Sepulang dari kampus di hari itu, Tari mamanya Gendis mencium gelagat yang tidak biasa dari anak gadisnya. Gendis terus-terusan berada di kamar, bahkan tidak keluar untuk makan. Diliputi cemas dengan kondisi anak tunggalnya itu, Tari mengadu ke suaminya yang sedang dinas ke luar kota.
“Halah kayak kamu tidak pernah muda saja. Tidak usah khawatir. Fix, putri kita sedang jatuh cinta itu,” ujar Bayu tenang melalui sambungan telepon.
“Ih. Beda, Pah. Dulu waktu pacaran di SMP dan SMA tidak seperti ini,” tukas Tari.
“Gendis kan sudah semakin dewasa. Level mabuk asmara terang saja makin naik!”
“Apa begitu?” tanya Tari mulai mereda kekhawatirannya.
“Coba kamu intip. Kalau Gendis pegang HP sambil senyum-senyum berarti aman.”
Tari mengangguk-angguk paham. Mengikuti saran suaminya, Tari keadaan Gendis. Ternyata yang dikatakan suaminya tidak meleset. Sesuai wejangan dari suaminya juga, Tari membiarkan saja putrinya. Nanti kalau lapar juga keluar sendiri, pikirnya.
Gendis memang sedang kasmaran. Berjam-jam ia mengobrol melalui chat dengan Tegar tanpa bosan. Pesan balasan yang dikirimkan oleh Tegar membuat hatinya berbunga-bunga indah.
“Ah, beginilah kalau jatuh cinta dengan penulis,” desah Gendis bahagia.
Tegar: Kamu belum mengantuk?”
Gendis: Sama sekali tidak. Kamu?”
Tegar: Sama. Kamu seperti kopi.
Gendis: Bikin melek begitu?”
Tegar: Iya. Kamu juga seperti kupu-kupu.
Gendis: Kamu sudah mengatakan itu belasan kali.
Tegar: Benarkah? Aku jadi pelupa. Ingatanku hanya tentang kamu.
Gendis: Dasar lebah!
Tegar: Loh, kok lebah?
Gendis: Kata-katamu bikin hati tersengat.
Hening. Tidak ada balasan pesan dari Tegar. Wajah Gendis yang tadi berseri-seri seketika buram. Seperti lampu bohlam yang akan rusak.
Tiga puluh menit kemudian, nada dering panggilan video memecah semringah di wajah Gendis. Gadis itu kalang kabut membenahi diri sebelum menerima panggilan video dari Tegar. Gendis merapikan rambut dan pakaiannya.
“Kamu itu terlalu ya?! Sudah tengah malam begini saja masih cantik,” tutur Tegar membuka obrolan.
“Gombal benar kamu ya!” ujar Gendis terkekeh.
“Aku tidak bisa menahannya lagi kalau begini. Aku mencintaimu,” kata Tegar dengan mimik serius.
“Hmm ... apa ini tidak terlalu cepat?” lirih Gendis.
“Buatku lebih baik cepat daripada terlambat,” balas Tegar tegas.
“Sejujurnya aku juga mencintaimu,” ucap Gendis kemudian.
“Kalau begitu, maukah kamu kupu-kupu terbang bersama lebah ini?” goda Tegar sambil tersenyum jahil.
“Apakah semacam ini cara penulis menembak?” sindir Gendis.
“Ya, salah satunya. Aku masih punya cara lainnya.”
“Contohnya apa itu?” pancing Gendis.
“Dengan merayumu melalui tulisan tentunya. Namamu, senyummu, kecantikanmu, bahkan angkuhmu akan aku tulis dalam cerita pendek dan novel-novelku.”
Gendis kembali terkekeh. Lumer tawanya tidak bisa berbohong bila hatinya meleleh oleh rayuan gombal dari laki-laki di seberang sana. Ia bahagia. Ia jatuh cinta. Tak pernah sebelumnya ia merasakan cinta yang selumer ini. Meleleh bagai coklat di dalam mulut.
Kisah asmara Gendis semasa SMP dan SMA hanya lah sekedar cinta monyet semata. Ia dahulu pacaran bukan karena perasaan cinta melainkan hanya sebatas suka. Di luar itu, Gendis hanya mencoba menjadi umum sebagai kawan-kawannya. Di mana karena hampir semua temannya memiliki pacar, jadi Gendis pun terdorong melakukan hal serupa.
“Tunggu saja hari Minggu!” suara Tegar memecahkan lamunan Gendis.
“Hari Minggu? Maksudnya?”
“Ya, nanti di hari Minggu pasti ada cerita pendek tentangmu di salah satu koran nasional. Itulah pernyataan cintaku padamu. Aku ingin kamu jadi kekasihku,” jawab Tegar percaya diri.
“Kalau caranya begitu, bagaimana aku akan menjawabnya?” selidik Gendis ingin tahu. Dua bola mata beningnya mendelik.
“Kamu tidak perlu menjawabnya. Aku sudah tahu.”
“Loh, kok begitu?” protes Gendis dengan mata melotot.
“Aku tahu cinta sudah bersemi di hatimu sejak tanganku berlumur oli hari ini,” pungkas Tegar sebelum mengakhiri panggilan.
Gendis terlongong-longong beberapa saat. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke empuknya kasur. Tubuhnya menggelundung dari tubir ranjang ke tubir ranjang lainnya. Ditutupkannya selimut ke wajahnya yang bersemu merah jambu.
Nada pesan masuk refleks menggerakkan sebelah tangan Gendis. Dibukannya pesan dari Tegar.
Tegar: Cerpennya sudah jadi. Tunggu hari Minggu ya!
Gendis: Kapan kamu menulisnya?
Tegar: Beberapa saat yang lalu sebelum aku melakukan panggilan video. Hanya saja aku menggantung ending-nya.
Gendis: Really?
Tegar: Tidakkah kamu percaya kekuatan cinta? Cerpen inilah buktinya.
Gendis: Aku ingin membaca cerpennya. Aku ingin tahu seperti apa diriku digambarkan di tulisan.
Tegar: Sabar ya Kupu-Kupuku..... Tunggu hari Minggu.
Selama sepekan, Gendis menunggu-nunggu tibanya hari Minggu. Gendis yang di tengah mata kuliah sering linglung, kerap diejek oleh Adisti.
Sepulang kuliah, Adisti main ke rumah Gendis. Mamanya Gendis kebetulan ada acara arisan keluarga sehingga Adisti belum diperbolehkan pulang. Adisti sudah seperti tawanan perang saja.
“Duuh, yang pacaran sama penulis! Tiap hari kerjanya melamun ... saja,” seloroh Adisti menggoda sahabatnya sekeluarnya dari kamar mandi.
“Iri bilang bos!” balas Gendis judes.
“Memang iri sih aku. Makanya kenalin aku sama teman penulisnya Kak Tegar dong! Orangnya tidak begitu tegar juga tidak apa-apa, yang penting tidak jauh-jauh amat dari Kak Tegar deh,” rengek Adisti seperti anak kecil yang meminta dibelikan mainan. Ia menggelendot manja ke lengan Gendis.
“Jangan deh!”
“Ayolah, please.....” Adisti mengemis dengan raut wajah memelas.
“Jangan! Aku jamin kamu tidak akan kuat,” tolak Gendis lagi.
“Ih, kok begitu sih!”
“Iya efeknya itu berat. Aku saja bisa jadi kayak begini. Apalagi kamu! Bisa gila beneran nanti kamu!”
Gendis dan Adisti terbahak bersama. Tidak berapa lama kemudian, Gendis sudah terjerumus lagi ke zona merah jambu. Apalagi kalau bukan berpacaran via ponsel. Dicuekin begitu, Adisti jadi keki. Padahal ia ditahan-tahan tidak boleh pulang, ujung-ujungnya ia hanya jadi obat nyamuk bakar.
“Aku pulang saja deh,” putus Adisti cemberut.
“Loh kok bete begitu?” Gendis mengalihkan sementara perhatiannya.
“Ya iyalah. Kamu sibuk pacaran. Ini kamu baru pacaran lewat telepon lho, belum ketemu secara fisik. Coba kalau ketemu langsung, aku bakal kena kutuk jadi batu karang seperti Malin Kundang.” Adisti pura-pura marah.
“Tunggu sepuluh menit lagi, ya Sayang?! Nanti mamaku pulang bawa pizza.”
“Oh, baiklah,” ujar Adisti centil.
“Kamu itu ya murahan sekali. Dirayu pakai pizza saja langsung meleleh,” ejek Gendis diikuti lidah yang menjulur. Mencemooh.
“Eh ... tidak tahu diri. Kamu sendiri bagaimana coba? Kamu malah lebih parah. Dirayu pakai tulisan!” Adisti melawan dengan kalimatnya yang menghunjam.
Dua gadis itu kemudian perang mulut diiringi saling pukul-pukulan dengan bantal.
“Tahu enggak? Tulisan Tegar itu lebih mahal dari pizza, tahu! Satu cerita pendek saja dibayar satu juta rupiah lebih,” ucap Gadis sombong.
“Iya. Percaya aku. Si lebah memang top! Kekasih hatinya kupu-kupu yang cantik jelita,” pungkas Adisti sambil mengacak-acak rambut Gendis dengan gemas. Diperlakukan begitu, Gendis malah cengengesan kegirangan.