Pagi masih berkelambu gelap. Dingin udara memeluk dedaunan dengan rapat. Sisa rembulan masih menggelantung manja dengan pedar buramnya. Husain menepis bisikan alam yang menggodanya untuk bangun siang. Pria paruh baya itu memulai rutinitas paginya dengan membangunkan istri dan anak-anaknya. Lalu ia akan menyeduh seteko teh dengan rasa yang khas. Tidak ada seorang pun di rumah yang sanggup menandingi kenikmatan teh yang diseduh Husain. Tidak istrinya, tidak pula anak-anaknya.
Husain dan Tegar kemudian menyeruput secangkir teh di ruang tamu sambil menonton acara berita di televisi. Setelah cangkir tandas, Husain mengingatkan putranya untuk lekas berkemas.
“Rezeki sampai lebih cepat apabila dijemput sedangkan tidak akan kunjung datang bila kita hanya berpangku tangan,” ujar Husain kepada Tegar putranya.
Tegar mengangguk takzim meski petuah itu telah didengarnya puluhan atau bahkan ratusan kali. Terlepas dari itu, Tegar mensyukuri kedisiplinan yang ayahnya coba wariskan kepadanya.
Rampung mandi, Tegar memakai seragam montir kebanggaannya. Kemudian ia mengekor ayahnya menuju bengkel. Usaha turun-temurun dari kakeknya itu, sampai sekarang masih menjadi sumber pendapatan keluarga. Tidak mengherankan bengkel yang sudah eksis lebih dari tiga puluh tahun itu, memiliki pelanggan tetap yang setia.
Di sepanjang perjalanan menuju bengkel yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer dari rumah, Tegar menyapukan pandangannya pada deretan pertokoan yang masih tutup. Tertangkap olehnya lampu-lampu depan toko masih menyala. Kemungkinan jam delapan atau sembilan nanti lampu-lampu itu baru dimatikan oleh pemiliknya.
Kebiasaan sebagaimana itu bagi Tegar tentu sebuah pemborosan. Timpang sekali dengan budaya penghematan yang tertanam di dalam keluarga Tegar. Sejak pukul lima pagi lampu-lampu di rumahnya sudah diistirahatkan. Sementara tiap-tiap anggota keluarga sudah sibuk menjalankan aktivitasnya masing-masing.
Ibunya dengan cekatan berberes rumah. Tiada sudut rumah yang terlewat dari sentuhan tangan ajaibnya. Setelah semuanya bersih dan rapi, ibu beraksi di dapur. Dari menanak nasi hingga memasak sayur dan lauk. Sampai-sampai Tegar kecil dahulu pernah mengira bahwa seorang ibu itu pahlawan super yang memiliki delapan tangan. Ada tangan yang menggenggam sapu, pel, lap, kemoceng, wajan, panci, sodet dan centong. Sehingga banyak pekerjaan itu bisa cepat selesai.
Jika ibunya tampak sibuk seorang diri mengurus t***k bengek rumah, bukan berarti Melati adik perempuan Tegar seorang pemalas. Sedari kecil fisik Melati lemah. Melati sering sakit-sakitan. Sebab itu Melati oleh ibunya, ayahnya dan kakaknya; hanya diperbolehkan mengerjakan pekerjaan ringan saja. Seperti merapikan tempat tidur atau menjemur pakaian.
Melangkah dengan kepala dikerubuti lamunan, membuat Tegar terpana kala tanpa terasa sudah sampai di bengkel. Sekilas Tegar menengok jam bundar yang tertempel di dinding. Pukul enam pagi lebih sedikit.
Tanpa komando dari ayahnya, Tegar tahu apa yang mesti dilakukannya. Bersih-bersih dan mempersiapkan peralatan kerja Selanjutnya tanpa basa-basi lagi, Tegar merampungkan beberapa pekerjaan yang kemarin belum terselesaikan. Tak menunggu sampai setengah jam, satu per satu orang mulai berdatangan dalam berbagai urusan. Ada yang ingin beli suku cadang, ganti oli, servis, tambah angin dan sebagainya.
Di tengah konsentrasinya bekerja, tiba-tiba sebuah kegaduhan kecil mencuri perhatian Tegar. “Jangan asal menyerobot! Kau harus ikut mengantre!”
Penasaran, Tegar menelisik siapa yang berbicara begitu lantang. Ternyata Pak Samsul. Seorang bapak berbadan tegap dan berkumis lebat yang sudah jadi pelanggan tetap di bengkel. Pak Samsul melotot geram pada seorang gadis yang menyelonong masuk.
“Aku buru-buru,” ketus gadis itu cuek.
“Kau kira yang lain tidak buru-buru?” gertak Pak Samsul galak.
“Aku ada kuliah,” cetus gadis itu masih dengan nada bicara judes.
“Aku juga ada urusan!” balas Pak Samsul kesal.
Tidak lagi menggubris protes Pak Samsul, gadis itu dengan sikap masa bodohnya mendekat kepada Tegar.
“Ban motorku bocor. Kamu bisa menambal atau menggantinya segera?” tanya gadis terkesan menuntut.
Sekilas Tegar menatap gadis di hadapannya. Geming. Tegar melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai.
“Bisa tidak?” gadis itu menekan kalimat tanyanya diiringi pandang mata merendahkan.
Tegar meninggalkan sepeda motor antik milik Pak Samsul yang membuat wajah dan tangannya berlumur oli. Sembari membersihkan tangannya dengan lap, Tegar mencuri pandang kepada gadis yang masih menunggu jawaban darinya. Wajah gadis itu begitu pasi. Tegar dapat menebak gadis itu takut terlambat pada mata kuliah yang diampu oleh dosen killer.
Aneh. Alih-alih gadis itu mengucap kalimat minta tolong, ia malah berlagak sombong. Batin Tegar dengan ekor mata melirik pada ban sepeda motor matic milik si gadis yang kempes.
“Mohon maaf Pak Samsul, sepeda motor Bapak tinggal menyambung kabel saja. Karena bagian tersebut butuh ketelitian, biar nanti ayah saya yang menanganinya ya?” ucap Tegar sopan.
“Baik, Mas Tegar,” jawab Pak Samsul singkat.
Selesai bicara dengan Pak Samsul, Tegar beralih meminta izin pada pelanggan yang lain.
“Saya kerjakan sepeda motor Mbaknya dulu tidak apa-apa ya, Pak? Kasihan Mbaknya buru-buru mau kuliah. Saya janji sepuluh menit selesai.”
Bujukan Tegar pada para pelanggannya berhasil. Mereka serempak setuju. Tanpa banyak basa-basi, Tegar segera menambal ban motor milik si gadis sombong.
“Bisa lebih cepat?” hardik si gadis dengan nada cemas. Entah untuk kali ke berapa ia menengok jam di pergelangan tangannya.
“Sabar, sebentar lagi!” tukas Tegar sambil sebentar mendongak.
“Nah, selesai,” pungkas Tegar sambil memencet-mencet ban. Memastikan tingkat kepadatan ban sudah sesuai.
Gadis itu menyeringai senang. Gegas ia mengangsurkan uang yang dirogohnya dari kantung jaket. Tanpa ucap terima kasih ia buru-buru mengambil motornya lantas melesat pergi. Sosoknya kemudian dalam sekejap ditelan gaduhnya jalan raya Tangerang Selatan.
Para pelanggan yang tadinya rida gilirannya diserobot, mulai kasak-kusuk mengomentari sikap angkuh si gadis dengan nada penyesalan. Menyayangkan gadis yang dianugerahi paras cantik dan menarik bisa berperilaku tidak menyenangkan sebagaimana itu. Tegar menghela napas. Wajah judes itu tiba-tiba membayang di pelupuk matanya.
Di sisa hari itu, Tegar terus-menerus senyum-senyum sendiri. Tampaknya ia tengah dilanda serangan cinta pada pandangan pertama. Entah bagaimana, mengingat betapa cantik dan angkuhnya si gadis, Tegar menganalogikannya dengan kupu-kupu.
Menarik kesimpulan sendiri, Tegar yakin bahwa gadis tanpa nama itu tidak seburuk kesan yang ditangkap orang-orang. Sikap angkuh gadis misterius itu pasti hanya kemasan luarnya saja. Seperti halnya kupu-kupu yang dipandang suka pamer. Padahal kupu-kupu hanya berupaya menonjolkan kekuatan melalui kecantikan corak dan warna sayapnya. Sementara kerapuhan yang dimiliki ditutup sedemikian rupa. Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata. Mungkin agar lebih dihormati dan dihargai.
Walaupun Tegar seakan-akan telah dihinakan oleh sikap gadis kupu-kupu, tak segores pun ia menanggung ketersinggungan. Karena peristiwa seperti tadi pagi sering sekali ia alami. Beberapa mahasiswa yang menggunakan jasa bengkelnya mengiranya sebagai montir yang diperkerjakan ayahnya.
“Mengapa Mas Tegar tidak bilang kalau mahasiswa di kampus Depok?” protes seorang pelanggan lama.
“Iya, biar tahu rasa mereka,” sahut pelanggan lainnya.
“Pasti langsung pada melempem malu,” imbuh yang lainnya lagi.
Para pelanggan setia yang sudah mengenal Tegar, justru yang merasa geram dan kesal tiap mendapati pengguna jasa bengkel yang semena-mena. Mereka menganggap kesombongan sudah sepatutnya dibalas dengan kesombongan.
Jelas Tegar bukan orang semacam itu. Didikan dari orang tuanya menanamkan agar dirinya menjauhi sifat tinggi hati. Berulang-ulang orang tuanya juga menekankan bahwa setiap orang sama di hadapan Tuhannya. Hanya amalan saja yang membedakannya.
Maka meskipun Tegar adalah mahasiswa berprestasi di sebuah kampus ternama, ia tidak pernah enggan mengucap tiga kata ajaib: maaf, tolong dan terima kasih usai menggunakan jasa orang. Sekali pun kepada penjaga toilet terminal atau tukang parkir yang sudah dibayar.
Tidak bisa melepaskan pikiran dari bayang-bayang gadis kupu-kupu, Tegar senantiasa mengharap-harap pertemuan kembali dengannya. Mengkhayalkan ban motor gadis itu tertancap paku atau ada masalah lain hingga ia sudi menginjakkan kakinya kembali ke bengkel.