Ayah Vika membuang wajahnya ketika baru sadar ia sedang adu tatap dengan Zio.
"Ini istri saya, Reya. Dan ini anak saya, Zio." Nevan memperkenalkan Reya dan Zio.
"Atau Abang udah pernah ketemu?" Nevan menunjuk Ayah Vika.
Zio menggeleng, "belum." Jawab Zio dengan mata yang tertuju ke arah pria yang sedang pucat pasih.
Zio duduk berseberangan dengan Vika memperhatikan kekasihnya yang sedang menundukkan kepala.
"Anak saya lah yang akan menjadi pengganti saya." Ucap Nevan sambil menepuk bahu Zio.
Zio tersenyum.
Pria yang merupakan Ayah Vika juga ikut tersenyum.
"Abang duduknya gak disebelah Vika?"
Zio menggeleng.
"Abang mau pergi sama Vika." Zio beranjak dari duduknya mendekati dan menggandeng tangan Vika.
"Kita mau kemana?" Tanya Vika saat mereka sudah keluar dari restoran.
"Pergi, aku tau kamu gak nyaman." Zio menerima kunci mobil yang diserahkan kepadanya.
Vika masuk ke dalam mobil saat Zio membukakan pintu mobil untuknya.
"Kita mau kemana?"
Zio menoleh dan tidak langsung menjawab. Zio memperhatikan Vika yang sedang berusaha menurunkan ujung dress nya dimana paha Vika terekspos dengan jelas.
"Kenapa pake yang kayak gini?" Zio membuka jas hitamnya dan menutupi paha Vika.
"Selingkuhan Papa aku yang maksa."
️
Zio membenarkan posisi jas yang ada di tangannya sambil memperhatikan Vika.
"Tinggal di sini tapi aku gak pernah ke sini." Vika menatap Zio sejenak.
Zio tertawa.
"Tutupnya jam dua pagi kan?" Vika menunjuk ke arah pohon, bukan pohon asli melainkan pohon yang terbuat dari beton lalu dibungkus dengan rangka baja. Pohon tersebut dinamakan pohon super yang memiliki tinggi sekitar 50 meter dan masing-masing pohon super diisi sekitar 163.000 tanaman dengan lebih dari 200 spesies. Untuk menambah kesan cantik dan indah setiap pohon diberi lampu kecil-kecil dimana lampu itu akan menyala tidak hanya satu warna serta diiringi dengan musik.
Orang-orang biasanya lebih mengenalnya dengan kata Garden by The Bay.

"Iya jam dua, ini masih jam tujuh." Jawab Zio sambil berdiri di sebelah Vika.
Vika mendongak memperhatikan pohon-pohon indah yang ada di matanya seraya menikmati alunan musik yang mengalun.
️
"Duduk di sini." Zio menepuk-nepuk sisi tangga yang terbuat dari bahan semen.
"Susah," Vika menunjuk dress nya.
"Iya pake ini." Zio mengulurkan jas nya.
Vika pun mengambilnya lalu menutupi bagian pahanya sebelum ia duduk di sebelah Zio.
"Mau kemana?" Tanya Vika ketika Zio berdiri.
"Ngambil makanan, tadi belum sempet makan di restoran." Jawab Zio sambil berjalan.
Vika menoleh ke arah depan dimana di depannya ada sungai yang sangat bersih dan cantik yang dilalui oleh perahu.
"Ini, makan." Zio memberikan burger kepada Vika.
"Kamu udah makan?" Tanya Vika seraya mengambil burger yang Zio berikan.
"Udah pas di rumah tadi."
Vika mengangguk kecil dan mulai memakan burger nya.
"Kamu udah tau mau ketemu sama Papa aku tadi?"
"Enggak, Papi aku cuma bilang mau ketemu sama orang yang mau dia bantu."
"Bantu?"
Zio menoleh, "bantu Papa kamu."
Vika mengalihkan mata nya ke arah bangunan tinggi yang ada di seberang sungai.
"Papa kamu kekurangan dana jadi dia minta bantuan sama Papi aku." Zio menghela napas pelan. "Gak ada yang mau bantu Papa kamu selain Papi aku."
