Cinta Bersemi Karena Oli

1292 Kata
Usai dosen memungkasi mata kuliah Pengantar Akuntansi, Gendis mengemasi peralatan tulisnya dengan tergesa. Ia kemudian keluar dari ruang kelas dengan langkah lebar. Padahal setengah jam lagi, kelas akan diisi mata kuliah Manajemen Strategi oleh dosen lainnya. Ngos-ngosan Adisti mengejar Gadis sambil memanggil namanya. “Mau bolos ya? Enggak ajak-ajak aku sih!” Adisti melayangkan protes. “Aku mau ke kantin sebentar. Tadi pagi belum sempat sarapan,” aku Gendis. “Oh, kiraan mau bolos karena boring sama dosen kuno yang textbook itu,” seloroh Adisti. “Kalau begitu, aku ke kantin dulu ya? Mau ikut enggak?” tanya Gendis memastikan. Enggak ah, aku mau rumpi saja sama yang lain,” tolak Adisti cengengesan sambil melangkah masuk ke kelas. Sekelebat Gendis membalik badan. Berlari kecil ke kantin. Berharap kantin sedang sepi sehingga cepat dapat sarapan lalu bisa kembali ke kelas. Gendis semringah ketika harapannya menjadi kenyataan. Ia segera memesan soto sapi porsi kecil. Tidak lupa ia mencomot seiris tempe goreng sebagai camilan sebelum soto pesanannya datang. “Tegar Permana penulis novel Gugur dan Semi Bunga?” “Yups. Kamu sudah tamat baca novelnya, kan??” “Aku khatamkan dalam semalam malah.” “Jadi bagaimana?” “Ikutlah. Aku ingin sekali foto sama dia.” Obrolan dua mahasiswi itu diam-diam dicuri dengar oleh Gendis. Usai menghabiskan sotonya, Gendis menyempatkan sebentar browsing ke akun media sosial kampus. Betapa riangnya hati Gendis kala mendapati kabar bahwa penulis novel favoritnya ada acara bedah buku di ruang seminar fakultas sastra siang hari nanti. Tergopoh-gopoh Gadis melangkah ke ruang kelas. Bukan hanya karena takut terlambat masuk kelas tetapi juga sebab ia tak sabar membagi informasi kepada Adisti. “Ah, yang benar? Bukan hoax, kan?” tanya Adisti bisik-bisik dengan wajah serius. “Iya benar. Jadwalnya tertulis di IG kampus,” tandas Gendis dengan suara lirih. “Oke, jangan terlewatkan. Berangkat!” ujar Adisti semangat. Ia lupa bahwa tengah berada di kelas. “Ada yang mau kamu sampaikan?” tanya dosen Manajemen Strategi memandang sinis ke arah Adisti. “Eh, enggak, Pak. Eh, tidak,” kata Adisti gugup. Seketika seisi kelas tertawa mengejek. Adisti yang super cuek hanya menggaruk-garuk rambut keritingnya dengan wajah lugu. Tuntas mata kuliah Manajemen Strategi, Gendis dan Adisti berboncengan motor menuju fakultas sastra. Di tengah jalan, sepeda motor Gendis mendadak mogok. “Duh, kenapa lagi ini motor!” keluh Gendis sebal. “Bensinnya habis kali,” tukas Gendis sangsi. “Impossible! Tadi pagi baru aku isi penuh.” “Terus bagaimana ini dong?! Masak kita tinggal motornya? Kita harus jalan kaki dong!” Adisti kumat cerewetnya sedangkan Gendis mengangkat tangan pasrah. Di tengah kebingungan itu, sebuah motor jantan menepi. Pengendara motor yang gagah membuka helm. Membuat Gendis dan Adisti terpana. “Kenapa motornya?” tanya Tegar memandangi dua gadis di hadapannya secara bergantian. “Kamu bukannya.....” Gendis ragu-ragu melanjutkan kalimatnya. “Mas eh Kakak paham mesin? Tolong kami dong! Motor ini tiba-tiba mogok.” Adisti yang sudah bangun dari bengongnya menimbrung. Tegar tidak menanggapi pertanyaan Adisti, ia memilih langsung beraksi. Dicopotnya jaket dan sarung tangan. Sekejap kemudian ia sudah bergumul dengan hitam oli. “Olinya sudah kotor dan hampir kering,” komentar Tegar. “His! Kamu itu ya. Kapan kamu terakhir kali ganti oli?” Adisti mengomeli Gendis bagai emak-emak kepada anaknya yang tidak mengerjakan PR. Gendis mengendikkan bahu. “Terus bagaimana Mas eh Kak?” “Sementara saya sharing oli dari motor saya dahulu. Tapi secepat mungkin harus segera dibawa ke bengkel ya buat servis dan ganti oli?!” “Oh ya, oke, Kak. Tolong lakukan yang terbaik ya.” Adisti memohon seperti keluarga pasien kepada dokter yang akan melakukan tindakan. Melihat betapa berlebihannya Adisti, Gendis membuang muka. Selama Tegar mengganti oli, Adisti tampak terkagum-kagum. Sementara Gadis yakin seratus persen bahwa pria yang sedang mengganti oli motornya sekarang adalah pria yang sama yang beberapa minggu lalu menambal ban motornya. “Sudah selesai. Maaf, saya langsung pamit ya. Jangan lupa mulai sekarang harus rutin ganti oli,” ujar Tegar sambil membersihkan tangannya yang hitam karena oli dengan tisu basah. “Terima kasih ya, Kak. Terima kasih sekali.....” ucap Adisti dengan mata berbinar-binar. “Sama-sama,” balas Tegar tulus. Adisti menyenggol lengan Gendis sambil berbisik-bisik.  “Terima kasih!” Ogah-ogahan, Gendis mengucapkan juga dua kata yang diminta Adisti. Tegar sekilas mengangguk sebelum melangkah. Menunggangi motor jatannya; ia kenakan jaket, sarung tangan, dan helm. Usai mengklakson sebagai salam perpisahan, ia melesat pergi. Meninggalkan Gendis dan Adisti yang terdiam mematung. Tegar sampai di tempat parkir gedung fakultas sastra. Tiga orang yang berseragam panitia menghampirinya. Tegar mengucapkan permintaan maaf karena datang terlambat. “Tidak apa-apa, Mas. Acaranya juga baru saja dimulai. Sekarang sedang berlangsung pembacaan puisi,” jelas salah seorang panitia. Diantar oleh Panitia, Tegar menuju tepat acara. Para penggemarnya bersorak-sorai dan bertepuk tangan. “Eh, eh,  itu bukannya yang menolong kita tadi?” tanya Adisti terkejut. Gendis melongok ke dalam ruang seminar, matanya langsung tertuju ke panggung. Sejuta tanda tanya diikuti dengan sejuta kemungkinan menggelayut di kepala Gendis. “Ayo cepat masuk!” Adisti menarik lengan Gendis setelah keduanya mengisi daftar peserta. Adisti sudah diburu penasaran oleh sosok pria gagah yang tadi menolongnya. Gendis dan Adisti saling berpandangan saat MC menyebut pria yang tangannya tadi berlumur oli sebagai Tegar Permana. Ya, Tegar Permana. Penulis yang novel-novelnya selalu best seller. Tegar Permana juga seorang mahasiswa berprestasi di salah satu universitas terbaik di negeri ini. Sekujur wajah Gendis mendadak berlumur merah malu. Hatinya tiba-tiba mengerut bak kerupuk yang tersentuh air. Lebih-lebih tatkala mengingat tingkah lakunya yang jauh dari kata santun di dua kali pertemuan pertamanya dengan penulis idolanya. “Minta tanda tangan yuk! Minta foto juga ah!” ajak Adisti antusias setelah acara bedah buku selesai. Gendis geming. Ia sudah tidak punya muka lagi untuk menemui Tegar. “Ayo, orangnya keburu pulang nanti.” Adisti menarik-narik tangan Gendis. Tidak mau mencipta drama yang berpotensi menyita perhatian publik, Gendis menurut. Ya ... walaupun wajahnya menunduk dan jantungnya jedag-jedug. Setelah sempat kehilangan jejak Tegar, Gendis dan Adisti berhasil menemukan sosok yang dicarinya di tempat parkir. “Ada yang bisa saya bantu?” sapa Tegar ramah. “Anu, Kak. Kita berdua mau minta tanda tangan dan foto. Boleh kan, Kak?” cetus Adisti. “Boleh. Maunya tanda tangannya pakai pulpen atau oli?” gurau Tegar iseng. Adisti terbahak sedangkan Gendis terkesiap. Wajahnya yang bersemu merah kian merah bagai kepiting rebus. Adisti memberikan buku kecilnya untuk ditandatangani oleh Tegar. Dengan lancang, Adisti kemudian menyerahkan ponselnya ke Gendis sementara ia sendiri berpose di samping Tegar. Meski masih kehilangan fokus, Gendis melakukan peran dadakan sebagai fotografer yang diamanahkan kepadanya. “Kalau kamu, tidak mau minta tanda tangan ke tukang tambal ban ini?” ucap Tegar menusuk balon kesadaran Gendis. “Maaf, cuma bercanda. Jangan diambil hati ya,” imbuh Tegar lembut. Selarik senyum terbit di belah bibir Gendis. “Apa sih yang sedang kalian bicarakan ini? Sepertinya kalian berdua kok sudah saling kenal?” Protes Adisti otomatis membuat Gendis dan Tegar jadi salah tingkah. Mata Gendis dan Tegar beberapa jenak bertemu di satu ruang dan waktu yang sama. Keduanya kemudian saling tersenyum penuh arti. Adisti yang merasa tidak dianggap kehadirannya, mendadak terhempas dari dunia merah jambu yang hanya cukup dihuni oleh Gendis dan Tegar saja. “Selain tanda tangan, aku telah membubuhkan nomor kontakku,” ucap Tegar dengan mata yang tertuju hanya pada Gendis. “Aku akan segera menghubungimu. Sepersekian detik setelah kita berpisah,” kata Gendis membalas dengan kalimat yang terdengar aneh bagi orang di luar zona pink. “Aku tunggu,” pungkas Tegar dengan tatap teduh. Gendis membalas dengan keteduhan yang sama. Untuk terakhir kalinya, Tegar dan Gendis saling memandang lekat seakan-akan tidak mau ada jeda. Tiba-tiba saja hati terasa sejuk sekali lantaran tunas-tunas cinta tengah bersemi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN