Work

1943 Kata
"Some people chose to hate for no reason. I choose to love you for no reason." Angel mengayuh sepedanya sekuat tenaga, peluh sudah jatuh membasahi pelipisnya. Tak peduli rasa sakit di kedua lutut, kaki mungilnya masih saja terus bekerja. Angel hanya ingin segera sampai di sebuah kafe untuk bekerja, terbiasa hidup dalam peliknya kehidupan, Angel hanya bisa pasrah menerima kehendak takdir. Sekelebat ingatan mulai mengisi pikirannya. Flashback On "Apa kau gila!" Angel berucap dengan nada marah menatap benci pria yang masih saja terus mengejarnya. "Aku gila karenamu." William hanya membalas jawaban ringan tak peduli jika Angel sudah melempar tatapan kebencian. "Pergilah! jangan menggangguku." Angel hampir frustasi, entah mimpi apa yang membuat dirinya harus bertemu dengan sosok aneh seperti William. "Sebenarnya apa yang membuat mu marah? Aku hanya menginginkan mu jadi kekasihku." William mengubah nada bicaranya lembut tidak ingin semakin menyulut api kemarahan yang tampak jelas di wajah Angel. "Aku benar-benar tidak mengerti. Kita baru sekali bertemu dan kau ingin aku jadi kekasihmu? tanya Angel sinis. "Gadis lain mungkin tergila-gila padamu, tapi tidak denganku, aku sama sekali tidak tertarik sedikitpun padamu. Sekarang biarkan aku pergi, semua mata memandang kearah kita. Aku sangat tidak menyukai menjadi pusat perhatian" lanjutnya kemudian. Langsung saja, William mengedarkan pandangan. Tersadar bahwa mereka sedari tadi sudah menjadi pusat perhatian. Semua orang menatap heran ke arah mereka berdua. Tampak jelas ekspresi kebingungan di wajah mereka. Tanpa menunggu lama lagi, Angel lalu beranjak menjauh tanpa disadari oleh William. Cukup sudah, panggung hari ini begitu melelahkan. Kali pertama dalam hidup Angel menghadapi sosok manusia seperti William, rasanya benar-benar menjengkelkan. "Ella.... tunggu!" William berseru kencang saat dilihatnya tubuh Angel sudah mulai hilang dari pandangan. Merasa tak bisa lagi mengejar langkah Angel, William berteriak kencang hingga membuat semua orang kembali menatap dirinya. "Ella.... aku bersumpah akan membuatmu jatuh cinta padaku. Kau akan jadi kekasih ku. Apa kau mendengar ku? ku katakan sekali lagi... kau akan jatuh cinta padaku Ella." Selepas teriakan yang menganggu pendengaran William tertawa bahagia seperti sedang mendapat undian berhadiah jutaan rupiah. Perasaannya begitu berbunga saat ini, tatapannya tak lepas dari punggung kecil Angel yang sudah mengecil hingga menyerah ketika si pemilik punggung hilang dari pandangan. Kau akan menjadi millik ku Ella. Kau harus bertanggung jawab pada perasan asing yang sudah hinggap di hatiku. Ella... apa yang sudah kau lakukan padaku? Angel berdecak kesal saat pikirannya dipenuhi perkataan William. Dia memukul kepalanya berharap kesadaran mulai mendatanginya. Angel menarik nafas mengusir kegelisahan yang sejak tadi memenuhi hatinya. Dia lalu memarkirkan sepedanya kemudian memasuki kafe. "Aku pikir kau tidak akan datang Angel." ucap Salsa selepas melihat Angel keluar dari toilet. "Kau tahu aku butuh uang, Salsa." balas Angel sambil menggulung rambutnya. "Semua orang butuh uang." seakan paham maksud perkataan Angel salsa menyembunyikan senyum pedihnya. Angel tersenyum tipis. "Tidak ada yang lebih membutuhkannya daripada ku, kau tahu itu." sahutnya kemudian. "Kau... terluka?" salsa mengamati dalam sudut bibir Angel yang sobek. "Begitulah, aku sudah terbiasa dengan luka." balasan lirih begitu menyentuh sudut hati terdalam. Sekuat tenaga Angel menahan air mata yang sudah tergenang. "Kalau begitu, kenapa kau tidak ingin melawan mereka?" salsa tidak bisa menyembunyikan kegeramannya saat mengetahui Angel selalu menahan diri. "Kau tahu aku tidak punya keberanian sama sekali. Kesendirian membuatku mulai memahami bahwa tak seorang pun yang dapat menolongku. Aku tidak punya tempat untuk berlindung." begitu perih kenyataan yang harus dihadapi Angel seorang diri. Tersenyum dalam kesakitan sudah menjadi tameng yang melindungi dirinya. "Katakan padaku, apa Monic menyakitimu lagi?" dengan nada penuh penekanan salsa menagih jawab dari Angel. "Tebakan mu benar, lukaku selalu berasal dari kedua wanita itu?" dengan tersenyum pahit Angel menjawab pertanyaan Salsa. "Kenapa kau selalu diam saja. Mereka sudah keterlaluan!" salsa tak habis pikir menebak jalan pikiran sahabatnya. "Biarkan saja, biarkan waktu yang menjawab kapan penderitaan ini akan berakhir." jelas Angel memasang wajah datar, dia sudah teramat letih jika berhubungan dengan kekejaman kedua wanita itu. "Angel maafkan aku. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk memarahi mu." salsa menatap penuh rasa bersalah, dia sudah teramat jengkel dengan sikap kedua wanita yang selalu saja menyiksa Angel tanpa ampun. "Tidak apa-apa, jangan membuatku merasa gadis yang sangat hebat dengan permintaan maaf mu Salsa." Angel berucap memberi nada ketengangan sambil mengelus pelan sebelah punggung Salsa. "Kau tahu, ayahmu tidak salah memberi namamu Angel. Kau memang seperti malaikat." sahutnya kemudian. Malaikat? benarkah? lalu kemana perginya sayapku saat aku tak punya tempat di dunia ini, kenapa mereka tidak membiarkanku terbang jauh meninggalkan luka ini. "Wah aku sangat terharu dengan rangkaian kata indah mu." Angel membual memasang senyum puas, merasa diri tidak pantas dengan pujian itu. Tak ingin memperpanjang pembicaraan mereka, dia segera pergi meninggalkan Salsa dengan sejuta perasaan bersalah. Angel mulai menyibukkan diri dengan membersihkan seluruh meja pelanggan. Sebentar lagi kafe ini pasti ramai pengunjung. "Selesai." gumam Angel melepas nafas kasar melihat hasil kerjanya. "Kau benar-benar Upik Abu Angel." lanjutnya kemudian. "Angel, kesini sebentar!" panggil seorang pria dari meja bartender. "Baik boss." jawab Angel berlari kecil mendekati meja bartender. "Dasar pendek, kau seperti bebek. Larimu cepat sekali." sindir pria bernama Rio yang berprofesi seorang bartender. "Maafkan aku, kau tahu kalau aku tidak pernah makan makanan bergizi." Angel sudah terbiasa dengan sikap ketus Rio, walaupun begitu dia tetaplah pria yang baik. Rio berdehem mengusir kecanggungan. "Kau ini, jangan suka merusak suasana. Aku hanya bergurau." "Apa yang bisa ku bantu?" Angel dengan cepat mengalihkan pembicaraan tak ingin rasa canggung itu terlalu lama merayap dibenak mereka. "Aku hampir lupa, tolong antarkan minuman ini ke ruangan VIP." Rio menyodorkan sebuah nampan yang sudah berisi berbagai jenis botol minuman. "Alkohol?" tanya Angel meragu. Rio mengangkat bahunya acuh. "Aku tidak ingin mencari tahu, boss yang memerintah ku. Dia juga yang menyuruhmu untuk mengantar minuman itu." jelasnya kemudian. "Kenapa?" kening Angel berkerut bingung. "Aku bukan dukun, jadi aku tidak bisa menebak isi pikiran si plontos itu." Rio mendengus tak suka, merasa jengkel dengan pertanyaan Angel. "Sudahlah, lebih baik aku pergi." merasa tak ada jawaban yang tepat, Angel segera melangkah memasuki lift yang akan membawa dirinya ke ruangan VIP. Bunyi dentingan pertanda Lift sudah berhenti, Angel keluar, berjalan mendekati pintu ruangan yang bertuliskan VIP. Perlahan tapi pasti, diayunkannya tangannya untuk mengetuk pintu. "Masuk!" perintah suara dari balik pintu. "Tuan, pesanan anda." kata Angel meletakkan nampan di atas meja. Belum sempat Angel berdiri dari posisi membungkuk, tiba-tiba suara yang sangat tidak ingin didengar membunya tubuhnya membeku. "Hai.... kita bertemu kembali." seringai licik terpatri jelas sesaat pria itu memutar kursinya. "Kau!" Angel tak kuasa menyembunyikan raut wajahnya yang terkejut. Sosok pria yang sangat dibenci duduk santai memasang senyum lebar disana. "Kenapa? Kau Terkejut?" dengan senyum penuh kemenangan jiwa iblis William berteriak bahagia melihat wajah pucat Angel. "Apa yang kau lakukan disini!" lagi, Angel selalu kalah menahan emosi jika berhubungan dengan William. William mengangkat alisnya. "Apa kau bodoh, tanyakan sesuatu hal yang masuk akal? "Kau mengikutiku bukan?" tebak Angel menyipitkan kedua matanya. William menahan kedutan di belahan bibirnya. "Kau selalu cantik dalam berbagai ekspresi, tapi kali ini kau tidak hanya cantik tapi juga menggoda." "Tutup mulutmu, pergi dari sini." Nafas Angel tersenggal-senggal karena emosi. "Hey, aku adalah tamu disini. Maka sebagai seorang pegawai yang baik kau juga harus melayaniku dengan baik." kata William menegaskan posisinya. " Baiklah jika memang itu yang kau inginkan, aku sudah melakukan tugasku sebagai seorang pelayan. Sekarang, waktunya pelayan ini pamit undur diri." Angel berujar dingin menantang William. Mata William menggelap." Beraninya kau menantangku! Kau pikir siapa dirimu?!" Langsung saja, nyali Angel menciut. Tubuhnya membeku ketika geraman itu terdengar sangat menakutkan. "Apa yang kau inginkan sebenarnya?" tanya Angel memberanikan diri. "Temani aku." pinta William tegas. "Aku tidak bisa Will_ "Liam, bukan William." koreksi William saat Angel mulai melupakan nama kesukaannya. "Baiklah Liam, aku harus bekerja." ulangi Angel menjelaskan keadaannya. "Aku akan bayar 10 kali lipat harga minuman ini jika kau menemaniku." tawar William. 10 kali lipat? Apa dia sudah gila? "Memangnya... kau punya uang?" tanya Angel pelan terselip nada tidak percaya. William tertawa. "Aku bahkan bisa membeli kafe kecil ini jika kau mau". ujarnya disela-sela tawanya. Kafe kecil katanya? dasar William bodoh. "Aku tidak mau, kalau kau ingin minum, minumlah sendiri. Aku tidak tahan dengan bau alkohol." tolak Angel cepat. William terdiam, rahangnya mengetat jelas terlihat di wajahnya, manik biru itu berubah tajam seperti silet. Angel tersentak kaget saat sebuah teriakan keras mengisi ruangan VIP. "Bento!" teriak William yang entah sejak kapan tersambung dengan panggilan. "I-iya?!" tanya sebuah suara bergetar dibalik panggilan yang sudah memakai pengeras suara. "Angel akan bersamaku, apa kau berani memecatnya?!" "Tidak tuan." "Bagus." William memutuskan panggilannya, matanya beralih pada Angel. "Duduklah." pinta William dengan nada lembut saat melihat raut ketakutan di wajah Angel. "A...aku tidak mau." balas Angel "Jangan membuatku marah, aku bilang duduk" perintah William kali ini penuh penekanan. Angel menarik nafas berulang kali, dia meremas tangannya mengusir rasa takutnya. Dia berjalan sambil memandang kearah lantai. "A-aku akan menuangkan minumanmu." ujar Angel bergetar. "Tidak perlu, kau bukan pelayanku." ujar William menghentikan gerakan tangan Angel. "Tapi... aku... "Duduklah disampingku." ucap William menepuk sofa kosong yang berada disampingnya. Angel mematung di tempatnya. Dia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. "Angel?!" geram William ketika gadis itu sama sekali tidak bergerak. Tidak ingin semakin menyulut kemarahan William. Angel segera berlari kecil mengambil duduk tepat di samping William, kedua tangannya saling bertautan menahan getaran takut yang semakin menjadi-jadi. "Kau sangat suka membuatku mengulangi kalimatku." ujar William mengubah posisi duduknya menghadap Angel. "Maaf." cicit Angel. William mengangkat dagu menunduk Angel dengan sebuah jarinya. "Tatap aku saat bicara". Angel menganggukkan kepalanya. Matanya tidak lepas dari tatapan tajam biru itu. "Bisa kau tenang sedikit? aku hanya ingin dekat denganmu." Tapi aku tidak ingin dekat denganmu! Angel menganggukkan kepalanya sekali lagi. "Apa kau bisu!" William tak tahan melihat kebungkaman Angel yang sudah semakin menjadi. Dengan cepat Angel menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kepanikan terlihat jelas si wajahnya. "Kalau begitu bicaralah, atau akan benar-benar membuatmu bisu sesaat." William memperingati Angel tajam. "Ba... baiklah." balas Angel William tersenyum kemenangan."Kenapa kau bekerja?" "Karena aku butuh uang." singkat namun mampu mengukir senyum tipis dibibir William. Angel benar- benar gadis polos. "Dimana ayahmu?" tanya William setelah berhasil menormalkan raut wajahnya. Wajah takut Angel berubah sendu mendengar pertanyaan itu. "Dia... sudah bahagia di atas sana." William berdehem sebentar. maafkan aku." bisiknya pelan penuh perasaan bersalah. "Jangan minta maaf, aku tidak terbiasa menyalahkan." balas Angel. Huh? Apa maksudnya? "Dimana ibumu? tanya William penasaran Angel terdiam sebentar. "Ibuku berada dirumah." " Apa dia tidak bekerja?" William semakin gencar mengorek informasi mengenai kehidupan Angel. "Apa kau pernah mendengar kisah Cinderella?" bukannya menjawab Angel malah balik bertanya. "Ibuku sangat menyukai kisah itu, aku sudah hapal setiap alur cerita itu." tampak kekesalan di wajah William, dia sangat tidak menyukai dongeng bodoh yang membuat semua orang bermimpi seperti itu. "Begitulah kisah ku." ujar Angel dingin. "Apa maksudmu?" didera rasa penasaran yang teramat sangat William kembali berseru. "Apa kau haus?" dengan sengaja Angel mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Kau belum menjawab pertanyaanku." ujar William kembali menghentikan gerakan tangan Angel. "Ada banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak membutuhkan jawaban." sahutnya kemudian. William mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana dengan pertanyaan yang ini? Apa pertanyaanku kali ini ada jawaban?" Angel mengangkat wajahnya kembali menatap William. "Pertanyaan apa?" "Apa kau punya pacar?" "Tidak." "Apa kau pernah jatuh cinta?" "Tidak." "Kenapa?" "Karena tidak ada yang menyukaiku." Mereka terdiam, William menatap lekat wajah Angel, membiarkan kedua matanya menjelajahi pipi putih berlemak yang terlihat menggemaskan. "Tapi aku menyukaimu." ucap William tiba-tiba setelah berhasil mengusir keheningan. Angel hanya bungkam, perasaannya kaca balau. Hatinya sejak tadi berdebar tak karuan. Matanya melebar sempurna saat mendapati sebuah benda kenyal di pipinya. Cup! "Kau sangat menggemaskan." ujar William terkekeh pelan. "Kenapa... kau menciumku?" kinerja jantung Angel yang tak normal membuat bibirnya berucap terbata. "Karena aku menyukaimu, Jadilah kekasih ku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN