“Zahra pulang.”
“Langsung ganti baju dan jangan lupa bantuin Mama masak, ya, Nak,” teriak Vanya yang tak kalah nyaring dari putrinya tersebut. Gadis itu pun bergegas masuk ke dalam kamarnya. Mengganti seragamnya yang telah bau, dan meletakkan baju kotornya di keranjang baju kotor. Kemudian gadis itu bergerak menuju ke dapur di mana Vanya telah berkutat dengan alat-alat dapurnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat kedatangan Devan yang hendak menuju ke kamarnya sendiri yang mana tepat sekali di sebelah kamar gadis itu.
Gadis itu bingung harus menyapa kakak laki-lakinya itu atau tidak. “Jauh-jauh dari gue. Gue nggak mau kena sial gara-gara lo.” Sapaan gadis itu terhenti di udara ketika mendengar nada pedas dari pemuda ini. Bahkan Devan sengaja menyenggol bahu Zahra yang mengakibatkan gadis itu terhuyung sedikit ke belakang.
“Zahra? Sudah selesai belum?” teriakan Vanya menyadarkan gadis ini ke dunia nyata.
“Iya, Ma.” Dia bergegas turun sambil sesekali melirik pintu cokelat yang tepat berada di samping kamarnya itu.
***
Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding bisa berkumpul dengan keluarga, bukan? Itulah yang saat ini gadis ini rasakan. Berkumpul dengan keluarga Grillmo membuat hati gadis ini menghangat. Perasaan kehilangan yang dulu dia rasakan perlahan mulai hilang dan tergantikan dengan rasa bahagia. Dia bersyukur memiliki Vanya dan Deka yang sama sekali tidak membedakan antara dirinya dan Devan. Meskipun keduanya bukan saudar kandung, namun Deka tetap memperlakukan Zahra seperti anaknya sendiri.
“Minggu depan kita akan liburan ke Bali. Papa minta kalian kosongkan jadwal, terutama kamu Devan,” kata Deka dengan nada tegasnya memperingatkan anak sulungnya itu. Devan memang terkenal dingin dan cuek di dalam keluarga ini. Mewarisi sifat sang papa sepertinya.
“Bali? Serius, Pa?” Zahra yang mendengar penuturan Deka pun tampak antusias, berbeda dengan Devan yang memang banyak diam.
“Iya. Bagaimana? Kamu suka?” tanya Deka kembali. Dia tahu jika keluarganya butuh refreshing terutama kedua anaknya ini yang selalu berkutat dengan buku-buku.
“Suka, dong, Pa. Nanti Zahra mau berenang di sana. Pasti seru,” ujar gadis itu disertai dengan tawanya. Deka dab Vanya yang melihat putri mereka tampak senang pun akhirnya tertular juga. Devan sendiri tersenyum sinis kala mendengar tawa gadis itu. Menyebalkan menurutnya. Orang luar yang bukan dari keluarga ini diperlakukan bak putri raja, sedangkan darah daging mereka sendiri sangat jarang mereka perhatikan. Devan sendiri sudah menebak jika liburan kali ini memang didasarkan untuk menyenangkan gadis itu, bukan mereka.
“Ma, Pa, aku ke kamar duluan. Ada tugas yang ternyata dikumpulkan besok,” ujar Devan pamit yang membuat atensi ketiga orang di sana beralih kepadaanya. Deka pun mengangguk dan mempersilakan sang anak untuk pergi.
“Aku juga, deh, Pa, Ma, balik ke kamar. Selamat malam,” ucap Zahra yang menyusul sang kakak. Gadis itu memilih berjalan tepat di belakang pemuda itu. Dia enggan untuk mendahului Devan mengingat pemuda itu memiliki tempramen yang buruk.
“Aku dengar minggu depan kamu memiliki rencana untuk ke villa bersama-sama temanmu. Itu artinya kamu tidak jadi ikut mereka, dong?” celetuk gadis itu yang malah membuat langkah keduanya terhenti. Devan yang mendengar suara gadis itu pun merasa panas.
“Jangan ikut campur urusan gue. Urusin aja hidup lo itu yang hanya jadi benalu di keluarga ini.” Sungguh perkataan yang sangat menyakitkan jika didengar orang lain. Zahra sendiri sudah hapal dengan sifat kakak tirinya itu. Devan pun melangkah kembali meninggalkan Zahra dengan sejuta rasa sakitnya. Dia tidakn pernah berpikir apa yang gadis itu rasakan ketika mendengar perkataan pedasnya.
“Oh iya.” Langkah yang Zahra ambil seketika terhenti ketika langkah di depan sana ikut juga terhenti. Dia menungguu. Menunggu kata apa lagi yang akan pemuda itu keluarkan. “Di Bali nanti jangan nyusahin orang lain, terutama gue,” lanjutnya yang malah menbuat gadis itu terdiam membisu.
Menjadi bagian dari keluarga Deka dan Vanya sungguh adalah hal yang gadis ini syukuri. Dia masih beruntung bisa diangkat menjadi anak mereka. Mengingat sang orang tua yang sudah tiada terkadang membuatnya merasa bersedih. Zahra sendiri tidak akan lupa dengan orang tua kandungnya. Gadis ini sering sekali mengunjungi makam mereka. Tentunya dia sendiri ke sana.
“Ma, Pa, apa kabar? Kalian bahagia, kan, di sana? Mama dan Papa nggak perlu pikirin Zahra lagi. Sekarang Zahra sudah bahagia bersama Mama Vanya dan Papa Deka. Mereka baik sama seperti Mama dan Papa. Ma, doakan Zahra untuk selalu bahagia, ya. Zahra sendiri selalu berdoa agar Mama dan Papa bisa tenang di sana. Zahra sayang Mama dan Papa,” ucap gadis itu yang menatap gundukan tanah yang telah mengering. Entah ini sudah keberapa kali dia ke sini, yang jelas dia akan selalu menyempatkan dirinya untuk berkunjung. Seharusnya dia ke sini bersama dengan Devan atas perintah Deka. Namun, kakaknya itu enggan sekali untuk mengantar apalagi berdekatan dengannya. Hanya di depan Deka dan Vanya lah Devan mau berdekatan dengan gadis ini.
Selama dua tahun belakangan menjadi keluarga ini, gadis itu pun bertanya-tanya kenapa Devan selalu memusuhi dirinya. Jika dilihat-lihat, Zahra sendiri sudah benar menjalankan perannya sebagai adik. Hanya Devan lah yang tidak berperan selayaknya seorang kakak.
“Kamu kenapa kasar gini, sih, Van? Dari dulu kamu kayak gini. Apa kamu lupa kata Papa? Papa bilang kita harus saling menyayangi,” protes gadis itu yang mana kedua orang tua mereka sedang tidak berada di dalam rumah. Zahra sendiri sudah kesal dengan kelakuan sang kakak yang seperti ini. Hingga dia sudah tak tahan dan langsung melabrak pemuda itu tepat di depan pintu kamarnya.
Devan yang diberi pertanyaan seperti itu pun tampak tersenyum remeh. Gadis di depannya ini benar-benar tidak tahu diri. “Gue nggak butuh alasan untuk nggak suka sama lo. Karena pada dasarnya lo memang pantas dapetin itu semua,” ungkapnya.
“Kamu masih belum terima kalau kita menjadi keluarga? Iya? Kalau seperti itu kenapa kamu nggak protes aja ke Mama dan Papa? Menjadi keluarga ini bukan rencanaku sejak awal asal kamu tau. Kalau kamu memang merasa tersaingi di sini, baiklah aku akan pergi,” balas gadis itu juga tak kalah beraninya. Devan pun tertawa sumbang. Apa gadis ini mencoba mengancam dirinya?
“Kenapa baru sekarang lo mau pergi? Apa karena udah dapetin semua keinginan lo itu? Oh gue tau, mungkin lo udah frustasi karena belum bisa mengambil semua harta keluarga gue, bukan? Benar-benar gadis nggak tau diuntung,” cecar pemuda itu tanpa memirkan bagaimana perasaan Zahra yang sesungguhnya.
Plak. Satu tamparan mendarat tepat di pipi kiri pemuda. Dia pun memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh gadis ini. “Itu adalah bayaran yang pantas untuk orang b******k kayak lo!” kata Zahra telak dan langsung meninggalkan Devan yang terdiam seakan tak percaya dengan hal yang baru dia dapatkan.