Bab 1 Bisikan Dendam
Angin malam berbisik di antara reranting pohon rindang, membawa aroma hujan yang akan segera turun. Di sebuah kamar kecil yang remang-remang, hanya diterangi cahaya lilin yang berkedip-kedip, Priya menatap pantulan dirinya di cermin usang. Wajahnya, biasanya lembut, kini mulai berubah. Kulitnya menjadi bersisik, hijau zamrud gelap, dan matanya berpendar merah menyala – mata ular yang tajam dan penuh dendam. Proses transformasi itu menyakitkan, tetapi ia tahan. Rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit yang telah selama ini ia pendam selama 25 tahun.
Kilasan ingatan menerjang pikirannya: api melahap rumah mereka, tangisan ibunya, dan bayangan para pembunuh yang kejam. Orang tuanya, dibunuh secara brutal oleh sekelompok orang yang haus kekuasaan. Priya kecil, berhasil meloloskan diri, tetapi luka itu terukir dalam jiwanya. Kini, usia 25 tahun telah berlalu, dan waktu untuk membalas dendam telah tiba.
Priya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia memandangi pakaian pebantu yang telah ia siapkan: gaun sederhana, rambut yang disanggul rapat. Penyamaran ini adalah kunci untuk mendekati musuhnya. Ia telah melakukan riset berbulan-bulan, mempelajari kehidupan dan rutinitas keluarga itu. Ia akan menyusup ke dalam kehidupan mereka seperti ular yang menyelinap masuk ke sarangnya.
Rasa takut memang menggigitnya, tapi keinginan untuk membalas dendam jauh lebih kuat. Ia bayangkan wajah para pembunuh itu, senyum licik mereka yang telah merenggut segalanya darinya. Bayangan itu memicu api kemarahan di dalam hatinya.
Priya berhasil mengendalikan transformasinya, kembali ke bentuk manusia. Ia memakai pakaian pebantu itu, dan melihat bayangan dirinya di cermin. Bukan lagi Priya yang rapuh, tapi Priya yang bertekad kuat.
Ia meninggalkan kamar itu, langkahnya tegas. Di ujung jalan, di seberang jalanan yang gelap, ia melihat seorang pemuda sedang menunggu di sebuah mobil. Pemuda itu memiliki wajah yang lembut dan senyum yang hangat. Arjun. Anak dari salah satu pembunuh orang tuanya. Priya merasa degup jantungnya bertambah cepat. Pertemuan ini akan mengubah segalanya. Apakah rencana balas dendamnya akan berhasil? Atau akan ada sesuatu yang lain yang menunggu di balik pintu itu?
Arjun keluar dari mobilnya, mendekat ke arah Priya. Cahaya lampu jalan menerangi wajahnya yang tampan, menonjolkan mata coklat yang penuh keramahan. Ia tersenyum, senyum yang tampak tulus dan menenangkan. Senyum yang berbanding terbalik dengan bayangan kejam yang telah lama menghantui Priya.
"Maaf, aku lihat kamu berdiri di sini lama sekali," sapa Arjun dengan suara halus. "Apakah kamu baik-baik saja?"
Priya terkejut. Ia tidak mengharapkan keramahan sedemikian rupa. Selama ini, ia hanya membayangkan wajah-wajah kejam dan kebencian. Ia mencoba mengatasi kejutannya, mencoba untuk mempertahankan perannya sebagai pebantu.
"Saya… baik-baik saja, Pak," jawab Priya dengan suara yang sedikit gemetar. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan kebingungannya.
Arjun menatapnya dengan tatapan yang membuat Priya merasa tidak nyaman. Tatapan itu tampak menembus samar penyamarannya. Sejenak, Priya merasa takut bahwa Arjun akan mengetahui identitas sebenarnya.
"Kamu terlihat lelah," kata Arjun lagi. "Apakah kamu perlu bantuan?"
Priya mengelengkan kepala. "Tidak, terima kasih, Pak."
Arjun tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Baiklah. Kalau begitu, jaga dirimu ya." Ia mengangguk dan kembali ke mobilnya.
Priya menatap mobil Arjun yang menjauh. Ia merasa bingung. Kebaikan Arjun membuatnya merasa bersalah. Apakah ia masih bisa melanjutkan rencananya? Apakah ia mampu membunuh anak laki-laki yang baru saja menunjukkan keramahan padanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya. Rasa dendam yang telah lama ia pendam mulai bercampur dengan sesuatu yang baru: keraguan. Untuk pertama kalinya sejak kematian orang tuanya, Priya merasakan sesuatu yang berbeda dari rasa benci dan amarah. Sesuatu yang mengancam untuk menghancurkan rencana balas dendamnya. Sesuatu yang disebut cinta.
Priya masih terpaku di depan rumah besar itu, pikirannya dipenuhi dengan pergulatan. Di satu sisi, ia harus menjalankan misi balas dendanya, membunuh para pembunuh orang tuanya. Di sisi lain, keramahan Arjun membuatnya merasa bersalah. Apakah ia masih bisa melanjutkan rencana itu setelah melihat kebaikan di dalam diri Arjun?
Tiba-tiba, pintu rumah itu terbuka. Seorang wanita berambut hitam legam keluar. Wanita itu berpakaian mewah dan wajahnya terlihat dingin dan tak terusik. Priya mengenalnya. Itu adalah Ibu Arjun, istri dari salah satu pembunuh orang tuanya.
Priya dengan cepat menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia harus menunjukkan bahwa ia hanyalah seorang pebantu yang tak berdosa.
"Selamat malam, Bu," sapa Priya dengan suara yang lembut. "Saya Priya, pebantu baru di sini."
Wanita itu menatap Priya dengan tatapan yang tajam. "Saya tahu," jawabnya dengan suara dingin. "Masuklah."
Priya menuruti perintah itu. Ia memasuki rumah itu, mencoba untuk tidak menunjukkan ketakutannya. Rumah itu besar dan mewah, tetapi suasananya terasa hampa dan menyeramkan. Priya merasa seperti sedang melangkah ke dalam sarang ular yang berbahaya.
Ibu Arjun menuntun Priya ke ruangan kecil di bagian belakang rumah. Ruangan itu berantakan dan penuh dengan barang-barang lama. Ibu Arjun menunjuk ke sebuah ranjang kecil di sudut ruangan.
"Ini kamar mu," katanya dengan suara yang dingin. "Jangan beraninya kau keluar dari kamar ini sebelum aku memanggil mu."
Priya mengangguk. Ia merasa terkekang dalam kamar itu. Ia ingin menjalankan rencananya, tetapi kehadiran Arjun dan Ibu Arjun membuatnya merasa bingung dan takut. Apakah ia masih bisa melakukannya? Apakah ia masih bisa membunuh orang-orang yang menunjukkan keramahan padanya?
Priya menutup mata, mencoba untuk menenangkan diri. Ia harus mencari jalan keluar dari dilema ini. Ia harus menentukan jalan hidupnya. Apakah ia akan terus dihantui oleh dendam atau akan mencari kesempatan untuk melepaskan rasa sakit yang telah lama ia pendam?
Priya duduk di ranjang kecilnya, menatap dinding yang kusam. Kamar itu terasa sempit dan mencekik. Ia merasa terjebak dalam perangkap yang telah ia buat sendiri. Rencana balas dendanya mulai terlihat kabur, dibayangi oleh keraguan yang semakin kuat.
Tiba-tiba, ia mendengar suara deburan air yang mengalir dari sisi lain pintu. Suara itu menarik perhatiannya. Ia berdiri dan mendekati pintu. Ia mencoba untuk mendengarkan dengan seksama. Suara itu semakin jelas, seperti suara air mancur yang mengalir lembut.
Priya mencoba untuk mengintip melalui celah pintu. Ia melihat sebuah ruangan yang gelap dan misterius. Cahaya remang-remang menembus jendela yang tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah patung ular besar berwarna emas menjulang tinggi, bersinar dalam kegelapan.
Priya merasa terkejut. Ia tidak pernah melihat patung itu sebelumnya. Patung itu tampak sangat familiar, seperti sesuatu yang telah lama ia lupakan. Ia merasakan sebuah hubungan yang kuat dengan patung itu, seolah-olah patung itu menceritakan kisah hidupnya.
Tiba-tiba, pintu dibuka dengan keras. Arjun berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kebingungan.
"Priya, kamu baik-baik saja?" tanya Arjun dengan suara yang prihatin.
Priya terkejut dan mencoba untuk menutupi kebingungannya. "Saya baik-baik saja, Pak," jawabnya dengan suara yang gemetar.
Arjun menatap Priya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. "Kamu sepertinya takut. Ada apa?"
Priya mengelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa, Pak." Ia mencoba untuk menarik diri dari tatapan Arjun. Ia tidak ingin Arjun mengetahui bahwa ia telah melihat patung ular itu. Ia merasakan bahwa patung itu mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di dalam rumah itu. Rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.
Arjun mengangguk dan berbalik meninggalkan kamar itu. Priya menatap pintu yang tertutup kembali. Ia merasakan bahwa ia telah memasuki dunia yang baru, dunia yang penuh dengan misteri dan bahaya. Dunia yang akan menentukan nasib hidupnya.