Prolog
Ia tidak bisa merasakan apa pun. Telinganya pengang hingga hanya menyisakan bunyi denging yang tak berkesudahan. Beberapa detik setelahnya barulah ia merasa indranya perlahan berfungsi. Tubuhnya diangkat lalu dibaringkan di suatu tempat. Semuanya terlalu gaduh. Atau mungkin terlalu sunyi hingga bunyi organ-organnya sendiri sudah cukup membuat telinganya sesak. Tidak ada yang menyentuhnya, tapi seluruh tubuhnya seolah tengah diserang rasa sakit yang teramat sangat. Perih. Sakit.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Apa dia masih hidup?”
“Detak jantungnya lemah.”
“Aku tidak mau tahu. Hidupkan kembali gadis itu apa pun yang terjadi.”
Apa? Siapa? Siapa yang mati?
Kemudian semuanya terasa sangat sibuk. Meskipun begitu tubuhnya tak bisa bergerak meski hanya untuk membuka mata. Tubuhnya mulai mati rasa hingga ke ujung jari kaki.
“Demi Tuhan, apakah tangannya patah?”
“Setidaknya pastikan jantungnya berdetak kembali! Dan jangan sampai ia berhenti bernapas!”
Suara-suara itu mulai terasa menjauh. Atau mungkin ini hanya karena telinganya yang mulai tidak berfungsi. Kesadarannya pun mulai mengabur. Ia mulai mengantuk.
“Bagaimana dengan orang itu?”
“Aku tidak tahu. Yang lain sedang mencarinya. Yang bisa dipastikan hanya satu, dia belum mati.”
“Sial! Tidak akan kubiarkan dia kabur semudah itu!”
“Dia benar-benar hilang.”
“Berengsek! Apa yang kalian tunggu? Selamatkan gadis ini! Aku tidak akan mengizinkannya mati. Tidak sekarang!”
Setelahnya ia tidak bisa mendengar apa pun. Ia tidur dengan begitu lelap hingga setelahnya tidak bisa mengingat apa pun lagi.