PROLOG
"SELAMAT ULANG TAHUN!"
Sontak Sarah terbangun dari tidur lelapnya. Dengan pandangan sedikit agak kabur, dia berusaha bangun dan duduk di atas ranjang. Tepat di depannya, sahabatnya sudah berkumpul. Sedikit terkejut, ia menarik selimut. Seakan senang melihat mimik wajah Sarah yang bingung, mereka tertawa puas.
"Sarah," suara maskulin terdengar dari balik dua gadis yang tengah berdiri dengan membawa terompet kecil.
Pria berhidung mancung itu pun muncul, membawa kue yang dihiasi dengan lilin yang menyala. Tersenyum dan berkata,
"Selamat ulang tahun, sayang."
Kata-kata sederhana itu mampu membuat senyum Sarah mengembang seketika, seraya meremas selimut yang masih membungkus tubuhnya.
"Terima kasih, Sayang," jawabnya manja.
"Cium! Cium! Cium!" sorak teman-teman yg berada di kamarnya.
"Hentikan," ujarnya tersipu.
Jawaban tersipu Sarah, membuat mereka menjadi-jadi. Terus melontarkan kata yang sama. Pada akhirnya, sang pangeran pembawa kue mendekat dan mendaratkan bibirnya yang tipis pada dahi Sarah.
TOK TOK!!
Ketukan ringan terdengar di pintu kamar Sarah, saat dia sedang melihat sebuah video dengan tatapan sayu. Mematikan video, tepat saat ibunya masuk ke dalam.
"Sarah, makanan sudah siap."
"Iya, bu. Aku turun nanti."
Kembali dilihatnya video itu, saat pintu kembali tertutup. Video yang di ambil pada saat hari ulang tahunnya, tiga tahun yang lalu. Meskipun ia sudah melihatnya ribuan kali, tapi tetap saja membuat netra nya berkaca-kaca. Rambutnya terlihat kusut. Wajah cantiknya tak lagi berseri. Sama halnya dengan ruang kamar ini, yang seperti tak berpenghuni. Potongan koran dari tahun-tahun sebelumnya, yang dimana menuliskan tentang sebuah kecelakaan pesawat tertempel di dinding yang beberapa meter tepat di depan ranjang. Dan tepat dibawahnya, sebuah meja belajar lengkap dengan laptop yang tengah terbuka begitu saja.
Sarah meletakkan ponsel di atas ranjang. Beringsut turun. Berjalan ke jendela kamarnya, yang memiliki lebar 2 kali lebih tinggi dari tubuhnya. Menatap langit yang sedang cerah, tapi tidak secerah hatinya. Mendesah panjang setelah itu.
"Rama.. Kau ada di dimana sekarang?" katanya dalam hati.
***
"Kau menangis lagi?" tanya sang ibu. Memasukkan sendok yang penuh nasi ke dalam mulut.
"Tidak," dalihnya.
Seakan tak ingin berlama-lama dengan mereka, Sarah segera meraih piring dan mengambil nasi.
"Sampai kapan kau begini?"
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Sarah memilih diam dan mencoba menikmati makanan.
"Ibu, ingin kau pergi berlibur dengan temanmu atau carilah pekerjaan. Jangan hanya mengurung diri. Lama-lama kau gila."
Bagi Sarah, tidak apa-apa gila atau sekalian mati. Gairah hidupnya sudah lama hilang.
"Lupakan dia. Dunianya sudah berbeda dengan kita. Anggap saja dia tidak pernah ada," sahut Aldi.
Dia adalah saudara dan satu-satunya adik Sarah.
Mendengarkan Aldi bicara seperti itu, kekesalan menghampiri Sarah. Membanting sendok dengan keras. Keduanya terlonjak.
"Dia tidak mati! Dia masih hidup! Aku yakin dia berada di suatu tempat. Hatiku mengatakan dia masih hidup! Jadi tolong, berhenti mengatakan kalau dia sudah mati," teriaknya seperti orang gila. Mutiara beningnya mengalir begitu saja.
"Mbak, kau harus sadar! Mas Rama, sudah meninggal dalam kecelakaan itu!"
Aldi kembali salah bicara. Hal itu semakin membuat luapan emosi Sarah meningkat.
"Diam kau, Aldi!"
"Diam kalian berdua! Sarah! Ibu muak melihatmu bersikap seperti ini! Ibu akan menjodohkan mu dengan segera!"
Secara terang-terangan sang ibu mengatakan itu. Membuat Sarah mendengus kesal. Berjalan pergi. Kembali ke kamarnya. Suasana hatinya berkecamuk. Sedih. Marah. Sesak. Kesal. Perasaannya campur aduk. Membuatnya mulai menangis. Air matanya mengalir tanpa henti seperti layaknya guyuran hujan.
Dengan tubuhnya yang hanya 159 senti itu, dia meraih apapun yang ada di sekitar dan melemparkannya ke arah cermin, dengan menjerit sekencang mungkin. Hatinya sekarang bagaikan cermin itu. Berubah menjadi kepingan-kepingan kecil yang tidak utuh lagi. Kemudian diraihnya potongan kaca yang akan digoreskan pada pembuluh nadinya.
"Untuk apa aku hidup?! Kenapa kau pergi?! Kenapa?! Kenapa?!"
Sarah menjerit seperti tak terkendali. Aldi yang mendengar suara jeritan kakaknya, segera berlari menuju kamar Sarah dan memeluknya dari belakang.
"Mbak, istighfar mbak. Tenang! Jangan gegabah."
Sarah meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Aldi, yang justru membuat pelukannya semakin erat.
"Lepaskan! Aku tidak mau hidup!"
"Hidupmu masih panjang, jangan lakukan itu, aku mohon! Aku menyayangimu. Ibu menyayangimu!"
Mendengar hal itu, tubuh Sarah melemah, badannya perlahan-lahan terkulai dalam pelukan Aldi. Ibunya hanya bisa menangis memandang mereka dari pintu kamar.
"Tenangkan dirimu, mbak.." bisik Aldi seraya membelai lembut rambut Sarah.
Pada awalnya, Sarah adalah seorang gadis yang periang. Namun, satu tahun terakhir dia telah berubah menjadi pemurung dan lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamar.
Sejak kejadian itu, dia berubah.