Devan Zahra

1475 Kata
Ingat! Beberapa part ke depan hanya menampilkan kisah remaja mereka. Sesuai genre, ini akan mengarah ke romance yang mana menceritakan kisah ketika mereka beranjak dewasa. Alias, Zahra yang masih duduk di bangku kuliah, sedangkan Devan yang sudah bekerja. Senyummu membawa kupu-kupu di dalam perutku berterbangan. Menggelitik hati, yang sudah lama tetutup dengan nyaman. Akankah kita akan menjadi sama? Di tengah perbedaan yang ada? Who knows? “Hey tayo. Hey tayo. Dia bis kecil ramah. Melaju, melompat, guling-guling, salto, breakdance, me –“ “Stop, Ra!” sentak Nana yang sejak tadi mendengar celotehan Zahra yang menyanyikan lagu ‘Hey tayo’ itu “Apa, sih, Nana, Sayang,” jawab Zahra dengan muka cemberutnya. “Suara lo ganggu pendengaran gue. Udah gak bagus, cempreng, salah lirik lagi.” Zahra hanya tertawa mendengar protes sahabatnya. Marah? Tentu saja tidak. Zahra sudah paham sifat Nana yang terlampau jujur dan asal ‘jeplak’. Itu lebih baik, dari pada dia harus menghadapi orang yang bermuka dua. “Gue mau menghibur lo. Secara lo, kan, lagi mumet tuh belajar fisika buat olimpiade nanti. Siapa tau habis lo dengar gue nyanyi, tiba-tiba dapat hidayah yang bisa buat lo menang nanti.” “Bukannya hidayah yang gue dapat, tapi amukan dari Pak Badrul nantinya.” “Hehehe.” Sudah menjadi hal umum kalau Pak Badrul adalah salah satu guru killer sekaligus guru pembimbing bagi anak-anak yang mengikuti olimpiade, khususnya fisika. Dan Nana adalah salah satu murid kebanggaan sekolah ini. Yang selalu mengikuti olimpiade fisika. Dan bukan rahasia lagi kalau Pak Badrul akan menceramahi muridnya yang tidak becus dan malas belajar. Untuk itulah Nana selalu ingin menunjukkan hal yang terbaik. Dan untuk olimpiade kali ini, dia harus menang. “Tenang aja kali, Na. Gue tau kalau lo itu paling the best soal ginian. Udah mah gue yakin lo pasti menang, deh,” ucap Zahra dengan percaya diri. “Zahra, meskipun gue mampu, gue harus tetap fokus dan belajar. Kita gak akan tau siapa lawan kita nanti. Bisa saja dia lebih cerdas dari gue,” jawab Nana. “Ya, ya, terserah lo, deh. Eh btw, gue mau ke kantin, nih. Laper. Lo mah belajar mulu. Jangan otak yang diisi terus, perut juga perlu diisi.” “Nanggung, nih. Lo ke kantin sendirian gak apa-apa, kan?” Zahra pun mengangguk. Gadis itu kemudian berlalu menuju ke pintu, mengabaikan tatapan dari teman-teman di kelasnya. Sudah bukan hal aneh jika gadis ini menjadi pusat perhatian di sekolah. Wajah yang manis, cantik, serta sifat yang periang pun membuat siapa saja yang berada di dekat gadis itu tidak akan merasa bosan. “Bu Gendut, Zahra pesen soto ayamnya ya. Kuahnya jangan banyak-banyak, seperti biasa saja. Terus teh hangatnya satu jangan terlalu manis karena Zahra sudah manis, Bu,” pesan gadis itu yang membuat orang-orang sekitarnya terkekeh geli. Bu Gendut sendiri sudah paham pesanan yang selalu dibeli oleh gadis periang ini. Makanan kesukaan Zahra adalah soto milik Bu Gendut. Bahkan gadis itu mengklaim jika itu akan menjadi makanan terenak yang pernah dia makan. Selepas memesan makanannya, Zahra pun berlalu menuju ke meja kosong yang tepat berada di depan warung milik Bu Gendut. Gadis itu memperhatikan sekitarnya. Seperti biasa ada banyak murid-murid yang ke kantin. Ada yang  makan atau hanya sekadar mengobrol bercanda gurau. Biasanya Zahra dan Nana ke sini untuk menikmati soto Bu Gendut, namun karena temannya itu sedang tidak ingin diajak, jadilah Zahra seorang diri. “HAHAHA.” Suara tawa membuat Zahra mencari sumber suara. Bukan dia saja, akan tetapi orang-orang yang berada di kantin ini juga memusatkan perhatiannya kepada sekumpulan gadis-gadis di mana salah satunya hanya diam tanpa ekspresi. Yang Zahra tau, mereka adalah satu tingkat di atasnya yang berarti kakak kelasnya saat ini. “Jadi ini tampang muka cewek perebut pacar orang. Berani banget lo deketin Devan. Punya nyali berapa lo di sini?!” tanya salah satu gadis di sana dengan tampang garangnya yang Zahra yakini sebagai ketua geng dari sekumpulan murid di sana. Oke, dari yang dia dengar, Zahra bisa menyimpulkan jika ini menyangkut perihal laki-laki. Astaga! Dia tidak habis pikir dengan para gadis yang memperebutkan laki-laki itu. Karena nama Devan sudah disebutkan, maka Zahra pun sedikit tertarik dengan kakak laki-lakinya itu. Dan dia baru tau jika kakak kelasnya itu adalah pacar dari Devan. Menarik. “Woi! Jawab, dong! Gagu lo, hah!” sentak gadis lainnya yang tak kunjung mendapat respon. “Gu-gue ... gue nggak deketin Devan. Gu-gue Cuma disuruh Pak Badrul waktu itu,” jawab gadis itu dengan gugup. (Oke, sepertinya pem-bully-an tidak baik dilakukan oleh murid-murid. Dan aku sendiri sebagai penulis sangat tidak menyarankan kalian melakukan hal ini. Bijaklah dalam membaca, ya. Ambil positifnya, buang negatifnya. Silakan lanjutkan membaca.) “Bohong, Dit!” timpal gadis lain. “Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau dia deketin Devan,” lanjutnya. “b******k! Berani banget lo!” teriak gadis pertama yang langsung mengambil segelas jus yang tadi dia minum namun hanya tinggal setengah. Tidak butuh waktu lama untuk jus itu mengalir di kepala si murid yang terkena bully-an. Terdengar pekikan terkejut dari orang-orang yang ada di kantin. Ada yang ikut tertawa dan ada juga yang memandangnya kasihan. Bu Gendut yang menyaksikan adegan tak baik itu pun segera bertindak. “Nduk, udah, udah jangan diperpanjang. Akan jadi hal yang nggak baik kalau hal ini terdengar para guru,” kata Bu Gendut mencoba mencairkan suasana agar tidak menjadi panas. Beliau lun juga membantu murid yang di-bully itu membersihkan kepalanya yang sudah penuh dengan jus. Gadis yang malang pikir Zahra saat itu. “Bu Gendut nggak usah ikut campur, deh! Jualan aja sana,” kesal gadis yang menumpahkan minumannya tadi. Zahra pun dibuat kesal karena tindakan tak menghormati orang tua yang ditunjukkan gadis itu. Menyebalkan pikir Zahra. “BU GENDUT, SOTO ZAHRA MANA?” teriak Zahra nyaring yang membuat semua orang beralih menatapnya. Ups, dia memang sengaja melakukan itu karena sudah kesal dengan tindakan para gadis di sana. Bu Gendut yang mendengar teriakan Zahra pun segera mengambilkan pesanan gadis itu. “Ini sotonya, Nak Zahra. Maaf ya Ibu lupa,” kata Bu Gendut merasa bersalah. “Nggak apa-apa, Bu. Mending Bu Gendut lanjut kerja aja. Jangan pedulikan anak-anak durhaka itu, Bu,” ucap Zahra bermaksud menyindir mereka yang kurang ajar ketika bersikap dengan orang tua. Bu Gendut pun tersenyum kecut ketika melihat perbedaan perlakuan yang ditunjukkan anak-anak di sini. Sejauh ini yang dia tahu, Zahra adalah anak yang baik. “Heh! Maksud lo apa bicara kayak begitu? Nyindir gue?” Tentu saja suara itu berasal dari sekumpulan gadis-gadis di sana. Lebih tepatnya si ketua. Zahra pun menoleh dan memandang kakak kelasnya remeh. Dia tidak takut jika dihadapkan dengan situasi seperti ini terlebih lagi dia sangat tidak suka dengan penindasan terutama ketika mereka bicara kasar kepada orang tua. “Maaf? Kamu merasa tersindir? Padahal Zahra nggak bilang kalau itu kamu. Zahra nggak bilang kalau yang Zahra maksud itu dia, kan, Bu Gendut?” tanya Zahra bersikap seolah memang dia sedang tidak menyindir siapa pun. Bu Gendut yang ditanya seperti itu pun mengangguk membenarkan perkataan gadis ini. “Adik kelas memang pada songong, Dit. Belum tau aja siapa kita di sini,” sambung teman ketua geng tadi. “Atau dia belain Bu Gendut karena itu ibu dia lagi? Pantesan aja. Kelihatan banget, sih, bibitnya,” lanjut gadis itu tak berperasaan memandang keduanya dengan tatapan aneh. “Memang kenapa kalau aku anaknya Bu Gendut?” tantang Zahra yang membuat wanita paruh baya itu melotot. “Nak Zahra udah, Nak,” kata Bu Gendut bermaksud menghentikan perdebatan ini. “Nggak apa-apa, Bu. Mereka ini keterlaluan. Bisanya ngerendahin orang tua. Mereka pikir derajat mereka lebih tinggi padahal Tuhan saja tahu siapa derajatnya yang paling rendah,” ucap Zahra secara gamblang yang malah membuat Bu Gendut pusing. “b******k!” Plak Satu tamparan tepat berada di pipi mulus miliki Zahra. Oh tidak, seumur hidup dia belum pernah ditampar atau diperlakukan seperti ini. Bahkan Mama dan Papanya pun tidak pernah memukulnya, begitu juga dengan Deka dan Vanya. “Kamu?” Zahra seakan tak percaya dengan yang dia dapat saat ini. “KETERLALUAN!” Dia pun sudah tak segan untuk kembali menampar kakak kelasnya itu. Jangan anggap dia akan diam jika diperlakukan seperti ini. Hap Tangan gadis itu berhenti di udara diikuti oleh pekikan beberapa orang di sana. Zahra pun memandang nyalang orang yang berani menghalangi jalannya itu. “Devan?” ucap si ketua geng itu dengan nada keterkejutannya. Sedetik kemudian dia beralih menatap pemuda itu dengan tatapan memujanya. “Devan, dia ini adik kelas tapi kelakuannya bar-bar. Lihat, tuh, dia mau tampar aku,” ujarnya dengan nada selembut mungkin. b******k, bermuka dua ternyata, batin Zahra yang tak habis pikir mengenai kakak kelasnya ini. Devan pun memandang datar Zahra, sedetik kemudian dia menghempaskan tangan gadis itu dengan keras sampai membuat Zahra hampir terjungkal ke belakang. Setelah itu, Devan beralih menatap si ketua geng yang dengan seenaknya bergelayut manja di tangan kekar pemuda itu. “Singkirin tangan kotor lo itu,” tekannya yang membuat reflek ketua geng itu melepaskan tangannya dari lengan pemuda itu. Kemudian dia beralih menatap si gadis yang di kepalanya sudah terdapat cairan jus, dan dia menghembuskan napasnya. Mencoba menetralkan amarahnya saat ini. Setelah itu dia pergi dari sana tanpa sepatah kata apa pun yang keuar dari mulutnya diikuti oleh ketua geng dan antek-anteknya tadi. Zahra pun memandang kepergian kakaknya itu dengan datar. Sabar ya. Kita intro dulu jangan buru-buru hehe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN