Ibu Laura hari ini?"
Dokter Sandra tersenyum hangat dengan pasiennya. Laura membalas senyum kecil. Melihat aura wajah Laura yang nampak muram, dokter Sandra tidak bertanya banyak.
"Sepertinya Ibu Laura belum tau ya usia kandungan, Ibu?"
"Belum, Dok."
"Ok, mari kita cek. Silahkan, Ibu Laura berbaring ya."
Laura mengangguk dan mengikuti instruksi dibantu oleh asisten dokter.
Laura berbaring di bed ranjang. Dokter membuka baju Laura setengah d**a sambil mengolesi gel di perut Laura.
"Kita cek sekarang ya, Bu."
Dokter menempatkan alat USG di perut Laura dan memutar-mutar pada permukaan perut untuk mencari keberadaan letak sang janin.
Nampak gambar kantung janin sebesar biji di layar USG.
"Ini ya Bu janinnya sudah kelihatan. Masih sekepal tangan ukurannya."
Laura melihat tak percaya, janin tersebut bergerak. Air matanya menetes haru melihat calon buah hatinya.
"Benarkah itu kamu, nak?"
"Iya Bu benar. Selamat ya Ibu Laura, anda sekarang sudah menjadi seorang Ibu."
"Berapa kira-kira usia janin saya Dok?"
"Dilihat dari ukuran janin Bu Laura sudah 1 bulan. Dijaga ya Bu kandungannya, karena hamil trisemester pertama sangat rawan."
"Iya Dok, terima kasih.
Pemeriksaan USG sudah selesai. Laura turun dari bed ranjang dan merapikan pakaiannya kembali.
Dokter Sandra sedang membuatkan resep vitamin dan obat untuk ditebus di apotik.
"Ini ada vitamin untuk menguatkan kandungan. Ibu Laura silahkan tebus di apotik ya."
"Iya Dok."
"Ingat ya Ibu Laura harus hati-hati menjaga kandungan. Jangan sampai stress dan kecapekan."
"Terima kasih, Dok."
Dokter pun memberikan resep tersebut dan Laura permisi pamit. Laura langsung menebus vitamin dan obatnya di apotik. Setelah itu, ia langsung pulang dari klinik.
Selama diperjalanan pulang, Laura terus mengusap-usap perutnya. Ia terus memikirkan nasib sang anak di perut tanpa sang ayah.
"Aku harus kuat dan gak boleh nyerah! Aku harus jadi Ibu yang hebat buat anakku."
Ia menyemangati dirinya sendiri dengan air mata yang menggenang di pipi. Laura tidak ingin menjadi manusia iblis yang menggugurkan bayi tak bersalah.
Bagaimana pun juga. Bayi diperutnya ini tidak bersalah.
Bersambung...