"Berarti kalo Papi kamu gak mau bantu Papa aku perusahaan Papa aku terancam bangkrut?"
Zio mengangguk.
Vika mengigit bibirnya dan mulai memikirkan soal biaya kuliahnya.
"Emm... Papi kamu mau kan bantu Papa aku?" Tanya Vika dengan penuh harapan.
"Aku juga gak tau. Malah tadi Papi aku mau minta keputusan sama aku siap bantu Papa kamu atau enggak. Kalo inget kejadian tadi siang di apartemen kamu, jujur aja aku bakal ngasih keputusan untuk gak bantu Papa kamu. Aku gak sakit hati sama cara Papa kamu ke aku, aku cuma gak suka sikap kasar Papa kamu ke kamu.
Mata Vika memanas mendengar ucapan Zio.
"Tapi karena orang itu Papa kamu, mungkin aku bakal kasih keputusan untuk bantu dia."
Vika mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menatap Zio.
"Bener?"
Zio mengangguk diselingi dengan senyuman.
Vika ikut tersenyum lebar hingga mata nya menyipit.
"Makasih." Kata Vika dengan rasa senang yang tidak dapat ia ungkapkan.
Tangan Zio bergerak mengusap kepala Vika.
"Aku buang ini dulu ya, ini minumnya." Zio memberikan sebotol air mineral lalu bangkit berdiri untuk membuang sampah burger Vika.
Setelah minum Vika berdiri untuk lebih menikmati angin malam yang menerpa wajah serta rambutnya.
Vika terlonjak kaget ketika ada yang memeluknya dari belakang.
"Zio." panggil Vika dengan jantung yang berdetak kencang, tubuh Vika melemas seketika karena ini adalah yang pertama kalinya ia dipeluk dari belakang oleh kekasihnya.
"Hmm,"
Tanpa sadar Vika meremas tutup botol yang ia pegang saat bahunya dijadikan tumpuan oleh dagu Zio.
"Ada yang liat gak enak."
"Aku cuma peluk kamu, bukan ngapain-ngapain kamu." Bisik Zio.
"Lagian..." Zio mengambil botol yang Vika pegang dan menaruhnya di bawah.
Vika menunduk memperhatikan tangannya yang mulai saling bertautan.
"Kita bukan anak SMA, kita udah cukup dewasa untuk sekedar pelukan di depan umum."
Vika tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena dirinya sedang dibuat bingung oleh sikap mendadak Zio.
Vika berdehem, "kita pulang yuk, ini udah malem. Mungkin Papa aku sama selingkuhannya udah pulang ke apartemen aku."
"Kamu tidur di rumah aku."
Mata Vika membulat.
"Tapi, kamu sendiri yang bilang gak enak kalo ada perempuan yang tidur di rumah laki-laki."
Terdengar suara tawa dari kekasihnya.
"Di rumah aku ada keluarga aku, Vika. Kamu tidur sama Mami aku."
"Gak usah." Balas Vika dengan cepat. "Aku pulang aja ke apartemen aku, gak enak kalo harus ke rumah kamu."
"Aku jamin Nia gak akan ganggu kamu. Kamu tidur sama Mami aku, gak terima protes dalam bentuk apapun."
Hell! Ada apa dengan lelaki itu? Mengapa Zio berubah menjadi laki-laki yang bisa dikatakan sedikit posesif.
"Kamu kenapa?" Akhirnya Vika memberanikan diri untuk mengeluarkan pertanyaan yang sudah ia tahan-tahan sejak tadi.
"Gak papa, emangnya aku kenapa?"
Vika menggeleng kecil.
"Jangan kaku kayak gitu, rileks."
Vika tersenyum kecil. Bagaimana ia bisa tenang jika jantungnya terus berdetak kencang.
Dengan mengumpulkan sedikit keberanian, Vika mulai menyandarkan kepalanya di d**a Zio dan menggenggam tangan Zio yang berada di depan perutnya.
"Banyak yang bilang aku gak pantes buat kamu karena aku cerewet ke kamu, posesif, manja." Vika mendongak untuk menatap Zio yang sedang berdiri di anak tangga paling atas atau paling pertama sedangkan Vika berdiri di anak tangga kedua.
"Kalo kamu gak pantes buat aku untuk apa aku pacarin kamu?"
"Karena kamu kasihan sama aku." Vika mengalihkan mata nya ke arah sungai.
Zio terdiam.
"Aku tau... Aku tau kamu deketin aku dulu karena kamu kasihan sama aku. Aku gak punya temen dan selalu sendiri. Aku sadar kamu dulu sering merhatiin aku tapi aku gak yakin kalo yang kamu perhatiin itu aku."
"Di awal kita pacaran kamu gak ada rasa sama aku kan?" Tanya Vika dengan kembali mendongak sejenak.
"Tapi sekarang aku punya rasa sayang yang banyak untuk kamu."
Vika tertawa.
"Kalo pun kamu emang gak bisa sayang sama aku gak papa, atau kamu pura-pura sayang juga gak papa. Kenapa? Karena aku udah lama gak ngerasain yang namanya kasih sayang, terus aku bisa ngerasain lagi walaupun rasa sayangnya cuma pura-pura, yang penting aku udah ngerasain lagi." Vika menatap Zio dengan senyum yang tersungging.
Melihat senyum Vika bukannya Zio merasa senang melainkan sedih, Zio tahu Vika sedang tersenyum dalam kesedihannya.
"Aku sayang kamu, aku bertahan sejauh ini sama kamu karena aku bener-bener sayang sama kamu. Mereka bilang kamu gak pantes buat aku ya kamu harus buktikan kalo omongan mereka salah, buktiin ke mereka kalo kamu pantes buat aku. Aku juga bakal buktiin ke mereka, kita sama-sama buktiin ke mereka kalo kita ini cocok."
Vika membalikkan tubuhnya menghadap Zio.
"Makasih udah mau jadi bagian dari hidup aku. Aku minta maaf karena aku sering nyusahin kamu, sering bersikap manja, bahkan aku sering marahin kamu, aku harap kamu gak bosen sama aku." Ucap Vika dengan kedua tangan yang memegang kemeja putih bagian pinggang Zio.
Zio tersenyum memeluk Vika mengelus kepala dan punggung Vika.
"Don't worry baby, I'm still yours."
Mata Vika yang tertutup terbuka dengan lebar, detik kemudian bibirnya menyunggingkan senyum dan mengeratkan pelukannya.
️
Suara gelak tawa seorang gadis remaja tiba-tiba saja berhenti ketika ia melihat siapa yang datang.
"Eh ada Vika."
Vika tersenyum pada Reya yang baru saja keluar dari dapur.
"Sini duduk, atau mau langsung ke kamar?"
Vika menatap Zio.
"Aku tadi telfon Mami aku kalo kamu tidur di sini." Kata Zio.
"Mau duduk dulu Tante." Vika duduk di sebelah Reya sambil melirik Nia yang duduk di seberang nya.
"Vika mau minum? Biar Tante ambilin."
"Gak usah Tante, nanti biar Vika ambil sendiri."
Reya mengangguk lalu mengambil majalah yang ada di meja.
"Abang udah pulang, eh sama Vika juga."
Zio dan Vika tersenyum ke arah Nevan.
"Tolong ambilin minum gue dong."
"Lo ngomong sama sapa dodol?" Tanya Fazra yang duduk disebelah Nia.
"Itu pacar Abang."
Vika menatap Nia.
"Tolong ambilin minum gue." Nia menunjuk gelas nya yang ada di depan Vika.
"Nia ambil sendiri dong." Kata Reya.
"Ni toa kan emang mageran." Celetuk Fazra.
"Ih kok jadi Abang yang ngambilin! Kan Nia nyuruh dia." Nia melipat kedua tangannya ketika Zio yang mengambilkan gelas minumannya.
"Mau Abang atau siapapun sama aja, Nia." Balas Zio.
"Gak mau!"
"Aku aja." Vika mengambil gelas yang sudah Zio pegang.
Vika pun berdiri karena jarak sofa mereka agak jauh.
Nia tersenyum pada Vika dan mengulurkan tangannya untuk mengambil gelasnya yang ada di tangan Vika. Namun ketika Vika ingin menjauhkan tangannya dari gelas karena Nia juga sudah memegangnya dengan sengaja Nia menjatuhkan gelas tersebut seolah-olah Vika lah penyebabnya.
"AAAAA!!!" Jerit Nia dengan mulut yang terbuka lebar.
"Maaf," Vika refleks menutup mulutnya saat melihat baju Nia basah.
Bukan gelas yang jatuh yang membuat mereka terkejut melainkan jeritan Nia yang terdengar begitu histeris.
"Lo sengaja apa gimana sih?!" Tanya Nia dengan keras sambil berdiri dan mengibas-ngibaskan baju nya yang basah dengan tangannya.
"Maaf Nia."
"Maaf-maaf! Enak aja Lo bilang maaf."
Zio berdiri menggenggam tangan Vika berniat untuk membawa Vika pergi. Rasanya Zio ingin marah tapi berusaha ia tahan karena Zio tidak ingin dianggap lebih mementingkan ataupun membela Vika dibandingkan adik ataupun keluarganya.
"Emang perempuan murahan kayak Lo gak pantes sama Abang gue!!"
"Nia!" Tegur Nevan dan Reya secara bersamaan.
Rahang Zio mengeras mendengar ucapan Nia dan terus berjalan membawa Reya ke lantai atas.
️
Puas memperhatikan wajah Vika, Zio yang sedang berjongkok beralih berdiri menarik selimut sampai ke bahu Vika.
"Good night, sleep well." Bisik Zio sambil mengelus pipi Vika.
Zio tidak langsung keluar dari kamar melainkan mengambil tas Vika yang berada di tempat tidur untuk menggantungnya di dalam lemari. Namun karena tas Vika terbuka keluar sebuah kertas dari tas berukuran kecil tersebut.
Zio berbungkuk untuk mengambil kertas yang terlipat menjadi persegi panjang yang terjatuh di lantai.
Penasaran, Zio pun membuka lipatan kertas tersebut.
"Lowongan kerja." Gumam Zio setelah membaca tulisan berukuran besar di bagian atas kertas.
Zio menatap ke arah Vika yang tertidur dengan posisi menyamping.
Zio mengambil dompet Vika dan tanpa ragu ia membuka dompet tersebut.
Di dalam dompet Vika hanya ada uang 200 ribu yang tentunya sangat tidak cukup untuk hidup di Negeri Seribu Satu Larangan tersebut. Zio mengambil kertas putih berukuran kecil yang terlipat menjadi dua bagian dan membukanya.
Uang tiga juta hasil jual make-up untuk bayar uang kuliah gak boleh diganggu gugat!
Yang Zio lihat hanyalah uang yang jumlahnya sebesar 200 ribu di dompet Vika.
Zio memasukkan kertas kecil itu ke dalam dompet menyusun seperti semula isi tas Vika dan menaruhnya di dalam lemari.
Zio keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Nevan dulu yang juga merupakan ruang belajarnya.
"Pi," Zio masuk dan langsung mendapati Nevan duduk di kursi berhadapan dengan laptop.
Nevan membuka kacamata nya menatap Zio yang sudah duduk di depannya.
"Abang gak marah kan sama Nia?"
Zio menggeleng, "Abang ke sini bukan bahas soal itu."
Nevan mengangguk.
"Abang ke sini mau bilang kalo Abang mau cepet-cepet diwisuda."
Nevan menaikkan alisnya.
"Kenapa? Ya emang sih Abang kuliah udah tiga tahun, tapi Abang bilang ke Papi mau selesai kuliahnya di tahun keempat nanti."
Zio menatap tangannya yang berada di atas meja.
"Abang mau cepet-cepet diwisuda karena..."
"Karena apa?"
"Karena, karena Abang... Mau cepet-cepet kerja."