Jeda cukup lama, Sagara hanya diam menelisik wajah wanita disana dengan penuh tanda tanya.
“A-aku mau kamu, Mas.”
Ucapan itu membuat Sagara tiba-tiba menyeringai.
“Yakin kamu?”
Tatapan keduanya bertemu di udara, cukup lama. Bahkan Anindya sampai merasakan oksigen sulit masuk ke dalam pernapasannya. Jantungnya berdetak semakin tak terkendali. Campur aduk perasaannya semakin tak ia pahami.
“I-iya, Mas.”
Sagara tersenyum tipis dan terkesan mengejek. Sedangkan Anindya tak bisa membaca maksud dari senyuman itu. Sagara sangat jarang menunjukkan senyumnya di hadapan orang. Itu mengapa, Anindya tak mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh suaminya.
Lambat laun cengkraman di pergelangan tangannya mengendur. Sagara melepaskan tangan tipis itu tanpa aba-aba. Dan Anindya langsung meringis, ketika rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangannya. .
“Saya tidak ada waktu malam ini.”
Jawaban itu semakin membuat Anindya tidak percaya diri. Apa sebegitu tidak menarik dirinya? Sagara selalu saja tidak tergoda. Jika saja Anindya tak mengambil inisiatif, mungkin Sagara tak akan pernah menganggapnya ada dan pernikahan ini hanyalah sia-sia.
Setelah tiba di lantai kamar mereka tadi, Anindya lebih dulu mengganti pakaiannya dengan gaun tidur satin berwarna putih gading. Sehingga terlihat bentuk tubuhnya di balik kimono itu. Jangan lupakan, potongan dadaa yang rendah hingga menampakkan sebuah guratan disana. Rambut panjang nan bergelombang sengaja ia biarkan. Kesan sensual bahkan sudah terpampang nyata di tubuh Anindya yang memiliki tubuh ideal.
Sagara menoleh ke belakang. Disana ada beberapa penjaga yang berdiri tegak ke arah tembok kamar istri keduanya, tepatnya berdiri diantara lift.
Meski tak harus mengkhawatirkan pandangan pria-pria disana. Tetap saja, Anindya terlalu berani berpakaian seperti itu di hadapan para pekerja mereka.
“Kamu terlihat seperti jallang dengan pakaian seperti itu.”
Sagara hendak membuka pintu lagi. Namun, Anindya lekas memeluknya dari belakang. Tak peduli apa yang dipikirkan oleh pria itu. Anindya hanya menjalankan tugasnya sebagai calon ibu sang pewaris. Jika ditanya, apa Anindya se-ambisius itu? Jawabannya tentu saja tidak. Anindya hanya berusaha merebut hati seorang Sagara. Setidaknya, ia ingin pria itu menganggapnya sebagai seorang wanita yang sudah dipersunting olehnya.
“Mas aku mau kamu, please,” bisiknya dengan keberanian yang ia punya.
Merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat bulu roma Sagara meremang. Dan ini pertama kali ia merasakannya saat seorang wanita memeluknya. Tak suka dengan gerakan mengejutkan itu. Sagara lekas menarik paksa kedua tangan yang melingkar, lalu menarik tubuh mungil itu hingga terhempas ke pintu. Kedua tangan Anindya terkunci diatas kepala dengan tubuh mereka yang semakin tak berjarak.
“Akh!”
Anindya meringis saat merasakan handle pintu menghantam pinggangnya. Sesaat hening, Anindya melihat guratan emosi yang tak terbendung dibersamai rahang tegas yang semakin mengerat. Tatapan mereka bersiradu dengan nafas yang memburu.
“Jangan memprovokasi saya, Anindya Nasywa Wulandari!”
“A-aku ….”
“Saya sedang tidak ada waktu untuk bermain-main.”
“Aku cuma mau ingatkan perihal pasal tiga, Mas. Bukankah Mas akan berikan itu ketika aku sedang ….”
“Siapa kamu mengatur saya?”
“Mas, aku cuma ….”
Anindya benar-benar melangkah terlalu jauh. Ia telah melampaui batas kesabaran Sagara.
“Baik kalau itu yang kamu mau.”
Suara Sagara terdengar penuh penekanan. Anindya bisa melihat jelas, urat di dahi serta gerakan rahang yang mengeras. Anindya berharap tidak menyesali keinginannya ini.
“Saya harap kamu tidak menyesal, Anindya.”
Saat itu pula Sagara menunduk lalu membopong tubuh Anindya di pundaknya. Sang wanita langsung terpekik ketika tak mendapat aba-aba.
“Mas!” pekik Anindya seraya mencengkram bathrobe yang masih dikenakan pria disana. Langkah kaki Sagara berbalik. Ia tidak membuka pintu kamarnya melainkan menuju kamar Anindya. Ketika langkah itu bergerak. Rambut panjang Anindya menjuntai dan memperlihatkan leher jenjangnya.
“Aturan yang harus kamu tahu, saya tidak pernah mengajak istri bercinta di kamar saya, mengerti?”
“I-iya Mas.”
Gemuruh jantung Anindya berdetak tak karuan. Mungkin Sagara bisa merasakan itu saat ini.
“Takut kamu?”
Anindya menggeleng, meski sadar bahwa tubuhnya kini sudah gemetar.
“Apa? Saya tidak bisa lihat gestur tubuh kamu.”
“Ng-nggak, Mas.”
***
Sagara menghempaskan tubuh Anindya ke atas ranjang tanpa adanya kelembutan sama sekali. Sementara Anindya sangat terkejut. Titik pandangnya mengamati setiap gerakan kecil di manik mata pria itu. Entahlah, Anindya benar-benar tidak bisa membaca apa yang dipikirkan pria disana. Jantungnya terlalu kuat berdetak.
Anindya terduduk, membenahi gaun yang tersingkap serta kimono yang menampakkan bahunya yang indah.
“Sekarang tunjukkan bagaimana kamu bisa merayu saya.”
Tak ada yang Sagara lakukan selain menunggu wanita itu memimpin permainan. Pria itu berdiri di hadapannya dengan kedua tangan mengepal. Meski jiwa dominannya sangat kentara, Sagara ingin melihat seberapa jauh Anindya memahami perannya sebagai wanita.
Tubuh Anindya semakin bergetar. Bagaimana bisa ia memimpin permainan sementara ini pertama kali baginya?
“Apa yang harus aku lakukan, Mas?” tanya Anindya, bingung.
Mendengar pertanyaan polos itu, Sagara langsung memalingkan wajah dan tertawa penuh ejekan.
“Bukankah kamu bilang mau? Kenapa sekarang justru tanya saya?”
Anindya menggigit bibir bawahnya. Sungguhan, jika diamati lebih dalam, seharusnya Anindya sudah sangat menggoda. Apalagi dengan pakaian tipis serta rambut panjang bergelombang yang sudah tak beraturan. Bukankah pria menyukai kesan sensual yang ditampakkan oleh wanita disana?
“Ta-tapi … ini yang pertama buat aku, Mas.”
“Merepotkan sekali,” dengus Sagara seraya memalingkan wajah.
Tiba-tiba saja keinginan untuk menjadikan dirinya yang pertama untuk Anindya semakin besar. Menarik sekali bermain-main dengan wanita yang sama sekali tak memiliki pengalaman.
“Buka kimono kamu!” titah Sagara dengan tatapan terkunci.
Degup jantung Anindya tidak pernah dibuat jeda. Ia selalu dikejutkan dengan bentakan yang keras dan membuat gerakan tangan untuk membuka kimono itu terlihat gemetaran. Anindya merapikan rambutnya lalu menyampirkan ke belakang. Namun, gestur perlahan itu justru memancing sesuatu dalam diri Sagara. Tidak tahu saja bahwa ada sesuatu yang sudah mendesak hanya dengan melihat leher jenjang dan bibir penuh wanita disana.
“Bisa lebih cepat?”
Anindya berhasil membuka itu dan menampakkan tulang selangka dibalik tali spaghetti gaun tersebut.
Diam-diam Sagara menelan ludahnya meski tatapannya masih setajam elang.
“Berdiri!”
Layaknya anak kecil yang tengah mendapat bentakan, Anindya mengerjapkan mata. Setakut apapun menghadapi Sagara, ia mencoba tak peduli. Semua itu ia lakukan demi untuk menunaikan kewajiban serta mewujudkan keinginan para tetua Jayanegara.
Dalam jarak yang begitu dekat, pria itu menatap penuh makna. Dan Anindya, bisa melihat betapa Sagara mencoba menahan dirinya. Tatapan itu mulai menggelap dibersamai deru nafas yang memburu.
“Tidak seharusnya kamu membangunkan singa yang sedang tertidur, Anindya.”
“…”
Anindya tak berani menjawab. Kedua tangannya hanya meremas ujung gaun sebatas paha disana. Takut? Tentu saja. Selain pertama kali. Melihat tatapan penuh intimidasi membuat ketakutan Anindya menguasai.
“Berbalik!”
Hebatnya sampai detik itu, Sagara tidak langsung menyentuhnya hingga membuat Anindya tak memahami cara bermain sang suami. Apa seorang pria dewasa suka memperlakukan wanitanya seperti ini?
“Saya bilang berbalik!”
Anindya terperanjat oleh angan-angannya.
“Ba-baik, Mas.”
Ketika Anindya berhasil berbalik, tak ada yang pria itu lakukan. Entah mengapa justru membuat tubuhnya semakin gemetar.
“Mas …,” panggil Anindya mengacaukan imajinasi pria di belakangnya.
“Saya tidak suruh kamu bicara, Anindya!”
“Ma-maaf, Mas.”
Kepalan jemari di ujung gaun yang ia kenakan semakin menguat. Anindya menunggu perintah selanjutnya. Entah apa yang pria itu inginkan sebenarnya.
“Dengar saya baik-baik, Anindya. Hanya karena saya mau memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan berarti saya memberikan hati untuk pelayan seperti kamu, paham?”
Deg!
Sekali lagi, hati Anindya terasa pilu.
“Bow down and pull your dress up!” titah Sagara dengan tajam.
***