Salah-8

831 Kata
Satu minggu berlalu. Semenjak kejadian di rumahnya, Ana memilih untuk menghindar dari Alex. Alex terus saja datang ke rumah, tetapi Ana lebih memilih mengurung diri di kamar dan tidak mau menemui Alex. Saat di sekolah pun, Ana memilih untuk bergabung bersama teman-temannya. Pesan Alex tak pernah dibalas, panggilan Alex tak pernah dijawab. Kali ini kesabaran Alex rasanya sudah habis. Ia memutuskan untuk menemui Ana yang sedang berkumpul bersama teman-temannya, kemudian membawa Ana ke mobilnya. "Ada apa sih, Lex?" tanya Ana begitu berada di dalam mobil, sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah akibat pegangan tangan Alex yang terlalu kencang. "Aku yang harusnya nanya sama kamu!" seru Alex. "Kamu kenapa?! Kenapa harus menghindariku? Apa salahku?!" "Kamu nggak salah. Aku yang salah. Aku yang salah udah nerima kamu jadi pacar aku." "Jadi kamu anggap, hubungan kita ini sebagai kesalahan?! Iya?!" bentak Alex. Ana tak lagi menjawabnya. Hanya air mata yang menetes di pipinya. Alex mengambil ponselnya kemudian menghubungi nomor Alya. Semenjak menjadi pacar Ana, Alex memang menyimpan nomor Alya. Karena Alya adalah salah satu sahabat Ana. Setelah panggilan tersambung, Alex meminta Alya untuk memintakan izin pada guru BK bahwa Ana sakit dan Alex akan mengantarnya pulang. Alya menurutinya. Setelah mendapatkan izin, Alya segera mendatangi Alex dan Ana untuk memberikan tas dan alat tulis Ana. "Thanks ya, Al ... gue antar Ana pulang," pamit Alex. Alya hanya mengangguk, ia tidak menaruh sedikit pun rasa curiga pada Alex. *** Alex membawa Ana ke rumahnya. Turun dari mobil, Alex segera membawa Ana masuk kemudian menarik Ana ke kamarnya. Bik Asih yang sedang berada di dapur, tidak tahu jika majikannya membawa Ana. Di dalam kamar, Alex melepaskan tangan Ana, kemudian dikuncinya pintu kamar. Dituntunnya tangan Ana menuju sofa yang biasa mereka duduki. Setelah mereka duduk bersisian, Alex merebahkan kepala di paha Ana. Dipandangi wajah Ana yang membuang muka darinya. Tangan Alex terulur merapikan anak rambut Ana yang berserakan di kening gadis itu. "Kamu tahu? Aku frustrasi kalo kamu menghindariku," lirih Alex. "Kamu marah atas apa yang aku lakukan? Kalo iya, bicaralah. Bukannya malah menghindar." "Aku ... aku nggak tahu. Aku bingung ...." "Kenapa bingung?" "Aku nggak tahu ...." "Please, jangan menghindariku lagi. Aku sudah terbiasa sama kamu. Aku seperti hilang arah tanpa kamu." "Maaf ...." Alex bangun dari rebahnya. Duduk di sebelah Ana, kemudian membawa wajah Ana agar menghadapnya. Ia tatap mata Ana. Kedua tangannya menangkup pipi sang kekasih. "Please, stay with me ...." Alex mendekatkan wajahnya ke wajah Ana. Kemudian ia tempelkan bibirnya di bibir Ana. Mengecupinya pelan, sambil sesekali menggigitnya. Merasa Ana tak merespons, ia menghentikan aksinya. "Buka bibirmu ... buka bibirmu," bisik Alex. Alex kembali mencium Ana. Tangannya sudah berada di tengkuk Ana untuk memperdalam ciumannya. Ana sudah pasrah dengan apa pun yang akan terjadi setelahnya. Alex mengubah posisi Ana dengan tetap menciumi gadis itu. Kaki Ana sudah Alex selonjorkan di sofa. Kepala Ana ia rebahkan. Dengan perlahan, ia tindih tubuh Ana. Hingga akhirnya tubuh mereka saling menghimpit. Alex bukanlah remaja pada umumnya yang, ia adalah remaja yang sudah dipenuhi dengan pemikiran dewasanya. Laki-laki itu menghentikan aksinya kemudian menjauh dari tubuh Ana, setelah berhasil membuat Ana merasakan hal yang baru pertama kali dirasakannya. Sebuah rasa yang seharusnya hanya boleh dirasakan oleh wanita yang sudah menikah. Sementara Ana masih sibuk mengatur napas juga menyembunyikan rasa malu karena sudah setengah telanjang. Baju dengan semua kancing terbuka dan rok yang sudah menyingkap ke atas. Alex bangkit dari duduknya. Melepas semua seragamnya dan hanya meninggalkan celana dalam saja. Setelah itu ia kembali ke sofa di mana Ana masih merebahkan tubuhnya. Alex duduk di samping pinggang Ana, kemudian mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya tepat di atas wajah Ana. "Anggap saja tadi hukuman karena kamu menghindariku," bisik Alex. "Kenapa harus dihukum seperti tadi?" "Agar kamu tidak kapok dengan hukuman itu. Aku bisa merasakan kalau kamu sangat menikmati hukuman yang aku berikan." Ana memejamkan mata kembali saat tangan Alex mulai menggodanya lagi. Dengan tangan satunya, Alex menyalakan televisi juga dvd-nya yang memang di dalamnya sudah berisi kaset film. "Duduklah! Aku punya film bagus," perintah Alex. Kemudian membantu Ana untuk duduk. Saat Ana berniat merapikan bajunya, "Biarkan seperti itu!" "Tapi--" Alex menggeleng tanda ia tak mau dibantah. Lelaki itu mengambil posisi duduk di belakang Ana saat kaset yang diputarnya sudah memulai adegannya. Kedua tangannya ia lingkarkan di tubuh Ana. Tubuh depannya sudah menempel di tubuh belakang Ana. Mata keduanya fokus menatap layar televisi. "Lex ... ini--" "Iya, aku akan mengajarimu lebih dari tadi." "Tapi--" "Nggak ada tapi," jawab Alex yang sudah memulai aksinya. Tangan Ana mulai mengepal gelisah saat melihat adegan demi adegan film yang ditontonnya. Napasnya mulai memburu kembali. Ditambah lagi dengan kelakuan Alex. Bahkan yang Alex lakukan kali ini sudah lebih liar dari yang ia lakukan sebelumnya. *** Apa yang ada di televisi sudah tak ada lagi yang menontonnya. Karena kini Alex dan Ana sudah pindah ke ranjang. Mempraktikkan apa yang ditontonnya, hingga akhirnya noda merah di sprei Alex membuktikan jika Ana sudah menyerahkan hartanya. Harta yang sudah seharusnya ia jaga. Namun kenyataannya, ia harus menyerah pada bibir dan jari-jemari Alex. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN