Dokter Abimanyu dan Ziko

1094 Kata
Setelah dokter Abimanyu membiarkanku menggunakan ponselnya untuk mendengar lagu sampai membuatku tertidur pulas, dia juga banyak memberikan kejutan-kejutan kecil untukku, mewarnai hidupku yang hitam. Tapi tetap saja, tak pantas bagiku untuk mengungkapkan rasa nyaman ini. Aku tidak tahu, entah ini hanyalah harapanku saja kalau dokter Abimanyu lebih dekat denganku dibandingkan pasiennya yang lain. Dia sering sekali keluar masuk ruang rawat ku, kemudian mengajakku berkeliling entah kemana sembari bercerita, menemaniku makan yang katanya sangat bergizi untukku. Cukup membuatku kebingungan, tapi aku menikmati kebersamaan ini. Dan ya, sampai saat ini aku tidak mendengar suara Ziko lagi setelah kejadian di danau itu. Mungkin dia jera atau mungkin dia sadar kalau aku memang tidak pantas untuknya perebutkan ataupun perjuangkan. "Dokter Abimanyu, saya mau tanya." kataku, meminta izin terlebih dahulu. Kali saja aku tidak bisa bertanya padanya. "Iya, boleh. Tanya saja," ujarnya, mengizinkan. "Semisal saya meminta balik ke Jakarta sebentar saja, sekiranya sehari atau dua hari. Saya mau ketemu keluarga saya di Jakarta, apakah dokter bisa menemani saya?" Tanyaku. Jujur, selain dia, aku tidak tahu mau meminta tolong pada siapa. Saat ini, hanya dia lah yang bisa kuminta pertolongan. "Kenapa gak keluarga anda saja yang ke sini? Saya masih mau mengurus pekerjaan saya di sini, begitu banyak." Cukup membuatku kecewa, ternyata dia belum tahu kalau aku sudah tidak punya siapa-siapa. Atau mungkin dia pura-pura lupa? Entahlah. "Pak, keluarga saya sudah tidak ada, mereka tidak bisa jenguk saya. Jadinya saya lah yang harus jenguk mereka ke sana, tapi kalau misalnya pak dokter tidak bisa, saya tidak memaksa. Mungkin saya tidak ditakdirkan bertemu dengan keluarga saya lagi." kataku. Cukup lama tidak ada yang bersuara. Aku pun juga sudah menyerahkan ponsel miliknya, ingin balik ke kamar rawatku begitu berani tanpa tongkat pembantu "Oke. Weekend kita ke sana, tapi sepertinya aku harus selesaikan pekerjaanku di sini dulu. Bagaimana?" Tanyanya. Tentu aku tidak menolak. Senyumku merekah. "Iya, pak. Terimakasih banyak." *** Sampai dua Minggu, dokter Abimanyu tidak kunjung mengajakku pergi ke Jakarta untuk menjenguk makam keluargaku. Tidak hanya itu saja, sudah seminggu dokter Abimanyu tidak terlihat, tidak ada kabar. Seminggu terakhir dia tidak memberiku meminjam ponselnya tuk mendengarkan musik. Apa dia hanya berbohong? Aku cukup penasaran dengan hal itu. "Mbak, tahu gak kenapa dokter Abimanyu tidak pernah keliatan lagi? Seminggu ini dia tidak pernah temui saya," tanyaku pada perawat yang membawakanku sarapan untuk hari ini. "Dokter Abimanyu lagi sakit, mba. Sekarang dia dirawat,". jawabnya yang cukup membuatku terkejut bukan main. Ternyata aku salah, dia sedang sakit, bukan tidak menepati janjinya padaku. "mbak, saya bisa ketemu dokter Abimanyu, gak? Saya pengen jenguk dokter Abimanyu," kataku. "Boleh, mbak. Setelah sarapan, saya akan bawa mbak ke ruang rawatnya. Tapi saya perlu konfirmasi dulu ya, mbak. Takutnya dokter Abimanyu tidak mau dijenguk." "Iya, mbak." Dengan cepat-cepat aku menghabiskan makananku. Biasanya dengan Abimanyu, ada makanan berair yang kumakan, tapi hari ini sudah berubah menjadi makanan yang minim air. Aku tidak memperdulikannya, karena yang terpenting untuk saat ini adalah aku harus cepat-cepat selesai agar bisa menjenguk dokter Abimanyu secepatnya. Setelah sarapan, mbak perawat itu mendorong kursi rodaku ke ruangan rawat dokter Abimanyu. Aku tidak tahu di ruangan mana, di kamar apa, dengan nuansa yang seperti apa, semuanya hitam bagiku. Tidak ada yang kutahu selain hitam. "Mbak, tunggu sebentar di sini ya, mbak. Saya minta izin dulu sama pak dokter," katanya padaku. Aku mengangguk. "Iya, mbak. Saya tunggu di luar ya," ujarku. Cukup deg-degan menunggu jawaban dokter Abimanyu. Apakah dia mengizinkan orang sepertiku untuk masuk ke dalam menjenguknya atau dia anti dengan orang yang sepertiku. "Mbak, ayo kita masuk." ujarnya Oh, ternyata aku diizinkan masuk. "Halo, dokter," sapaku ketika kursi sudah berhenti berjalan. "Halo, Diandra." Balasnya, tapi terdengar seperti dua orang yang menjawabnya. Satu lagi siapa? "Halo, Diandra? Aku Ziko, kamu masih ingat suaraku?" Oh ternyata pria itu. Aku mencoba tenang, mengulas senyum setenang mungkin. "Iya, Ziko. Aku masih kenal suara kamu." Jawabku. "Mbak, besok-besok kalau Diandra mau ke ruangan saya, tidak usah izin ya mbak. Ajak langsung masuk aja." Ujar dokter Abimanyu pada mbak perawat yang sudah baik hati membawaku. "Iya, pak. Kalau begitu saya pamit. Mungkin nanti kalau mbak Diandra sudah selesai, saya akan kesini jemput lagi," kata mbak perawatnya baik hati sekali mau menungguku. "Tidak perlu, mbak. Nanti saya aja yang antar Diandra ke ruangannya," kata Ziko. . Dia memang baik, tapi dia pernah membuatku tidak nyaman dengan sikapnya yang langsung mengutarakan perasaannya padaku. Aku belum siap dengan segala bentuk percintaan lagi, tapi dia malah menyerangku setelah pertemuan beberapa hari saja. Bahkan membuat keributan dengan dokter Abimanyu. Cukup lama tidak ada yang mau bersuara. Aku pun tidak tahu mau mengatakan apa, hanya menjelimatkan tanganku saja. Aku gugup diantara dua pria ini lagi. Ya, semoga saja tidak ada perdebatan lain lagi. Aku tidak berani. Aku tidak bisa melerai mereka kalau sampai itu terjadi. "Diandra, maaf ya. Mungkin seminggu lagi baru aku bisa membawamu ke Jakarta. Aku harus pemulihan dulu biar gak drop susulan," ujar dokter Abimanyu, memulai perbicangan hari ini, di ruangan yang diisi oleh tiga orang ini, termasuk aku. "Iya, dokter. Saya juga tidak memaksa, kok. Mungkin saya yang keterlaluan sudah meminta tolong pada bapak, padahal kan bapak punya pekerjaan yang lebih berat dibandingkan sekedar membawa saya ke Jakarta. Mungkin rencana itu bisa dibatalkan saja, pak. Saya lebih baik tidak balik ke Jakarta, dibanding merepotkan orang apalagi orangnya bapak sendiri," ujarku. "Eh, gak merepotkan kok. Sekalian saya ke keluarga saya juga, mereka di Jakarta. Udah lama juga saya tidak ke Jakarta," katanya, aku mengangguk paham. "Terima kasih, pak " "Emangnya kemana sih? Kok aku bingung ya dengar kalian ngomong ini-itu." Aku hanya tersenyum, sedangkan rasanya dokter Abimanyu tertawa. Tawa renyah yang terdengar... merdu? Ah, entahlah. Aku senang mendengarnya. "Jadi gini, Diandra minta mau ditemani ke Jakarta untuk temui makam keluarganya yang di sana. Tapi aku bilang kalau aku perlu urus semua pekerjaanku di sini dulu baru enteng ke Jakarta, tapi karena akhir-akhir ini aku begadang terus, apalagi aku kuliah lagi, eh ternyata malah jatuh drop gini. Harus di rawat segala," tutur dokter Abimanyu. Ternyata dokter Abimanyu sakit karena kejar target sebelum bisa memutuskan untuk menemaniku ke Jakarta. Dia sebegitunya berkorban untukku, bahkan sampai sakit seperti ini. Dia sangat bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan. "Kalau kamu balik ke Jakarta, aku ikut dong. Aku juga kan pengen ketemu keluarganya Diandra," "Boleh aja sih. Tapi tanya Diandra. Aku mah tidak tahu apa-apa." Dan sekarang dokter Abimanyu menyerahkan semua keputusannya padaku. "Gimana, Diandra? Aku boleh ikut gak?" Apa aku bisa menolak? Aku hanya bisa menjawab, "Tidak apa-apa, ikut saja. Malah makin banyak temennya, makin seru, kan? Tapi aku mau sendiri pas di makam, aku mau bercerita banyak dengan keluargaku." "Oke, Diandra."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN