Cinta Sang Psikopat

Rintik hujan membasahi bumi, seolah ikut tersedu pada wajah sendu yang kini beraliran darah. Dia menatap tapi tidak tampak melihat. Seolah dunia telah menyingkirkan cara indahnya menampakkan pandangan. Matanya kelam, dengan gurat luka di pipinya. Detik berlalu dan hanya tangisnya yang terdengar. Tangis kecil yang seolah meratap. Penuh dengan bengis di wajah sosok di depannya. Debar pada hatinya kian tidak menentu tapi sang pemberi luka tampaknya belum cukup puas menyiksanya. Tatapannya kosong jatuh pada tubuh tidak bernyawa dihadapannya. Suaminya. Pria yang dicintainya telah terbunuh. Pemuda itu pelakunya. Dengan wajah dingin bak pangeran yang hadir dari kegelapan. Keluarganya telah dihancurkan, pemuda itu membuat dia tahu kalau manusia behati iblis itu memang ada. Pemuda di hadapannya menjadi salah satunya. Pemuda itu datang padanya. Dia tidak beringsut menjauh. Tidak seperti saat pertama dia dibawa ke tempat ini. Sosok itu telah mematikan rasa takutnya sejak suaminya dibunuh dengan kekejian yang kejam. Suami yang sangat dicintainya telah tiada, lalu kini bisakah dia merasa takut lagi? Jawabannya tidak. Malah dia menginginkan kematian yang sama. Dia tidak akan pernah hidup di dunia di mana pria yang dicintainya tiada. Pemuda itu berdiri di depannya. Penuh dengan kuasa dan juga senyum memikat yang dia tahu mematikan adanya. Pemuda itu berlutut, meraih rambutnya dan dengan mudah menarik kasar rambutnya. Penuh dengan tekanan tanpa peduli, helai rambut itu habis di tangan sang pemuda. Senyum memikat pemuda itu kembali terulas sempurna. "Katakan sekarang, di mana dia?" Suaranya dingin dan juga penuh ancaman. Matanya menyiratkan sebuah kematian. Neraka ada di mata itu. Pemuda dihadapannya bagai sebuah lilin yang memikat sang lalat. Kau akan tahu dia berbahaya jika kau telah menempel padanya. Wanita itu juga terjebak dengan cara yang sama. Dia mendekat bagai lalat pada sang lilin lalu berakhir dengan menemukan dirinya terbakar hingga tidak bersisa. Sayangnya lilin yang satu ini tidak hanya akan membakar orang yang mendekatinya, tapi lilin ini akan membuat seluruh keluargamu ikut terbakar. Kejam dan tidak berperasaan. "Tidak mau bicara?" Wanita itu diam. Dia menatap sosok pemuda itu sekali lagi. Mencoba sadar kalau pria yang dicintai telah dibunuh, hanya saja sulit mengatakan itu saat pemuda ini sedekat ini padanya. Pemuda yang menarik minatnya sejak pertama dia muncul dihadapannya. "Kenapa harus anakku, kenapa anakku yang kau inginkan saat aku bahkan rela menyerahkan diriku untukmu?" Wanita itu tidak kuasa menahannya. Rasa cinta gilanya pada pembunuh suaminya. Wanita itu berselingkuh dari suaminya dan sayang sekali selingkuhannya adalah pemuda gila yang ternyata sejak awal menargetkan anaknya. Gadis kecil yang baru menginjak usia enam tahun. Segila apapun wanita itu pada iblis di depannya, dia tidak mungkin menyerahkan anaknya yang polos. Tidak akan pernah. Pemuda itu melepaskan jambakannya pada kepalanya. Dia bergumam dengan bayangan yang ada di pelupuk matanya. Dia pernah melihat terlalu banyak anak kecil di sekelilingnya. Tapi tidak ada yang bisa begitu menarik minatnya selain anak itu. Pipi berisinya yang menggemaskan. Bibir merah mudanya yang pucat. Rambut coklatnya yang menggiurkan. Bahkan aroma vanila yang keluar dari kulitnya. Membayangkannya saja sanggup membuat lidahnya menjilat tidak tentu. Dia menginginkan anak itu. Dia membutuhkan anak itu. "Anakmu selezat buah surga. Aku bahkan akan menyerahkan apapun untuk memilikinya. Dia harus menjadi milikku, entah itu hidup atau mati." "Kau b******n terkutuk! Tidak ada cinta untukmu didunia ini! Kau tidak pantas dicintai! Kau akan mati tanpa cinta!" Suara wanita itu membuat kepalanya sakit. Begitu saja dia meraih batu yang ada di dekatnya dan memukul kepala wanita itu. Sekeras mungkin. Kini hanya ada rintikan air hujan yang didengarnya. Semuanya terlalu senyap. Dia akan menemukan gadis kecilnya. Entah itu hidup atau mati. Jikapun gadis kecilnya mati, dia tetap bisa menjadikan mayatnya sebagai pengantinya. Memikirkannya saja membuat pemuda itu amat sangat bahagia.                                         ***